Di Ujung Barisan Kursi Tunggu


Aku duduk di ujung barisan kursi tunggu. Kereta baru akan berangkat satu setengah jam lagi. Menunggu sahabatku menunaikan salat maghrib, aku duduk termenung di barisan ruang tunggu. Salah seorang sahabat terbaikku yang bersedia menemaniku menuju dan menunggu di stasiun. Tiba-tiba seorang nenek yang duduk disebelahku mengejutkanku.

"Badhe tindak pundi, nduk?" (Mau pergi kemana, nak?) di tengah deraian hujan yang cukup deras nenek itu bertanya lirih padaku. Seolah tak hendak didengar oleh siapapun.
"Dateng Semarang, mbah. Penjenengan badhe ndak pundi?" (Ke Semarang nek. Anda mau pergi kemana?) aku membalas pertanyaannya dengan menyunggingkan senyum. Sopan santun yang sudah aku pelajari sejak kecil.
"Aku arep nang Suroboyo. Aku nggoleki omahe anakku nanging lali. Mbiyen aku nang kene pitung sasi, nanging kok saiki lali. Jakarta wis maleh, akeh bangunan dhuwur-dhuwur," ( Aku mau ke Surabaya. Aku mencari rumah anakku, tapi aku lupa. Dulu aku tinggal di sini 7 bulan, tapi kok sekarang lupa rumahnya dimana. Jakarta sudah berubah, banyak bangunan tinggi-tinggi) cerita si nenek padaku.
"Daleme wonten pundi mbah? Menapa wonten nomer tilpunipun?"(Rumahnya dimana nek, apakah ada nomer teleponnya?) tanyaku mulai iba dengan cerita si nenek. 

Meski pikiran buruk dalam otakku mulai merasuk. Jangan-jangan ini hanya salah satu jenis penipuan yang ada di Jakarta. Ujung-ujungnya hanya akan meminta uang. Seakan ingin menyalahkan diri sendiri kenapa pikiran seburuk itu muncul dipikiranku pada seorang nenek yang setua ini.

"Ora nduwe aku nduk. Aku mrene mung kangen karo putuku," (Tidak punya nak. Aku kesini hanya rindu pada cucuku) ucap si nenek yang terlihat bahagia saat berkata "cucuku".

Terlihat bagaimana seorang nenek yang sangat mencintai cucunya. Bahkan rela untuk jauh-jauh dari Surabaya dengan badannya yang renta seorang diri mencari rumah yang ia sendiri pun sudah lupa. Berharap melihat senyum cucunya. Aku masih berpikir, benarkan ini hanya cerita karangan belaka? Seperti di sinetron saja. Seorang tua renta yang terlantar di stasiun kereta. Mungkinkah benar di dunia nyata ada anak-anak yang sudah kehilangan akal dan nuraninya? Membiarkan seorang ibu yang sudah setua ini bepergian seorang diri. Bukan hanya membeli cabai di warung. Ini Surabaya ke Jakarta. Entahlah..

"Simbah umure uwis wolung puluh loro taun, nduk," tambah simbah yang langsung memudarkan rasa curigaku.
"Tidak mungkin wanita 82 tahun ini berniat menipu, ah betapa buruk sangkanya aku," pikirku dalam hati. 
"Simbah kuwi wis randha awit 39 taun nduk. Ngrumati anak 9 dhewe," (simbah sudah menjanda sejak 39 tahun, nak. Merawat 9 orang anak sendiri) cerita simbah sedikit tentang kisah hidupnya padaku.

Sembilan orang anak dan sekarang dia duduk disini seorang diri. Mencari rumah anaknya hanya untuk melihat cucu yang ia rindukan. Awalnya kupikir hanya satu atau dua anak yang mungkin terlalu sibuk dengan urusan dunianya. Okelah, lupa pada ibu mereka. Dan ini sembilan. Tidakkah salah satunya saja mengingat dan mengkhawatirkan dimana ibu mereka? 

"Mbah mboten kondur kemawon,mbah?" (Nek, tidak pulang kerumah saja nek?) aku langsung bertanya pada si nenek dan memudarkan lamunanku.
"Sesuk esuk, nduk. Simbah arep mulih duite entek. Sampeyang duwe duit rong puluh ewu bae?" (Besok pagi nak. Nenek mau pulang kehabisan uang. Kamu punya uang 20 ribu saja?) ucap nenek itu lebih lirih dari sapaan pertamanya seakan benar ia tidak ingin di dengar oleh siapapun.

