Tegal Rejo : Episode Dolanan


Episode kali ini akan menceritakan napak tilas yang sangat menyenangkan tentang masa kecilku. Tulisan kali ini akan menceritakan berbagai macam jenis dolanan (permainan) yang sering aku mainkan atau anak-anak kecil di Tegal Rejo tempo dulu. Mungkin namanya sedikit unik dan terdengar aneh, hanya saja kupikir untuk orang-orang yang seumuran denganku atau mungkin lebih tua akan setidaknya mengenal dolanan-dolanan yang aku ceritakan. Hanya masalah perbedaaan nama pastinya. Cerita kali ini akan mengambil setting Tegal Rejo di tahun 1995 - 2001 sepertinya. Rentang waktu dimana aku masih terlibat dengan berbagai jenis dolanan.

Sewaktu aku kecil, masa-masa SD, siang hari hingga menjelang sore adalah saat-saat yang menyenangkan. Tak peduli hari akan seterik apapun atau mungkin hujan deras di kala musim penghujan, siang hari adalah primadona kami, anak-anak dusun. Sepulang sekolah, masuk kerumah, makan dengan lahapnya dan mungkin sedikit cepat sembari memasang telinga kalau-kalau ada suara yang memanggil-manggil namaku dari bawah pohon rambutan. Kami menyebut rambutan dengan "ace". Benar saja, tak seberapa lama setelah aku melahap makananku, suara riuh yang memanggil namaku sudah terdengar dari bawah pohon ace. Dolanan hari ini akan diselenggarakan di halaman rumahku, ya karena rumahku adalah salah satu yang memiliki halaman paling luas di Tegal Rejo. Kupikir sewaktu kecil halaman rumahku bak lapangan bermain, tetapi setelah aku melihatnya sekarang ternyata tak seberapa luas. Mungkin, dulu karena langkah kakiku masih sangat pendek sehingga halaman sekecil itu terasa sangat luas bagiku.Tidak mungkin kan kalau dulu memang halaman rumahku luas dan sekarang mengkerut menjadi lebih sempit?

Tak perlu bepikir dua kali, tentu aku akan langsung meninggalkan dipan dan TV hitam putih tua untuk berlari ke halaman rumah. Dan yang aku senang, ibuku tak seperti ibu yang lain yang suka melarang anaknya bermain keluar rumah. Takut kalau nanti jadi hitamlah, cacinganlah, atau harus tidur siang. Tak pernah ibuku sekalipun membentakku, sehingga suara bentakan sangat terdengar asing di telingaku. Apalagi bentakan seorang ibu, tak tahan hati dan telingaku kalau melihat yang semacam itu. Selain itu, juga karena aku sudah mengenal "time management" sepertinya sedari kecil. Aku akan pulang dengan otomatis setelah kumandang adzan ashar jika aku pergi bermain. Atau membubarkan pasukanku kalau saat itu semua temang sedang dolan (bermain) dirumahku. Jadi ibuku tak perlu mengacungkan ranting pohon atau berteriak untuk memaksaku pulang dan berhenti bermain. Aku sudah belajar mengatur sejak kecil, mengatur waktuku sendiri dan juga mengatur teman. Iya, layaknya boss kecil.

