Sepuluh Tahun...

Sepuluh tahun, terlewat begitu saja meski ketika aku memikirkannya terasa sangat lama. Sepuluh tahun, aku bersama mereka dalam ikatan yang biasa orang bilang persahabatan. Dan hari ini aku ingin mengenang tentang sepuluh tahun itu….

Sepuluh tahun yang lalu, kami adalah sekelompok anak-anak berseragam biru putih dari sebuah ruangan kelas di paling ujung belakang dari bagian sekolah kami. SMP Negeri 1 Ungaran. Dua anak laki-laki duduk di belakangku, kami bercanda bersama dan aku memanggilnya orang gila. Salah satu dari kedua anak laki-laki itu menjadi salah satu sahabat terbaikku sampai sekarang, Raditya Nanang Purwanto. Sayangnya kami memanggilnya Obit. Kata dasarnya “Rabbit” entah bagaimana itu bisa menjadi Obit, aku pun sudah tak ingat, sudah sepuluh tahun yang lalu. Dan terakhir yang kuingat dari kata-katanya “selamanya aku tak akan berubah, menjadi sahabat terbaikmu dan kapanpun kamu membutuhkanku, aku akan ada.” Jangan menyesal, aku memiliki ingatan yang tajam untuk sebuah janji. Memang benar, Obit menjadi teman tercepat yang akan datang saat aku butuhkan, dulu. Si anak yang sangat jago otak-atik mesin, aku yakin dia akan menjadi engineer yang hebat.

Sepuluh tahun yang lalu, kami bermain “cek mek” kami menyebutnya. Menutup mata seorang anak yang menjadi penjaga dan kami berada di suatu tempat sampai si penjaga menemukan kami dan berhasil menebak nama kami dengan benar. Kami mengerjai seorang anak laki-laki yang menjadi penjaga hari itu, sembari menunggu waktu latihan pramuka. Bahkan, saat bel tanda masuk di bunyikan kami masih tidak memberi tahunya jangankan membukakan ikatan penutup matanya. Kami berjalan tanpa suara meninggalkan si anak itu. Kasihan teman kami yang satu ini, Yuliardi Agung Pradana dan kami memanggilnya “Anang”. Soal panggilan yang sangat gak nyambung dengan namanya ini mungkin bisa ditanyakan pada orang tuanya, kami hanya terima jadi. Sampai sekarang, dia yang paling rajin menagih “martabak mie” saat aku pulang.

Sepuluh  tahun yang lalu, ada seorang anak laki-laki yang terkenal paling tampan dan berada di kelas di samping kelasku. Salah seorang teman anggota “swa swi swu swe swo” kami menyebutnya, katanya sih cinta monyet si anak laki-laki itu. Jadilah aku suka menggoda mereka. Namun, jika melihat si anak laki-laki ini aku sedikit kesal. Tatapan matanya terlalu tajam dan terlihat menyebalkan alias tengil. Hanya saja, dua tahun kemudian kami harus menerima dia masuk ke kelas kami. Duduk di sebelahku pertama kali hanya untuk menyontek, memanggilku setiap hari hanya untuk menjadi saksi taruhan sepak bola, dan memintaku mengambilkan hasil ujian karena takut akan dampak pasca perkelahian dengan seorang teman. Yang aku ingat sampai saat ini, dia yang selalu menyisakan satu tulisan “one missed call” pada HP baruku. Siapa sangka, sekarang dia menjadi seorang yang menerbangkan pesawat, Alnindo Tiar Birowo Anorogo. Si penggagas ngapel di rumah “si gadis desa”, hanya saja paling malas kalau harus menghubungi teman satu per satu. Jadilah aku seperti asisten jaringan komunikasi (jarkom).  Oh ya, si anak nakal ini yang memberiku nama “bedes”, yang artinya kambing.

Sepuluh tahun yang lalu, dua orang anak laki-laki bertubuh tambun duduk di bangku yang sama. Satu orang terlihat begitu pendiam dan satu lagi selalu cengengesan. Yang pendiam berkulit lebih hitam, sedang satunya lagi bertubuh lebih tambun. Menjadi penggemar berat Bu Suriptini, dia adalah Adityo Dwi Saputro. Awalnya kami memanggilnya Didit, tapi seiring bertumbuhnya umur dan kehidupan pertemanan kami nama panggilannya berubah menjadi “Sabun”. Nama sabun tersemat setelah ia makan soto "bu jus" dan berteriak kalau terasa seperti “Sabun” sedang yang lain tidak. Untuk si anak pendiam, Mirfan Candra Yudistira. Awalnya kami memanggilnya Cacan, dan di akhir-akhir masa sekolah kami bersama, namanya berganti menjadi “Boyo”, yang berarti buaya. Apa karena dia playboy? Bukan, meski aku tak tau apa sebab nama itu diberikan padanya. Mungkin anang bisa menjawabnya. Oh ya, satu tahun setelahnya saat kami duduk di kelas dua aku memanfatkan kebaikan Cacan. Dalam pementasan dramaku aku jadikan dia sebagai “banci”. Awalnya dia protes saat aku mendandaninya seperti perempuan, dan saat aku mengancam jangan berteman lagi dengan kami akhirnya dia hanya diam. Sebenarnya aku kasihan juga dengan anak itu. Tapi, pementasan dramaku untuk perpisahan akhir tahun harus sempurna.