Aku berpikir sejenak. Hanya tertinggal selembar warna biru didalam dompetku. Namun, bau yang menyengat menandakan bukan sebentar si nenek tidur disini. Di ruang tunggu stasiun yang sangat terbuka. Dari cerita si nenek aku juga tahu tak ada sesuap nasi yang ia makan selama tiga hari ini. Kulihat hanya sebungkus roti di dalam tas besar warna hitam dan ia menawarkannya padaku. Temanku sudah kembali dari sujudnya di hadapan Tuhan dan aku menceritakan yang terjadi padanya.

"Menika mbah, kagem simbah. Mbenjang enjing kondur nggih?" (Ini nek, untuk nenek. Besok pagi pulang ya) bisikku sambil menyerahkan satu-satunya lembaran rupiah yang tersisa di dompet.
"Matur nuwun, nduk. Tak dongak-dongake mulya uripmu. Uwis nyambut gawe?" (Terima kasih nak. Aku doakan hidupmu makmur. Sudah bekerja?) 
Hmmmm, kalimat terakhir si nenek terasa menusuk ke relung-relung perasaan paling sensitif dalam diriku.
"Dereng mbah, pengestunipun, nyuwun donganipun," (Belum nek, minta doanya saja) nada suaraku terlihat penuh harap. Semoga semakin banyak doa yang menyapa akan semakin dekat pintu rizki yang telah digariskan Tuhan padaku.

Doa si nenek kubawa bersujud di hadapan Tuhan. Kupanjatkan doaku sendiri dengan harapan doa si nenek dan orang-orang yang selalu mendoakanku akan segera terwujud. Kulipat mukenaku dan kembali ke ujung barisan kursi ruang tunggu.

"Apa yang nenek ceritakan padamu?" aku bertanya pada temanku yang terlihat selesai mengobrol dengan si nenek.

Ternyata apa yang dia dengar sama dengan apa yang aku dengar sebelumnya.

"Dimana nurani sembilan orang anak yang telah dibesarkan oleh orang tua tunggal ini?" balas temanku dengan raut wajah cukup kesal.
Ya, aku juga mempertanyakan hal yang sama sebelumnya.

"Nduk, simbah tak turu sik ya. Ndelok wong tambah akeh aku tambah mumet," (Nak, nenek tidur dulu ya. Melihat orang tambah banyak aku semakin pusing) bisik si nenek yang seketika menghentikan obrolanku dengan temanku tadi.
"Inggih mbah, mbenjang kondur nggih?" (Iya nek, besok nenek pulang ya?) aku mengucapkan salam selamat tidurku pada si nenek.
"Iyo-iyo. Matur nuwun tak dongake kowe ndang cepet entuk gawean lan uripmu mulya. Wis titenano uripmu bakal mulya. Muga-muga......." (Iya-iya. Terima kasih, aku doakan semoga cepat mendapat pekerjaan dan hidupmu makmur. Lihat saja nanti, hidupmu akan makmur. Semoga........).

Aku tersenyum dan menyimpat erat-erat doa simbah. Terutama doa terakhir simbah yang tidak kutuliskan. Aku akan mengingatnya dan menyimpan doa itu dalam lubuk hatiku yang paling dalam. Semoga malaikat mendengar ketika si nenek memanjatkan doa itu dan membawanya pada kuasa Tuhan.

Aku dan sahabatku beranjak meninggalkan ujung barisan kursi tunggu. Meninggalkan nenek yang tertidur lelap. Menyisakan rasa iba akan kisah anak-anak yang lupa. Lupa akan hangatnya gendongan ibu bercampur keringat surga karna lelah menjaga sang anak tanpa henti. Lembutnya belaian tangan ibu yang kadang terasa kasar menyentuh kulit, pertanda semua pekerjaan ia lakukan dari memasak hingga mencuci baju. Ibu. Seharusnya bukan seperti itu yang tercipta dari di bait-bait akhir cerita hidupmu. Sudahlah.

Berjalan menuju peron stasiun. Keretaku akan berangkat 30 menit lagi....


Komentar