Rakyat Dalam Dunia Politik : Sebuah Perusahaan Dalam Persaingan Sempurna

Hari senin yang lalu, seorang dosen pengantar ekonomi di tengah kuliahnya mengenai perfect competition, sempat mengatakan sebuah pernyataan unik. "seorang rakyat dalam kancah politik suatu negara bagaikan sebuah perusahaan dalam pasar persaingan sempurna." Kemudian muncul pertanyaan mengapa bisa dikatakan demikian?? Benar saja, jawaban dari pertanyaan ini bukanlah jawaban yang harus dipaparkan dengan analisis yang komprehensif, atau penggunaan data-data yang akurat dan penuh dengan angka yang memusingkan, serta tidak pula memerlukan analisis yang terlalu mendalam yang membutuhkan waktu hingga tujuh hari tujuh malam. Bukan itu. Kita cukup menjawabnya dengan teori yang dikemukakan dalam pembelajaran mengenai pasar persaingan sempurna yang bahkan telah kita pelajari sejak kelas 1 SMA. Karena pada kenyataanya perfect competition tidak ada, maka hanya analisis teorilah yang dapat dilakukan dalam menanggapi pertanyaan diatas.
Dalam teori perfect competition, dinyatakan bahwa perusahaan tidak dapat mempengaruhi harga yang terbentuk di pasar, perusahaan hanya sebagai price taker, sedangkan harga itu sendiri terbentuk oleh kekuatan permintaan dan penawaran pasar. Apakah kaitan pernyataan tersebut dengan rakyat dan dunia politik sudah cukup konkret?? mungkin masih terlihat sedikit abstrak. Analisisnya adalah demikian, dalam dunia politik, baik di Indonesia atau bahkan di seluruh dunia akan terjadi fenomena yang sama. Hal ini bukan didasarkan pada budaya sebuah bangsa, pendidikan, maupun sistem politiknya. Ini hanya berkaitan pada "jumlah" yang pada akhirnya akan menciptakan suatu keadaan mirip seperti dalam perfect competition tadi. Dengan asumsi demikian, tentunya apa yang akan dialami setiap negara adalah sama, karena tentunya sebuah negara itu tidak hanya dihuni oleh sepuluh atau dua puluh orang saja bukan? Atau jika jumlah tersebut terlalu kecil bolehlah dikatakan pasti jumlahnya lebih dari seratus orang atau bahkan seribu.
Berbekal dengan pengetahuan bahwa setiap negara merupakan kumpulan orang-orang dalam jumlah besar, kita mulai dapat melihat persamaannya dengan statement awal tadi. Dalam perfect competition, jumlah perusahaan yang ada di pasar banyak, hal ini menjadikan sebuah perusahaan merupakan bagian kecil dari keseluruhan pasar. Dengan kondisi tersebut, sebuah perusahaan saja tidak akan berpengaruh terhadap kondisi pasar. Begitu juga individu, sebagai seorang warga negara dalam kancah politik, suara, pikiran, ataupun tingkah lakunya tidak akan berpengaruh terhadap kondisi politik sebuah negara secara keseluruhan, tentu saja dengan tetap menggunakan asumsi cateris paribus. Dimana yang kita bicarakan disini adalah rakyat pada umumnya bukan membicarakan adanya "monopolist" ataupun "oligopolist" tertentu dalam praktik politik tersebut. Dengan demikian berarti, seorang individu dalam hal ini adalah rakyat hanya sebatas sebagai "decision taker". Seorang individu hanya menerima apa yang dihasilkan perdasarkan interaksi terjadi antara para elit politik dengan rakyat secara keseluruhan, layaknya interaksi antara penawaran dan permintaan dalam pasar. Jika ingin mengambil contoh konkretnya kita bisa melihatnya dalam pemilu. Begitu banyak yang menawarkan diri sebagai calon legislatif ataupun partai politik dan begitu banyak pula rakyat yang memilih. Dalam kondisi cateris paribus, kondisi ini seperti interaksi antara permintaan dan penawaran. Yaitu, dimana keputusan rakyat adalah benar-benar apa yang mereka inginkan bukan karena pengaruh "sesuatu." Atau kita bisa ambil contoh dalam kasus Bibit-Candra kemarin. Jika hanya satu orang saja yang melakukan aksi, tentunya ia tidak akan didengar oleh siapapun dan tentunya tidak memberikan pengaruh apapun. Namun, ketika ratusan bahkan ribuan atau jutaan orang bergabung menyerukan aspirasinya, serta pada selanjutnya mendapatkan feedback dari para elite politik, maka aspirasi tersebut bisa menjadi sebuah keputusan atau bisa dikatakan sebagai hasil. Begitu juga dengan perfect competition, keputusan dari sebuah perusahaan saja tidak akan mempengaruhi pasar, tetapi akan berbeda hasilnya ketika kondisi yang sama terjadi pada semua perusahaan.
Analisis yang panjang sekalipun pada nantinya tetap akan menggeneralisasikan pada satu pernyataan, "seorang individu (rakyat) dalam kancah politik suatu negara bagaikan sebuah perusahaan dalam pasar persaingan sempurna." Lalu bagaimana dengan posisi para elite politik? Sepertinya tak berlebihan jika mereka diumpamakan sebagai "oligopolist" dalam oligopoli. Dimana mereka bisa melakukan "kartel" politik tentunya ataupun menjadi "price leader", dalam hal ini tentunya price hanyalah sebagai pengibaratan yang menggantikan kata keputusan ataupun kebijakan-kebijakan suatu negara. Benarkah demikian??? sepertinya...

Komentar