Tegal Rejo : Episode Boneka "Barbie"


Melanjutkan cerita berseri tentang Tegal Rejo, hari ini aku ingin menulis episode tentang permainan anak perempuan. Apalagi kalau bukan boneka. Bermain boneka adalah waktu dimana anak-anak perempuan sedang tak ingin bergabung dengan anak laki-laki dan menunjukkan ekslusifitas mereka. Terkadang, bermain boneka kupilih saat tidak terjadi kata sepakat untuk jenis permainan yang akan dimainkan ketika berunding dengan kelompok anak laki-laki. Sebagai contoh, kami anak perempuan ingin bermain "masak-masakan" dan anak-anak laki-laki ini menjadi pembelinya plus memanfaatkan sepeda mereka sebagai ojek. Alias menjadi tukang ojek. Namun, kelompok anak laki-laki tidak setuju, mereka ingin bermain sepeda sampai ke dusun sebelah dan kami menjadi pembonceng mereka, berdiri sepanjang perjalanan dan ikut bersorak-sorai. Tak ada kata sepakat di bawah pohon "ace", akhirnya kami memutuskan tidak akan bekerja sama untuk permainan hari ini.

Di bawah pohon "ace" akhirnya aku menunggu beberapa anak perempuan yang berjalan mengarah ke rumahku. Aku akan mengajak mereka bergabung bersamaku dan seorang sepupu perempuanku yang sedari pulang sekolah sudah disini. Sesungguhnya aku sewaktu kecil paling tidak suka diikuti seperti ini. Aku sempat tidak suka dengan sepupu perempuanku ini yang bahkan selalu menginginkan baju yang sama dengan yang aku pakai. Dia juga merasa paling senang ketika memakai bajuku yang sudah kesempitan yang diberikan ibu padanya. Itu membuatku sangat kesal pada si anak ini. Namun, aku harus tetap bermain bersamanya. Aku lebih tua, kata ibu kalau aku nakal maka kepintaranku akan berkurang dan aku tak mau hal itu terjadi.

Masih di bawah pohon "ace", bersama tiga orang anak perempuan yang lainnya akhirnya kami bersepakat untuk jenis dolanan apa yang akan kita mainkan hari ini. "Dolanan bonekah" (bermain boneka.), itulah agenda keempat anak perempuan ini hingga ba'da ashar nanti. Meninggalkan titik perundingan favorit (di bawah pohon ace), aku masuk ke dalam rumah mengambil peralatan yang dibutuhkan. Kami akan bermain "barbie" hari ini.

"Barbie"? Apakah kami akan bermain boneka cantik dengan rambut pirang dan tubuh kurus itu? Tentu saja bukan. Tidak ada anak dusun yang memiliki "barbie" saat itu. Selain boneka barbie palsu seharga lima ribu rupiah yang di beli di pasar Ungaran. Itu pun ketika usiaku sudah diatas sembilan tahun baru aku memilikinya, dan setauku aku menjadi satu dari beberapa anak saja yang beruntung memilikinya hingga empat biji. Yang lain akan meminjam milikku berserta pakaian-pakaian kecil yang dijahitkan kakak perempuanku dengan sabar. Itu adalah aset berharga dalam dinasti mainanku pada usia itu.

Kembali pada "barbie" anak dusun, kami membuat "barbie" kami sendiri. Jadi, sebelum bermain kami harus membuat bonekanya dulu karena "barbie" kami hanya bisa bertahan satu hingga dua hari. Hanya untuk sekali bermain. Tak berapa lama aku sudah mendapatkan alat-alat yang aku butuhkan untuk bermain dan membuat si "barbie". Sebuah pisau dan sebuah cutter (seharusnya pisau saja cukup, hanya saja kami berempat dan aku butuh alat tajam tambahan agar dua orang bisa bekerja dalam satu waktu yang sama), sebuah jarum, dan bagor (karung beras) untuk kami jadikan alas bermain. Anak-anak sekecil kami seharusnya tidak bermain dengan benda-benda tajam seperti itu. Memang benar entah sudah berapa kali ujung jariku ini teriris dan harus dibungkus sobekan jarik (kain batik) bekas dan di tetesi obat merah (obat luka jaman dulu). Namun, itu akan kesempatan untuk beralasan tak mau mandi, "tanganku masih sakit kalau kena air". Aku mengambil keuntungan pada ketidakberuntungan.