Sepuluh tahun yang lalu, dua orang anak laki-laki yang bertubuh kecil duduk satu meja. Rasanya dulu dia sekecil aku, tapi kenapa saat terakhir aku bertemu dengannya aku baru sadar jikalau dia bermetamorfosis menjadi seorang laki-laki bertubuh tinggi. Satu diantara mereka sering kali tersenyum. Tanpa ada sesuatu yang lucu pun dia akan tersenyum, seperti iklan pasta gigi dia akan sangat senang memamerkan giginya. Sampai-sampai kami sering meledeknya. Arif Fajar Ramadhan, awalnya kami memanggilnya Fajar. Namun, sama seperti yang lainnya namanya pun berubah menjadi “Wawo” seperti nama salah satu jenis cacing saja. Cacing wawo, aku juga tak tahu asal-usul nama ini, hanya terima jadi. Lagi-lagi, mungkin Anang tahu jawabannya. Diantara kami, Wawo-lah yang paling jago pelajaran matematika dan kami yakin bahwa kelak dia akan menjadi guru matematika yang hebat. Bahkan lebih hebat dari Pak Pardi, guru matematika favoritnya.

Sepuluh tahun yang lalu, seorang anak laki-laki bertubuh tinggi besar duduk dengan seorang anak laki-laki bertubuh kurus kecil dengan kulit yang sangat putih. Rasanya jauh lebih putih dibandingkan denganku. Pasti saja, aku masih gemar berenang berpanas-panasan setiap minggu pada saat itu. Si anak bertubuh tinggi besar kami memanggilnya “Yudha –oon” sedangkan namanya Yudha Anityo Pratama. Dia salah satu yang paling dekat denganku saat di kelas satu. Anaknya lucu, seringkali terlihat bodoh, jadi aku sering tertawa di buatnya. Aku ingat, dia memanggilku dugong. Sungguh menyebalkan. Hanya saja, saat SMA dia harus pindah ke luar kota dan aku kehilangan komunikasi dengannya dua bulan setelah kepindahannya. Untungnya, dia masih mengingat posisi rumahku dan tubuh “oon-nya” maksudnya tubuh besarnya bisa kembali aku lihat di depan mataku lebaran tahun ini.  Dan teman kecil disampingnya, Dicky Himawan Wicaksana. Dia tidak akan banyak bicara selain dengan si “oon-itu”. Oh ya, di akhir-akhir masa sekolah kami nama si “oon” berganti menjadi “Bidiyot”.

Sepuluh taun yang lalu, bukan bermaksud merendahkan ada seorang anak laki-laki bertubuh kurus dan berkulit sangat hitam yang sering menjadi bahan ledekan. Namun, anak ini memiliki gerak tubuh yang bisa membuat orang tertawa. Kami mengenalnya juga karena namanya yang sangat panjang, Eka Nur Pratama Arti Yudha, kami memanggilnya Yudha Eka. Tentunya agar tidak tertukar dengan Yudha oon. Seperti yang lainnya juga, nama ini berganti di tahun terakhir kebersamaan kami menjadi “Biyot”, nama panggilan yang sama dengan si oon. Bedanya dimana? Anang mungkin akan jauh lebih tahu jawabannya. Anak ini memiliki tanggal ulang tahun yang sama dengan teman satu mejaku, alhasil kami memanggil mereka si kembar. Dan si gadis cantik di sampingku itu, panggilannya Al selalu berteriak dengan memanggilnya “My Twin” dengan tertawa. Aku jadi bingung, benarkah dengan tulus si gadis cantik menganggap Biyot kembarannya atau justru mengejek? Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Sepuluh tahun yang lalu, bukan hanya mereka diatas yang selalu menyempatkan waktu mengunjungiku di malam minggu. Sigit Soeharto, Yogi Premadika, Bona Dwijaya Sakti, Fendi, dan  Areta juga menjadi bagian dari kami. Sepuluh tahun yang lalu, dan sampai saat ini. Meski sudah sangat jarang kami bertemu, apalagi dengan formasi lengkap hanya saja buatku mereka akan menjadi sahabat-sahabat terbaik yang memberikan kenangan masa remaja yang menyenangkan. Lain kali akan aku ceritakan dan cukuplah hari ini sebatas perkenalan.


Hoe hick…..Heo hock……….

Komentar