Kepingan Cerita Di Hari Minggu




Hari ini aku akan menulis kisah tentang kepingan hari. Bukan cerita yang terjadi dalam satu hari, hanya saja aku kemas seolah ini cerita dalam satu hari. Agar terlihat lebih sederhana saja dan lebih pendek aku menulisnya. Sepenggal ceritaku bersama empat orang yang berbeda. Tinggal dalam satu atap. Berbagi cerita hidup setiap hari. Kupikir lebih baik aku bercerita tentang hari minggu. Apa yang sering kali kulakukan di hari minggu semasa aku kecil.

Di hari minggu aku justru lebih suka membuka mataku lebih pagi. Bukan untuk pergi piknik bersama ayah ibu dan saudara-saudara yang lainnya. Sama halnya seperti anak-anak yang lain, bangun pagi dan menyalakan TV. Kerajaan tayangan kartun di TV hanya ada di hari minggu. Jadi aku juga tak ingin melewatkannya. Namun, ternyata aku bangun lebih pagi dari jam mulai kartun pertama. Semua stasiun TV masih menayangkan acara berita. 

Aku memutuskan pergi ke dapur, sudah terdengar suara percikan api disana. Suara kayu yang terbakar, juga blarak (daun kelapa yang sudah kering, berwarna cokelat). Ternyata ibuku sudah mulai bekerja. Namun, hanya kulihat Kakak pertamaku disana. Mungkin ibu sudah beranjak ke ladang. Kakak perempuanku itu menjaga api agar tetap menyala. Sepertinya ia memanaskan air untuk mandi kita semua. Dusun tempat tinggalku memang di kaki gunung dan dingin. Tak kuat jika aku harus mandi dengan air dingin di pagi hari, bahkan sore hari juga. 

Sesuai yang aku harapkan. Kakak perempuanku masih dengan gamis jubahnya yang panjang. Meski di dalam rumah dia masih mengenakan yang seperti itu, aku tak mengerti kenapa. Padahal ibuku tak pernah memakai yang seperti itu dan bapak juga tak menyuruh Kakak memakainya. Langsung saja aku berjalan dan mengagetkan Kakak dari belakang. Dia terlihat sangat kaget saat itu dan aku tertawa girang. Jika kupikir sekarang sebenernya ia hanya berpura-pura kaget agar aku tak kecewa. Langsung di peluknya tubuh kecilku dan ditaruhya di pangkuannya. Memang ini tujuanku. Aku suka duduk di pangkuan Kakakku saat dia mengenakan jubah besar. Seperti aku duduk di ayunan kain saja rasanya. 

Di depan bara api dan dia memelukku sangat hangat. Aku menyukai kehangatan ini seperti aku menyukai kehangatan ibu. Saat itu aku merasa dialah ibu keduaku. Jika ia harus pergi di hari senin untuk tinggal di asrama sampai hari Jumat, aku akan menangis. Memeluknya erat dan merengek, "Jangan pergi". Jika Bapak tidak memukul kakiku mungkin aku tak akan melepaskan pelukanku dari Kakak. Aku suka bersamanya seharian meski hanya mendengarkan ia membacakan cerita Permata di majalah Ummi dan mengajariku bernyayi. Semuanya tentang nasihat agar aku tidak nakal dan rajin belajar juga mengaji. 

Aku rela untuk seharian tidak bermain bersama teman-teman. Sekadar bermain boneka bobo yang di belikannya waktu aku diajak Kakak piknik ke kebun binatang atau bermain rok-rokan sambil menemaninya menyetrika. Sampai suatu hari saking aku menempel Kakakku yang sedang menyetrika, jari kelingkingku pun merasakan panasnya setrika untuk pertama kali. Karena memang aku tidak bisa hanya diam menunggu. Untung Kakakku ini seorang yang sabar dan mau menanggapi semua tingkah juga pertanyaan-pertanyaan ingin tahuku. Jadi, di hari minggu aku akan lebih senang di rumah. 