Dolanan pada suatu siang itu adalah Benthik. Asing bukan namanya? Benthik adalah sebuah permainan yang menggunakan dua bilah ranting kayu yang tak terlalu besar. Mungkin hanya berdiameter 1-3 cm. Satu ranting kayu berukuran lebih panjang, 20-25 cm dan satu bilah lagi panjangnya tak lebih dari 10 cm. Ini hanya perkiraan untuk membuat gambaran yang lebih jelas. Dalam membuat alat untuk dolanan ini tentu kami, anak dusun tak pernah benar-benar mengukurnya. Hanya dikira-kira saja, sudah pas atau belum. Selain dua bilah kayu, kami juga membutuhkan sebuah lubang yang memanjang, tapi tidak terlalu dalam. Jika dibayangkan, lubang itu berbentuk seperti kapal. Oh ya, aku lebih suka membuat perangkat benthik itu dari batang pohon singkong. Lebih mudah untuk memotongnya dan tidak terlalu sakit jika mengenai kepala orang. Pernah suatu hari ibuku membuatkan dari ranting kayu kopi, itu milikku dan ternyata aku menjadi korbannya sendiri. Sungguh sakit saat ranting kayu kopi itu mengenai kepalaku. Namun, opsi lain untuk membuat peralatan benthik adalah menggunakan kayu waru, akan lebih ringan dan lebih mudah saat dipukul. Bagian alasnya lebih rata dan memudahkan "tek ter". Tek ter? Biar nanti kujelaskan.

Oke, benthik bisa dimulai ketika ada minimal dua orang. Sebelum dolanan tentunya kami menentukan aturan mainnya terlebih dahulu. Apakah kami akan memainkan benthik umpetan atau benthik biasa, benthik balanan (berpasangan) atau benthik individu. Kalau yang bermain enam orang atau lebih kami memilih benthik balanan dan umpetan. Biar menunggu giliran mainnya tidak terlalu lama dan lebih menegangkan karena akan diakhiri dengan petak umpet. Petak umpet yang sangat menyiksa mereka yang berjaga. Bayangkan saja, dalam akhir benthik umpetan yang kalah (sepasang) akan berjaga dan yang lainnya bersembunyi. Dalam proses bersembunyi pun tidak dengan dihitung, melainkan kayu benthik akan di lempar ke tengah kebun yang rimbun dekat lokasi bermain atau kemanapun itu dan keduanya saling terpisah. Si penjaga harus menemukan keduanya dan meletakkan diatas lubang terlebih dahulu sebelum mencari mereka yang bersembunyi. Area persembunyian di tentukan dengan batas-betas tertentu, kulon, wetan, lor, kidul (utara, selatan, timur, barat, semoga tidak salah). Yang melanggar akan langsung menggantikan penjaga. Hanya saja disini, yang sudah bisa ditemukan penjaga bisa terbebas dan bersembunyi lagi asalkan ada pasangan lain yang bisa membuang kayu benthiknya lagi. Jadi, intinya penjaga bisa terbebas dari hukumannya kalau bisa menemukan semua orang yang bersembunyi. Berapa kali umpetan (sembunyi) dilakukan? sebanyak jumlah orang yang ikut dolanan.



Biar kujelaskan dulu proses bermain benthik secara singkat. Dalam setiap round, harus ada 2 pihak yang bermain. Satu pemain dan satunya lagi penjaga, tinggal mau individu atau balanan. Pihak yang bermain pertama akan meletakkan batang benthik yang kecil melintang diatas lubang yang kami sebut "wok" kemudian batang benthik besar digunakan untuk mencungkil (seolah) dan melemparkannya jauh. Penjaga seharusnya menangkapnya. Kalau bisa tertangkap maka peran akan berganti, atau kalau lebih dari dua pemain maka giliran pemain yang berikutnya. Namun, jika tidak tertangkap maka batang benthik panjang diletakkan melintang diatas wok dan penjaga harus melemparkan batang benthik kecil sampai mengenai kayu benthik panjang diatas wok sampai berbunyi "tak". Kalau tidak kena, maka si pemain akan melanjutkan ke bagian dua yaitu tek ter. Dan, jarak antara batang kecil dengan batang besar akan diukur menggunakan batang besar terhadap wok. Patokan penghitungan adalah wok. Kalau tidak bisa menangkap ya lemparkan sedekat mungkin dengan wok.

