Tegal Rejo: Episode Rumah Joglo Papan



Menyambung cerita hari kemarin tentang dusun tempat kelahiranku, Tegal Rejo. Entah kenapa hari ini aku teringat tentang rumah, bangunan rumah secara kasat mata. Dulu sewaktu aku kecil, aku bisa dengan mudahnya menemukan rumah yang terbuat dari papan. Jangan bayangkan papan yang terbuat dari kayu jati dimana sang pemiliknya memang penggemar rumah bergaya tradisional sehingga ia membangun rumah yang semacam itu. Bukan begitu, tetapi lebih kepada rumah permanen yang memang masih jarang ditemukan kecuali untuk mereka yang punya kemampuan finansial lebih atau untuk pasangan keluarga muda yang sudah menginjakkan kaki pada zaman modern. Sewaktu aku masih kecil, mungkin sebelum usiaku menginjak 8 tahun, mataku masih termanjakan oleh pemandangan rumah Joglo papan. Rumah Joglo adalah rumah adat untuk masyarakat Jawa Tengah.

Seperti yang kubilang, rumah permanen hanya untuk orang yang memiliki kondisi finansial lebih baik dari sekitarnya atau pasangan muda yang mengiginkan kehidupan modern. Umumnya juga, pemilik rumah semacam itu khusus di Tegal Rejo adalah mereka yang minimal bekerja di pabrik dan para "pegawe" (sebutan untuk PNS), bukan para petani. Tapi, tunggu dulu, rumah Joglo papan umumnya memiliki ukuran yang sangat besar. Bagian ruang tamu adalah bagian terluas dari rumah joglo. Dan, satu lagi yang menjadi ciri khas rumah masyarakat jaman dulu adalah kamar mandi (MCK bagi yang punya) akan terpisah dari rumah. Bisa berjarak beberapa meter di belakang rumah, sedangkan kandang untuk kambing atau sapi justru menjadi satu dengan dapur. Namun tenang, rumah yang aku tinggali tidak semacam itu. Kami punya kandang terpisah 5 meter di belakang rumah. Kandang sapi dan kandang ayam.

Sewaktu aku kecil, masih banyak memang yang memiliki rumah Joglo papan, rumah nenek dari ibuku, rumahku, depan rumahku, samping kiri rumahku, rumah mbah iskhak (bahkan bertahan hingga sekarang), rumah uwak, dan rumah mbah-mbah yang lain. Untuk setiap keluarga yang didalamnya masih ada "si mbah-nya" kebanyakan memiliki rumah Joglo papan. Dan rumah itu selanjutnya akan diwariskan pada anak-anak mereka. Setelah orang tua yang mewariskan rumah itu tiada, biasanya anak-anak yang mewarisi akan membagi rumah tersebut dan membangun rumah yang baru. Rumah Joglo papan milik orang-orang jaman dulu ternyata bisa dibangun menjadi dua atau tiga rumah permanen tipe-45 mungkin atau 50, aku tak tahu pasti ukurannya. Namun, ada juga yang di pertahankan, biasanya akan menjadi milik anak ragil (anak terakhir) dan dia yang akan tinggal disitu juga untuk merawat orang tuanya.

Lalu bagaimana dengan rumahku? aku masih ingat dengan sangat jelas bagaimana gambar rumahku waktu dulu, waktu masih berbentuk Joglo papan. Dan itu adalah rumah tercintaku, percaya atau tidak aku hanya bisa tidur di rumah itu, dulu. Meski sekarang telah menjadi rumah permanen, bentuk dasarnya masih dipertahankan. Dan kamarku? masih sama letaknya dengan kamar yang kugunakan dari semenjak aku lahir. Mungkin hanya bergeser beberapa inci. Meski sekarang sudah berubah wujud, tapi di kepalaku gambaran rumah Joglo papanku itu masih sangat jelas. Pintu utama yang merupakan pintu lipat dengan delapan daun pintu, dimana letak galur (bagian bawah dari rangka pintu untuk rumah kayu), dan aku paling suka dengan "otot-otot" (sebutan umum di masyarakat kami untuk kayu yang dijadikan rangka rumah untuk memaku papan, berbentuk horizontal). Disana aku bisa menemukan dan meletakkan banyak hal. Sangat senang ketika menemukan keping uang 25 atau 50 rupiah milik ibu di otot-otot yang kuraba-raba dan boleh kugunakan untuk membeli "krip-krip" atau permen.