Masih duduk di pangkuan Kakak, ia mengajariku sebuah lagu baru "Si munir berangkat sekolah dia mendorong Abdullah ketika pulang dia terjatuh pula. Allah maha melihat, Allah maha mendengar. Allah maha melihat Allah maha bijaksana". Sepertinya ia menciptakan lagu ini sendiri. Setelah masuk TK dan di kaset tape lagu anak-anak pun aku tak pernah mendengar ada yang menyanyikan lagu ini. Namun, lagu ini selalu terngiang di telingaku saat aku bersama Kakak, bahkan sampai sekarang. Biasanya, si anak kucing "Kuwuk" (kucing besar dan tua peninggalan almarhumah mbah putri) juga duduk di sebelah kami. Kakak sangat suka dengan kucing, dia juga mengajariku untuk menyukai kucing. Meski, sekarang aku tidak suka dengan kucing. Namun, dulu ketika Kakak masih tinggal di rumah aku juga ikut menyukai kucing seperti dia.

Sudah waktunya tayangan kartun pertama mulai. Dengan cepat aku bangkit dari pangkuan Kakak dan berlari menuju "Amben" (dipan kayu tanpa kasur) di depan TV. Ternyata sudah ada si tukang jahil di sana. Iya, dia Kakak keempatku. Memang kami selisih hampir sembilan tahun, hanya saja dia tetap mengangguku setiap hari. Seolah aku saingan terberat atau bahkan musuhnya. Tak pernah rasanya dia memperlakukan aku dengan manis. Jangankan menggendongku di punggungnya, tidak membuatku berteriak-teriak barang satu hari karena keusilannya pun aku sudah sangat bersyukur. Hal yang paling aku inginkan sewaktu aku kecil adalah memiliki Kakak laki-laki yang menyayangiku dan memperlakukan aku dengan manis. Seperti yang kulihat di sinetron.

Seolah sudah menguasai tahtanya. Kakak sudah tiduran di atas amben dengan tempe mendoan di sampingnya. Itu makanan kesukaan Kakak. Karena aku adalah penggemar berat Kakakku yang sangat jahil ini makanya aku ikut menyukai semua yang menjadi kesukaannya. Aku tidak ingin Kakakku di-claim oleh sepupu-sepupuku yang lain. Dia Kakak milikku. Jadilah sampai sekarang aku juga menyukai tempe mendoan dan perkedel kentang seperti Kakak. Aku juga suka memakai kaos bekas Kakak. Di hari minggu aku juga tak mau kalah dengan Kakak, aku mengambil tahtaku di atas amben. Amben itu milik kami berdua setiap hari minggu. Dan dimana tiga orang yang lainnya? Mereka mengerjakan apa yang menjadi tugasnya masing-masing.

Tak hanya menonton kartun, ada satu permainan yang paling aku suka ketika menonton TV seperti ini dengan Kakak. Meski saat bisa berkumpul nonton TV di waktu lain, bukan di hari minggu saja kami juga memainkan permainan ini. Permainan tebak iklan. Jadi dua detik setelah suatu iklan muncul, tentunya masih intro kita harus menebak iklan apa itu. Tentu, semua Kakak juga tahu akulah yang jadi juaranya. Wajar saja, karena aku yang paling banyak menghabiskan waktu di depan TV. Juga harus diakui sejak kecil aku memang memiliki daya ingat yang cukup cepat. 

Perlombaan ini tak ada hadiah. Hanya saja kalau aku kalah, seringkali Kakak menyuruhku menginjak-injak badannya. Aku suka melakukan pekerjaan ini tapi kalau sering aku juga malas. Oh ya, biasanya aku dan Kakak bisa menebak dalam waktu yang bersamaan. Mulailah perdebatan kalau sudah seperti ini, siapa yang menang. Akhirnya aku mengacungkan jari dan berteriak "Aku duluaaaannnnn!". Tidak mau kalah, Kakak mengacungkan lima jari (asumsi yang kami gunakan adalah acungan jari paling banyaklah yang menang). Aku juga tak mau kalah lagi, mengacungkan supuluh jari alias dua tangan. Masih tak mau kalah, Kakak mengangkat dua kaki dan berhasil menunjukkan 20 jari. Aku juga mengikuti hal yang sama. Lebih kreatif, Kakak meringis dan menunjukkan giginya. Aku tak mungkin mengikuti, gigi depanku sudah ompong beberapa akibat terlalu banyak makan permen dan malas menggosok gigi. Kakak menang karena giginya. Ibu dan Kakak lainnya yang melihat tingkah kami seperti ini pasti akan tertawa. Ada-ada saja yang kami lakukan.