Aku menggelar bagor di teras rumah yang masih berlantaikan tanah. Ya karena itu aku menggunakan bagor, bukan tikar yang masih menjadi aset yang cukup berharga pada masa itu. Hanya alas ini yang dipersilahkan ibuku untuk aku memakainya. Setelah itu, aku dan seorang temanku beranjak ke kebun samping rumah. Mengambil batang daun pisang, kami menyebutnya "debok" (gedebok pisang, bagian tengah dari daun pisang yang memisahkan sisi kanan dan sisi kiri). Kami mengambil yang cukup besar dan umumnya hanya menggunakan bagian pangkal karena ukurannya memang paling besar. Semakin ke ujung akan semakin mengecil. Untuk mengambil daun pisang ini, anak sekecil kami menggunakan genter (galah) yang pada ujungnya kami ikatkan pisau. Berhasil, kami mengambil empat daun pisang yang pangkalnya kira-kira berdiameter 5-6 cm. Tersenyum puas, aku menyeret daun pisangku dan memanggil yang lainnya. Aku memilih yang paling besar. Ini kebunku, jadi aku berhak memilih terlebih dahulu. Apalagi aku juga yang mengambilnya.

Kami anak dusun, memang sangat sering bermain dengan mainan berbahan dasar dari alam dan kami membuatnya sendiri. Debok ini juga menjadi bahan favorit anak laki-laki untuk membuat senapan mainan, bedil-bedilan (tembak-tembakan). Dalam bermain masak-masakan gedebok pisang ini juga sangat berguna untuk membuat berbagai jenis "masakan". Selain "berbie" dusun, mainan yang kami buat dari bahan-bahan yang biasa diambil dari kebun samping rumahku adalah dompet-dompetan yang terbuat dari daun kopi, mahkota raja yang terbuat dari daun rambutan atau daun cengkeh, kalung dan gelang yang terbuat dari kembang kopi, dan masih banyak yang lainnya. Bercerita tentang mainan yang kami buat sendiri, tiba-tiba aku teringat pada high heels anak dusun. Untuk membuat heels, kami meletakkan kerikil yang seukuran tumit kami dengan permukaan rata diatas sandal jepit "swallow" dan jadilah high heels kami.

Setelah mendapatkan daun pisang masing-masing, kami menyisir daun pisang dengan pisau dan hanya menyisakan debok-nya saja. Kamu memotong dan menyisakan bagian yang berukuran cukup besar saja sekitar 30 cm atau kurang. Biasanya tidak terlalu panjang. Hanya saja kalau semakin panjang akan semakin menyenangkan sesungguhnya karena kami bisa membuat "barbie" dengan rambut yang lebih panjang. Kalau bagian badan, tinggal disesuaikan apakah ingin membuat boneka dewasa atau anak-anak. Kami bergantian membersihkan daun pisangnya. Bagian pangkal debok sampai ke titik tertentu adalah bagian yang akan menjadi kepala boneka. Kenapa? semakin besar debok akan bisa digunakan untuk membuat rambut yang lebih lebat.

Sekarang aku akan menjelaskan bagaimana cara membuat boneka "barbie" dusun kami:

  1. Debok yang sudah dipotong akan dibagi menjadi dua bagian, bagian rambut dan bagian badan. Kami menyukai bagian rambut yang sama dengan ukuran bagian badan atau bahkan lebih. Rambut yang panjang adalah indah di mata kami. Oh ya, membagi bukan berarti memotong, hanya membuat garis melingkar dengan pisau, tetapi sedikit dalam.
  2. Membuang kulit debok pada bagian atas (bagian rambut) dan menyisakan bagian dalamnya saja yang berwarna putih dan berlendir. (buang bagian yang berwarna hijau kekuningan dengan membuat garis melingkar yang cukup dalam tadi kemudian menyayatnya bisa dari atas ke garis lingkaran itu atau sebaliknya).
  3. Menyayat tipis-tipis bagian putih berlendir yang tersisa di bagian atas dengan jarum. Menyayat dari bagian pangkal ke atas dengan menusukkan jarum dan menariknya dengan alur. Semakin tipis serabut yang dihasilkan akan semakin bagus. Ini adalah bagian tersulit dalam membuatnya. Butuh beberapa kali atau mungkin hingga sepuluh kali pengalaman membuat "barbie" debok untuk bisa memiliki kemampuan membuat rambut yang tipis. Sayatan yang tipis akan menghasilkan rambut yang lebih lebat tentunya. Jika bagian ini sudah selesai berarti 3/4 boneka sudah jadi. Hanya tinggal memberikan sentuhan akhir.
  4. Membuat bagian mata, hidung, dan mulut dengan menggunakan cutter. Buat lubang seperti mata dan mulut di bagian depan debok (bagian cekung menjadi badan belakang boneka). Untuk hidung jangan dibuat lubang, cukup bubuhkan garis vertikal saja yang menandakan bahwa itu hidung. Jelek kalau di buat lubang. Kemampuan membuat mata dan bibir juga harus bagus untuk menghasilkan boneka yang cantik. Cantik? haha, ya buat kami boneka ini tak kalah dengan barbie yang asli. Karena kami belum pernah melihatnya selain dari tivi.
  5. Bisa gunakan spidol untuk memberi warna pada bibir dan mata. Setelah tahapan ini selesai berarti jadilah "barbie" yang siap kami mainkan. Atau bisa tunggu sebentar agar rambut sedikit kering.