Sekarang biar kugambarkan rumahku lebih rinci lagi. Ada dua rumah sebelahan, satu rumah yang terbuat dari bata atau kami sebut tembok dan satunya Joglo papan. Rumah tembok berukuran lebih kecil dan kata bapak dulu sempat dijadikan kandang kerbau. Sewaktu Bapak masih memelihara kerbau. Sedangkan sewaktu aku kecil rumah itu sudah ditinggali oleh keempat kakakku, ada tiga kamar disana. Aku, bapak, dan ibu, tinggal di rumah joglo papan. Ada tiga kamar juga, tetapi rumah itu cukup besar. Ruang tamunya sangat besar sehingga sering menjadi arena bermainku. Aku bisa berlari-lari, bermain petak umpet, tanpa takut terbentur tembok. Oh ya, ada empat tiang kayu penyangga atau biasa disebut "soko guru" di ruang tamu dan dua tiang penyangga di teras rumah. Lucunya, ibu juga sering memanfaatkan aku untuk menyiram lantai tanah ruang tamu kami agar tidak berdebu dengan memandikan aku di sana. Ibuku menyuruhku lari kesana-kemari sehingga semua sudut ruang tamu bisa tersiram air yang terlebih dulu disiramkan ke badanku. Dan justru saat itu aku merasa sangat senang, mandi sambil berlarian kesana-kemari tidak merasa dimanfaatkan sama sekali. Bahkan, itu menjadi iming-iming ibu jika aku tak mau mandi. Sungguh cerdasnya ibuku mengkombinasikan tugas rumah tangganya.

Tadi kuceritakan bahwa pintu depan rumahku adalah pintu lipat dengan delapan daun pintu. Di samping kanan-kirinya ada pintu potong atau apa ya lebih tepat aku menyebutnya? Pintu yang seolah terpotong di bagian tengah. Sehingga bisa difungsikan sebagai pintu jikalau dibuka keduanya atau menjadi jendela jika hanya bagian atas yang dibuka. Tak ada jendela di rumahku itu selain hanya satu di ruang tamu, jika masuk dari luar berarti ada di sebelah kanan. Bukan jendela berlapis kaca, tetapi jendela dengan tutup kayu yang bisa di buka ke kanan dan ke kiri dan ada jeruji-jeruji kayu yang di posisikan vertikal seperti di penjara. Dibawahnya ada dipan tanpa kasur, aku suka tidur disana kerena aku bisa tidur siang dengan belaian angin yang silir (sejuk). Atau sekedar bermain rumah-rumahan dengan boneka "susan"ku, boneka pertamaku.

Oh ya, di ruang tamu kami ada sebuah kaca besar. Katanya peninggalan zaman Jepang yang seringkali kakakku dan aku menggunakannya untuk bermain saat aku menangis. Hanya bermain tebak-tebak tangan atau kaki siapa yang terlihat dicermin. Selanjutnya maju selangkah demi selangkah untuk melihat jawabannya. Dan ternyata kaki kecilku yang ada di gendongan kakak pertamaku yang sangat lemah lembut itu, ibu keduaku. Di ruang tamu hanya ada satu set kursi rotan, lemari kayu yang katanya juga penginggalan jaman Jepang, skesel (sejenis pintu hias) dan satu jam yang suka berbunyi "teng teng teng" sebanyak jam berapa saat itu.