Kalau jarum jam sudah menunjuk ke angka sembilan dan dua belas, alias sudah jam sembilan biasanya aku akan turun dari amben. Tidak mau lagi menemani Kakak idolaku menonton kartun. Pada jam ini, kuasa ada di tangannya karena Dragon Ball ditayangkan mulai jam sembilan. Biasanya kalau tidak malas aku memilih untuk mandi dan mencari apa yang bisa kumainkan selanjutnya. Namun, di hari minggu aku akan lebih memilih tinggal di rumah. Hanya saja tetap Ibu akan sibuk di Ladang dan ke Pasar. Bapak di sawah dan selebihnya aku tak tahu, seharusnya di hari minggu Bapak tidak mengajar. Aku akan menghabiskan waktu lebih banyak dengan Kakak di hari minggu. Kalau senin-sabtu, barulah aku lebih banyak bersama Ibu.

Pergi ke belakang rumah. Kakak pertamaku menyuruh aku mandi. Menunggu dia mengambilkan air dan membawanya ke padusan (bak penampungan air dengan bilik ala kadarnya ari seng) aku malah berjalan ke kandang sapi. Ternyata di dalam ada Kakak ketigaku yang sudah pulang mengambil rumput dan memberi makan sapi. Kakak masih SMA waktu itu dan dia rajin merawat sapi miliknya. Itu sapi yang Bapak janjikan untuk biaya kuliahnya nanti. Bukan hanya karena itu, kupikir Kakak lebih menyayangi sapinya itu ketimbang adiknya ini. Dia menuang rumput-rumput di depan mulut sapi dan mengambilkan air komboran (air minum sapi yang kalau aku tak salah ingat di dalamnya ditambahkan garam dan potongan-potongan singkong).

Aku kehilangan banyak memori yang berkesan dengan Kakak ketigaku yang ini pada usia yang sekecil itu. Mungkin karena Kakakku yang satu ini sangat gemar bergaul dengan teman-temannya. Kalau ada waktu luang pasti dia akan pergi ikut nongkrong entah di mana dengan teman-temannya. Aku sangat jarang bermain dengan Kakak yang satu ini. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-temannya juga sapinya. Hanya saja yang aku tahu, setiap maghrib pasti Kakak ketiga dan Kakak keempat akan pergi ke masjid sampai isya'. Kakak ketiga, aku melihatnya bukan jahil, tapi lebih pada galak. Seperti Bapak. Selain itu, dia juga jago pencak silat. Hanya saja, Kakak justru pernah menggendongku di punggungnya sewaktu pergi ke masjid untuk salat tarawih di suatu hari saat Ramadhan.

Aku melihat saja Kakak memandikan sapi setelah memberikan makan. Tidak hanya diam, aku pasti bertanya ini itu. Namun, aku tidak ingat apakah Kakak banyak menjawabnya juga dengan ini itu. Aku ingat aku berjongkok di depan pintu kandang dan Kakak tetap fokus memandikan sahabatnya. Pernah suatu hari sapi milik Kakak sakit dan Kakak menunggui si sapi yang di beri obat apa aku tak tahu. Bahkan Kakak juga ikut tidur di dalam kandang sapi sambil memeluk kepala si sapi. Saat si sapi akhirnya harus di jual, Kakak benar-benar tak ingin melihatnya di bawa pergi dari kandang oleh sebuah mobil sapi kami menyebutnya. Kakak memilih kabur entah ke mana. Selain merawat sapi, Kakak juga pintar merawat ayam juga kambing. Kupikir Kakak benar-benar mirip Bapak. Oh ya, Kakak ketiga juga pintar menolak hujan dengan menegakkan sapu lidi dengan posisi terbalik. Aku suka iseng menjatuhkan sapunya dan Kakak akan marah.