Hanya saja esok hari boneka kami ini pasti sudah akan mengering dan menjadi keriput. Kalau ingin bermain yang seperti ini lagi esok hari masih bisa, tapi tidak dengan hari berikutnya. Sungguh sudah tidak lagi menjadi boneka "barbie" debok yang cantik jika melebihi dua hari. Dalam keahlian membuat boneka "barbie" debok boleh dikatakan kemampuanku cukup baik. Boneka yang kuhasilkan cantik, dengan rambut tipis dan lebat, bibir mungil, dan mata yang pas.

Saatnya kami bermain dengan "barbie" debok yang sudah jadi. Mengikat atau mengepang rambut si "barbie". Tak perlu menggunakan pakaian. Oh ya, terkadang kalau tidak malas dan takut akan rusak, kami juga membuat bagian kaki dan tangan. Caranya yaitu dengan membuat sayatan di bagian samping kanan dan kiri, atas dan bawah untuk membuat tanda bahwa itu adalah kaki dan tangan. Sayatan yang membuat bagian kulit debok terbuka.

Saatnya skenario dimainkan setelah "barbie" yang kami buat sempurna terbentuk. Memberikan nama dan menentukan peran. Disinilah aku biasanya mendapatkan kebanggaanku. Aku selalu mejadi sutradara dalam dolanan bermain peran seperti ini, entah dengan media boneka atau bermain peran langsung. Aku yang akan menentukan jalan ceritanya seperti apa, siapa yang memainkan setiap peran, bahkan hingga dialog tak jarang aku masih ikut campur. Well, untungnya semua temanku selalu setuju aku dengan peranku yang seperti itu. Selama mereka masih bisa bermain denganku atau justru itu memudahkan mereka tanpa harus bersusah-susah memikirkan jalan cerita untuk perannya. Aku punya banyak sekali jalan cerita untuk dimainkan. Dari peran tukang jamu, ibu rumah tangga, hingga ibu-ibu direktur. Walaupun aku tak pernah melihat secara kasat mata peran-peran seperti ibu-ibu direktur itu.

Kenangan tentang dolanan "barbie" dusun sekarang bisa kukatakan menjadi aset sangat berharga dalam memori masa lampau yang harus kusimpan rapat. Tak ada anak yang mungkin ingin memainkannya lagi, tidak cantik, repot membuatnya, dan sang ibu pasti juga akan marah. Baju anak-anak yang selanjutnya akan bernodakan lendir, kami menyebutnya "tlutoh" yang sangat sulit hilang. Aku bangga aku bisa membuat "barbie"ku sendiri pada saat itu. Meski, dulu aku tak menyadarinya sebagai suatu kebanggaan.

Seperti "barbie" dusun yang hanya bertahan satu hingga dua hari, keberadaanya kini juga sudah lenyap. Bukan sebatas berubah menjadi keriput karena dasarnya debok pisang yang akan menjadi seperti itu saat tidak berada pada pohonnya, melainkan benar-benar lenyap. Masih teringat jelas aku dan teman-teman yang bersila diatas bagor bekas wadah beras dan melafalkan dialog-dialog berbahas Indonesia untuk cerita si "barbie". Mengganti-ganti model rambutnya untuk membuatnya terlihat semakin cantik. Hanya dengan mainan yang seperti itu kami sudah merasakan sangat bahagia, menjadi anak perempuan yang sempurna karena bisa bermain boneka "barbie", meski bukan barbie yang sesungguhnya.

"Berbie" anak dusun, "barbie" debok pisang, adalah kebahagiaan masa kecilku dan menjadi memori berharga yang bisa kubanggakan sekarang. Esok, jikalau aku kembali ke Rejo beberapa saat, akan kusempatkan waktuku untuk bernostalgia dengan si "barbie".



Komentar

  1. Ah Mba, permainan kita setipe :D
    Saya juga posting boneka barbie saya jaman kecil di http://septiaayoe.blogspot.com/2012/11/barbie-masa-kecil.html cuma saya ya nggak ada badannya gitu, cuma rambutnya cantik banget hehe :)

    BalasHapus

Posting Komentar