 Masuk ke pintu yang hanya di lapisi gorden warna merah, adalah ruang keluarga kami. Oh ya, di ruang tamu ada satu bagian yang terpotong untuk sebuah kamar, yaitu kamar Mbah Kakung (dulu) dan sewaktu aku kecil tak ada yang menempati kamar itu setelah mbah kakung meninggal. Kembali lagi, di ruang keluarga kami ada sebuah dipan dan TV hitam putih, hiburan satu-satunya yang kami miliki. Kalau cuaca sedang buruk, kasian, kedua kakak laki-lakiku harus secara bergantian bertugas memutar tiang antena di samping rumah. Dan tugasku? berteriak apakah gambar yang tampil di TV sudah lumayan bagus atau belum "Uwissssssss, Duruuuunnnnggg" (sudah, belum). Lanjut, di samping kanan dari pintu masuk adalah kamarku dan ibuku dan disamping kanan awalnya kamar kedua kakak perempuanku sebelum akhirnya mereka memilih kamar di rumah tembok. Dan terakhir, bagian paling belakang adalah dapur dengan dinding yang sangat rendah serta terbuat dari bambu di bagian belakang. Di dapur ada pawon (tungku) dan rak tempat piring dan gelas serta sebuah gentong semen untuk tempat air yang digunakan untuk memasak.Oia, masih dari arah pintu masuk bagian atas sebelah kanan dapur kami ada bagian yang bolong, gunanya adalah untuk tempat bertengger burung, kalau aku tidak salah merpati. Uniknya, burung itu terbang bebas, tetapi ia akan pulang saat ia ingin makan atau di malam hari. Dan selebihnya? ia terbang bebas di habitat alamnya.

Oia, sebelumnya kusebutkan bukan tentang galur? Kau tau aku sangat menyukai galur. Disanalah aku biasa duduk menunggu ibuku pulang dari menjual barang dagangan ke pasar (untuk galur depan rumah). Aku duduk menunggu sampil bermain menggambar di tanah, main rok-rokan (orang-orangan dari kertas) atau terkadang memanggil-manggil nama ibuku. Ada juga galur di pintu yang menghubungkan ruang keluarga dan dapur. Disana aku biasa duduk menunggui ibuku yang sedang memasak. Memasak untuk kami atau membuat gorengan dan keripik ketela untuk di jual. Aku senang duduk disitu ketimbang diatas dipan dan menonton TV, karena aku bisa lebih jelas melihat ibu dan memastikan ibuku tidak pergi kemana-mana dan masih bersamaku. Atau, moral hazard terkadang mengajakku untuk duduk di galur mendramatisasi suasana. Ketika aku mengiginkan sesuatu dan tidak dituruti, aku akan menangis dan duduk nelangsa di galur tengah itu.

Menulis ini membuatku sedikit bermelankoli. Betapa hangat dan menyenangkannya rumah Joglo papan itu. Meski bentuk dasarnya masih dipertahankan oleh rumahku yang sekarang, tapi tetap saja berbeda. Galur dan otot-otot kesayanganku sudah tidak ada lagi. Dan sampai sekarang, meski berubah, aku masih menggunakan kamar dengan letak yang sama. Berharap agar kenanganku tak pernah hilang. Pernah dulu sewaktu kecil, satu hari aku tak mau tidur di kamar itu, aku menangis dan memaksa tidur di rumah tembok. Tak seperti biasanya, aku justru menangis jika harus tidur di rumah tembok. Ternyata di tengah malam salah satu sisi atau di bilang sungunan rumah Joglo papanku rubuh. Untunglah sedang tak ada orang di dalam rumah itu. Dan karna itu rumah papan, juga sering ada hewan-hewan dari kebun sekitar dari ulat bahkan sampai ular yang ingin menumpang berteduh di dalam rumah.

Hmmmmm, jaman memang membawa banyak perubahan. Rumah Joglo papan di sudut-sudut Tegal Rejo sudah berganti wajah. Hanya tinggal dua atau tiga rumah sepertinya. Sisanya, telah berubah menjadi rumah permanen berlantaikan keramik bahkan ada yang bertingkat. Namun, memang sewajarnya seperti itu, mengikuti kemana arah jaman menuju. Tapi disini, dikepalaku, aku masih memiliki rumah Joglo papanku. Tempatku merajut mimpi, bercengkerama dengan keluargaku, menunggu ibu, menggigit tangan kakak-kakakku yang usil, dan juga bermain boneka. Akan kusimpan sampai kapanpun dan aku bersyukur aku masih mengingatnya dengan jelas.

---------- Kutuliskan ini dengan harapan di saat nanti ketika ingatanku sudah tak sebagus ini, masih ada yang bisa membantuku mengingatnya.

Komentar