Sepasang Mata Bola

Hampir malam di Jogja
Ketika keretaku tiba
Remang-remang cuaca
Terkejut aku tiba-tiba

Dua mata memandang
Seolah-olah dia berkata
Lindungi aku pahlawan 
Daripada sang angkara murka

Mendengar nyanyian dari syair lagu di atas, mengingatkanku pada ceritaku dengan Bapak. Aku ingat suatu hari saat aku masih duduk di Sekolah Dasar (SD) kelas 6, guru kelasku memberi tugas menyanyikan lagu berjudul "Sepasang Mata Bola" untuk pengambilan mata pelajaran kesenian. Menyanyi? Aku merasa tidak bisa bernyanyi. Bukan karena aku tidak suka bernyanyi melainkan mungkin saat itu aku sudah sadar bahwa suaraku tidak cukup enak di dengarkan. Jadi, sejak itu aku mulai berhenti konser di kamar mandi atau dimanapun saat aku tidak memiliki teman mengobrol. Intinya, aku hanya mulai tidak percaya diri untuk bernyanyi khususnya di depan umum.

Kalau di ingat-ingat, sedikit menggelikan padahal semasa kecil aku memiliki cita-cita menjadi seorang penyanyi. Seorang penyanyi dangdut lebih tepatnya. Bahkan, setiap kali teman-teman kakakku datang ke rumah, mereka akan selalu mencariku hanya untuk bertanya seperti ini "Desi kalau udah gede mau jadi apa?" Dengan centilnya (akan lebih centil lagi kalau teman kakakku itu laki-laki) aku akan menjawab "Penyanyi". Belum, puas si penanya akan bertanya lagi seperti ini "Penyanyi apa?". Dan semakin centil lagi aku akan menjawab "Dangdut". Sayangnya, cita-cita masa kecilku itu tidak bisa terealisasi setelah aku dewasa.

Kembali pada inti cerita, Bu Siti menyuruhku menyanyikan lagu sepasang mata bola minggu depan. Aku mulai bingung, bagaimana pula aku menyanyikan lagu yang aku belum tau itu. Aku ingat, waktu itu dekat dengan perayaan 17 Agustus-an. Sesampainya dirumah pun aku langsung bercerita kepada ibu, mau bercerita pada siapa lagi. Tidak mungkin pada dua kakak laki-laki yang ujungnya hanya akan mempermainkanku atau mungkin menertawankan. Sudah bosan aku menjadi mainan mereka berdua. Bosan berteriak-teriak dan mereka hanya akan tertawa kegirangan. Dan ternyata saat aku mengadu pada Ibu waktu itu, Bapak mendengarnya meski aku lihat Bapak sedang memejamkan mata di kamarnya.

Aku ingat di suatu pagi setelah malam 17 Agustus-an, Bapak masih di depan TV sehabis memberi makan ayam. Tidak biasanya Bapak memanggilku dan menyuruhku duduk bergabung dengannya. Pikiranku sudah kemana-mana, rasanya aku kemarin tidak melakukan kesalahan apapun yang mengharuskan Bapak memarahiku atau Bahasa halusnya menasihatiku. Aku juga tidak ikut nonton dangdutan sampai pulang larut malam. Aku hanya melihat pembagian hadiah dan menunggu pengundian Door Prize jalan sehat yang kenyataannya aku tidak pernah beruntung. Karena yakin tidak melakukan kesalahan apapun aku pun duduk .

Melegakan. Ternyata Bapak hanya ingin mengajariku menyanyikan lagu sepasang mata bola. Tadi malam, ada acara 17 Agustus-an tingkat kelurahan di mana Bapak menjadi tamu undangan utamanya. Dan dalam acara itu Bapak request lagu sepasang mata bola pada penyanyi organ tunggalnya. Bahkan, Bapak ikut bernyanyi diatas panggung untuk menghafalkannya. Tujuannya, tentunya agar bisa mengajariku menyanyikan lagu itu untuk pengambilan nilai mata pelajaran kesenian. Jadilah pagi itu Bapak mengajariku menyanyikan lagu sepasang mata bola sampai aku bisa menyanyikannya dengan benar. Benar disini tentunya hanya terdengar nadanya seperti yang dinyanyikan oleh Bapak.

Salah satu momen manisku dengan Bapak di masa kecil. Sederhana mungkin, hanya saja bagiku itu menjadi hari yang membuatku tetap mengingatnya sampai sekarang.  Perhatian Bapak untukku.




Sepasang mata bola
Dari balik jendela
Datang dari Jakarta
Menuju medan perwira

Kagum kumelihatnya
Sinar sang perwira rela
Hati telah terpikat
Semoga kelak kita berjumpa pula



Komentar