(Aturan hitung menghitung menentukan pemenang: 1. Ditentukan dulu berapa banyak yang harus dicapai untuk putus (selesai bermain), umumnya 50 - 100. 2. Penghitungan adalah berapa kali, dihitung dengan batang bentik panjang atau pendek tergantung berapa kali batang pendek bisa dipukul oleh batang panjang.  Penghitungan dilakukan pada jarak hasil pukulan terhadap wok. Jadi, akan menghasilkan xx batang pendek atau xx batang panjang. 3. Kalau tek ter dan patok lele hanya dipukul sekali maka diukur dengan batang panjang, kalau dua kali dengan batang pendek, kalau tiga kali dengan satu batang panjang dan satu batang pendek, empat kali dua kali batang pendek, dan begitu pula seterusnya).


Tek ter adalah memukul batang kecil dengan batang besar dan melambungkan (melemparkan sejauh mungkin). Kalau bisa tertangkap oleh penjaga tentu permainan akan berhenti dan jarak lemparan tidak bisa dihitung, kalau tidak tertangkap ya kesempatan untuk menghitung. Proses penghitungan harus diperhatikan dan menggunakan suara yang keras agar tidak terjadi kecurangan.  Harus digaris lurus, kalau miring akan menghasilkan perhitungan yang jauh lebih banyak. Terkadang ada yang berusaha menghitung dengan bentuk zig zag agar menghasilkan lebih banyak hitungan, disini si penjaga harus sangat jeli.

Aku sendiri paling banyak hanya bisa memukul dua kali, tidak seperti sepupuku Ardi atau tetangga depan rumahku, Nanang. Mereka bisa memukul 2,3, bahkan 4 kali dalam satu proses tek ter. Seperti batang kayu kecil mereka mainkan dengan dipukul ke atas kembali lagi ke batang kayu besar dipukul lagi dan lagi sampai akhirnya dipukul keras untuk mendapatkan jarak yang sangat jauh. Kalau sangat jauh dan bisa tek ter lebih dari 3 kali biasanya kami malas menghitung, diputuskan saja mereka putus (berdasarkan pengalaman). Oia, tapi jarak pukul juga ada batasnya, kalau melebihi justru akan kalah. Intinya, patuhi semua aturan. Dan setiap kali benthik dilakukan secara balanan, aku akan memilih menjadi "bolo" (tim)-nya Ardi, pasti aku akan menang. Sebaliknya, kalau aku balanan dengan munif (teman kecilku) bisa dijamin kamu akan menjadi penjaga abadi hingga ba'da ashar.


Bagian terakhir dari benthik adalah patok lele, mungkin ada sebagian orang di daerah yang lain menyebut permainan ini dengan sebutan patok lele. Patok lele adalah meletakkan batang kayu kecil vertikal di dalam lubang dan memukul ujungnya. Ketika batang kayu kecil berhasil melambung, itu saatnya bisa dimainkan untuk akan dipukul berapa kali. Aturan penghitungan jarak hasil pukulan sama dengan aturan tek ter. Siapa yang memiliki keahlian benthik kelas tinggi akan sangat mudah mengeksekusi proses ini, kalau pemain dengan skill pas-pasan tak jarang gagal. Untuk memberi gelar apakah seorang jago bermain benthik atau tidak adalah dari seberapa kali dia bisa memukul saat tek ter dan patok lele. Sayangnya, aku tak pernah bisa mendapatkan gelar itu. Kecepatan tanganku memang sudah bisa dilihat dari kecil, tidak terlalu bagus. Saat ketiga episode dalam rangkaian benthik sudah terlewati maka giliran pemain lain yang bermain dan yang baru saja selesai bermain akan berganti menjadi penjaga. Begitu seterusnya.

Boleh dikatakan, benthik adalah permainan yang paling aku suka. Apalagi, benthik umpetan.  Menunggu saat-saat musim bermain benthik adalah saat yang menyenangkan. Mungkin di semua daerah pada umumnya sama, dolanan bocah memiliki musimnya masing-masing. Mana yang sedang menjadi tren istilahnya, dan semua anak akan memainkannya hampir setiap hari. Aku suka menciptakan tren bermain benthik.