Saatnya mandi. Ternyata yang memandikanku adalah Kakak keduaku. Kakak perempuan yang bertubuh kecil dan kurus, tapi kulitnya sangat putih. Berbeda denganku dulu yang bisa dibilang keling. Dia sangat cerewet cuma yang kusuka dari Kakakku ini adalah dia sering menguncir rambutku dan membelikanku berbagai jenis pita dan jepit rambut. Kakak juga sering membelikan aku pensil warna dan buku gambar karena aku sangat suka menggambar. Aku malas menulis, hanya suka menggambar. Sepertinya Kakak sudah selesai mencuci baju-baju kami. Jadi, sekalian dia yang memandikan aku.

Siang hari aku masih bermain rok-rokan (orang-orangan dari kertas yang bisa diganti-ganti bajunya). Aku tidak biasa tidur siang. Karena itu Kakak memanfaatku untuk menjadi penjaga pintu hari ini. Aku ingat hari itu rumah wetan sudah tidak berlantaikan tanah lagi. Karena masih baru, aku masih sangat suka bermain di lantai. Membuat rumah-rumahan dari lidi ya hanya berbentuk denah, tapi itu kuanggap rumah untuk mainan manusia kertasku. Kakak keduaku berpesan, nanti kalau ada tamu laki-laki yang mengaku temannya datang ke rumah bilang dia sedang pergi. Padahal aku tahu, Kakak sedang tidur siang karena lelah mencuci pakaian semua orang dirumah. Aku tak tahu urusan orang dewasa seperti apa, Kakak sudah kuliah waktu itu. Aku hanya mengangguk mengikuti kemauan Kakak dan dia memberiku uang untuk jajan. Dan selain itu, Kakak juga berpesan kalau langit mulai mendung aku harus membangunkannya untuk mengangkat pakaian. Kujawab iya dengan senang hati.

Aku mulai bosan, rumah sepi. Entah sedang apa manusia-manusia lain di rumah ini. Sampai aku ingat masih ada Kakak kedua di kamarnya. Aku berlari seperti terburu-buru masuk ke kamar Kakak dan berteriak ke Kakak perempuan keduaku, "Gerimiisss....". Kakakku memang sensitif telinganya, tak seperti Kakak pertama yang susah di bangunkan. Kakak spontan langsung berdiri dan berlari ke belakang ingin mengangkat jemuran. Ternyata siang itu masih panas, bahkan mendung pun tidak. Kakak mulai berteriak memanggil namaku dan aku lari. Aku tahu aku bersalah. Tapi aku puas. Itu seringkali kulakukan kalau Kakak berpesan hal yang sama. Namun, tetap saja Kakak selalu berpesan hal yang sama di hari minggu.

Kesalahan berikutnya kulakukan saat ada suara laki-laki mengucap salam. Kakak yang sedang menemaniku tiduran dan bercerita langsung tahu. Kakak menyuruhku keluar dan berbohong pada si tamu bahwa Kakak sedang tidak ada dirumah. Bayaranku untuk melakukan kebohongan sudah diberikan Kakak tadi. Oke, aku keluar dan menjawab salam si tamu. Tamu laki-laki yang mengaku teman Kakak menanyakan apakah Kakak ada di rumah atau tidak. Dan aku dengan kepolosan anak-anakku menjawab seperti ini kira-kira "Kakak dirumah, itu ngumpet di dalam kamar. Tapi, aku disuruh Kakak bilang kalau Kakak sedang tidak ada dirumah. Terus tadi aku dikasih uang." Aku tidak mengerti kenapa, si tamu langsung tertawa terkikik dan Kakak keluar kamar juga sambil tertawa. Akhirnya Kakak menemui tamu dan aku tidak memiliki teman lagi.

Mencari-cari berkeliling di rumah wetan dan rumah kulon. Kakak pertama sedang menyetrika. Kakak ketiga sepertinya sedang main ke rumah tetangga, nongkrong katanya. Kakak keempat sepertinya besok akan ada ulangan dan sedang belajar. Dia memang sangat rajin dan pintar. Ibu juga belum terlihat di rumah. Kalau Bapak, aku memang tidak pernah bermain dengan Bapak. Jadi, aku jarang mencari Bapak. Tak tahu apalagi yang bisa kulakukan, kupikir lebih baik aku kembali ke amben. Nonton TV, tralala-trilili atau yang lainnya. Setelah itu, aku akan secara tidak sadar tertidur di amben.


Komentar