Selain benthik, yang untukku adalah primadona dolanan masa kecil, masih ada banyak jenis dolanan lainnya yang tidak perlu menunggu apakah sedang menjadi tren atau tidak. Dolanan yang hanya dimainkan anak perempuan, anak laki-laki atau keduanya. Beberapa permainan yang masih sangat aku ingat antara lain "sledor-sledor" (ular panjangnya bukan kepalang), "betengan" (benteng), "yeye" (lompat tali), "sprento" (lompat tali juga, tapi talinya diputar-putar ke atas), "telo rembet" (harus menyentuh pepohonan), "cekemek" (tutup mata), "lintang ngaleh" (aku sedikit lupa), "umpetan" (petak umpet), "sedingklik oglak-aglik", "ban-banan" (menggelindingkan ban bekas dengan sebilah kayu), atau "sudah mandah" (dolanan favorit anak perempuan). Serta beberapa mainan yang akan ramai saat sedang menjadi tren seperti "layangan" atau "egrang". Sejujurnya aku belum pernah menerbangkan layang-layang, itu permainan anak laki-laki. Tugasku biasanya hanya memegang layang-layang sebelum di terbangkan, kami menyebutnya "metekke".


Mungkin nanti aku akan menjelaskan beberapa jenis dolanan yang lain, juga dolanan yang bisa dilakukan di dalam rumah dan tidak terlalu memakan aktivitas fisik. Tenang saja, bukan permainan game komputer, playstation, atau sejenisnya. Aku tak mengenal itu di masa kecilku. Yang aku kenal hanya jenis-jenis dolanan tradisional yang dimainkan di luar rumah atau di dalam rumah seperti dakon (congklak). Tinggal memilih, apakah  di suatu hari aku ingin bermain panas-panasan hingga menghitamkan kulitku lebih lagi bahkan yang sudah terlihat sangat hitam keling atau memainkan skenario-skenario di dalam rumah. Hanya saja, paling sulit untukku mendapat ijin bermain saat hujan. Aku bebas mau bermain apapun, hanya saja kalau sudah bersangkutan dengan hujan-hujanan ibuku pasti dengan lantang akan berkata TIDAK! Dan aku bukan anak yang suka melawan, memerintah dan manja iya, tapi bukan melawan. Oh ya, satu lagi yang tak boleh kulakukan adalah berenang di sungai. Sungguh, aku kehilangan momen berlarian di tengah hujan, kecuali ketika berjalan sepulang sekolah dan bukan untuk sengaja bermain hujan.



Siang hari di Tegal Rejo pada masa kecilku terasa sangat ramai. Ramai dengan suara dan tawa bocah-bocah yang dolanan di semua titik, tempat anak-anak biasanya dolanan. Namun, setelah aku beranjak remaja dan mulai meninggalkan dolanan, keramaian siang hari di Tegal Rejo juga sudah berakhir. Tak ada lagi anak-anak yang berlarian dan bermain di luar rumah. Hanya tertinggal anak-anak yang dipaksa tidur siang atau hanya menonton TV dan bermain playstation sepulang sekolah. Meski ada yang bermain di luar rumah, itupun hanya bermain sepeda. Bukan dolanan benthik, kasti, yeye, atau yang lainnya. Benthik yang menjadi permainan promadonaku waktu dulu sekarang sudah tidak ada yang memainkannya lagi. Ingin rasanya bermain itu lagi, hanya saja sudah tak ada anak kecil yang mau memainkannya. Bahkan mungkin, tau saja tidak.

Ya, lagi-lagi ini hanya napak tilas yang berbenturan dengan perubahan zaman. Seperti menghilangnya wajah rumah joglo papan, benthik dan jenis dolanan tradisional lainnya kini juga sudah menghilang. Mungkinkah aku bisa membawanya kembali hidup suatu saat nanti? Semoga saja. Kuharap benthik yang aku sukai itu bisa berdiri di tengah gempuran perubahan selera dolanan anak-anak suatu saat nanti.



Komentar