Ikhlaskanlah, maka akan terasa lebih tenang














Semua orang mungkin telah terbiasa mendengar kata "tabah", "sabar", juga "ikhlas". Segala macam modifikasi dan penambahan kalimat pada kata-kata itu, tetapi makna yang ingin disaimpaikan hanya sebatas ketiga kata itu saja. Berbagai kalimat pelengkap yang digunakan hanya ditujukan agar lebih nyaman didengar dan dirasakan oleh para pendengarnya. Berbicara mengenai ketiga kata itu, berarti kita berbicara akan sesuatu yang sangat umum. Semua orang tahu, semua orang mampu membicarakannya, semua orang pernah mendengarnya, dan tak sedikit orang yang tak menyukainya.

Berbicara tentang ketiga kata itu, kita tak akan jauh dari rangkaian kata yang mungkin menyenangkan atau terkadang justru menjengkelkan, nasehat. Tak selamanya dengan nasehat orang akan merasa tenang, karena tak selamanya orang butuh itu. Terkadang dalam kondisi yang tak menyenangkan seseorang lebih cenderung ingin bercerita pada orang lain, tetapi ia tidak membutuhkan respon yang terlalu mendalam, yaitu nasehat. Terkadang mereka hanya butuh tempat berbicara dan cukup menjadi pendengar yang baik saja, yang seolah membenarkannya serta tak usah banyak bicara, itu akan membuatnya lebih baik. Namun, tentunya itu tak berlaku pada semua orang. Ada orang-orang yang justru membutuhkan nasehat pula, agar hati yang galau dan tidak nyaman akan sedikit ternetralkan oleh jalan pikiran yang mulai menemukan arah dengan adanya nasehat orang lain.

Kembali pada topik pembicaraan dengan memfokuskan tiga kata yang cukup pasaran tadi, "sabar", "tabah" dan "ikhlas". Mungkin ketika mendengar kata semacam itu dari mulut orang lain, kebanyakan dari kita cukup merasa adanya kadar emosi yang lumayan meningkat. Hal ini dikarenakan, ketika mendengar kata tersebut dihembuskan di telinga kita, tentunya kita sedang dalam kondisi yang tidak menyenangkan, atau kekecawaan tentunya. Namun, tidak semua orang harus menerima asumsi tersebut, setiap orang tentu memiliki karakteristiknya masing-masing. Ketiga kata itu, biasanya akan kita dengarkan dari mulut-mulut para "penasehat" ketika kita kehilangan atau meresa kecewa akan sesuatu. Dengan interval confidence 95% hipotesa ini bisa diajukan, dalam artian dengan asumsi bahwa tidak mengartikan kata-kata tersebut sendiri-sendiri, melainkan mengartikan ketiga kata tersebut ketika memiliki makna yang sama. Yaitu, bagaimana kita bisa menerima kondisi yang sebenarnya tidak kita inginkan.

Meskipun ketiga kata tersebut akan terasa sebagai teori semata bagi orang yang mendapatkannya berdengung di telinganya, kata-kata tersebut sepertinya menjadi kata yang paling ampuh diucapkan untuk orang-orang yang dalam kondisi kehilangan maupun dilanda kekecewaan bukan?? Hal ini dibuktikan dengan budaya yang ada pada masyarakat ketika mendengar cerita dengan kondisi semacam itu, secara otomatis mulut, pikiran, dan hati mereka kan berkoordinasi untuk mengucapkan salah satu, dua atau seluruh dari ketiga kata ampuh diatas.

Namun, akan terasa tak adil jika kita hanya membicarakan sesuatu yang seolah terasa negatif dari interpretasi ketiga kata diatas. Lebih dalam lagi, dengan maksud tidak menggurui atau terlalu berteori, sebenarnya kata-kata itu juga yang mampu menguatkan diri seseorang yang sedang rapuh akibat kekecewaan akan suatu keadaan. Setuju atau tidak, mendengar dan mengamalkan kata "ikhlas" juga kedua kata sahabatnnya tadi, seolah seperti air yang menyejukkan ketika kita merasa haus. Atau jika hal tersebut menjadi gambaran yang terlalu berlebihan, kita bisa menggantinya dengan ungkapan bagaikan meminum kopi, terasa pahit pada awalnya, tetapi mampu membuat mata kita terjaga pada akhirnya.

Pada mulanya hati kita akan berontak ketika mendengar kata-kata semacam itu dan pada akhirnya hati kita akan menuntun pada suatu kepasrahan karena "nothing to do". Ketika berada dalam kondisi kepasrahan itulah logika yang masih mampu berbicara akan menunjukkan kita bahwa ikhlas adalah jalan terbaik yang bisa kita lakukan. Dan bukan sebatas teori semata bahwa dengan mengikhlaskannya hati dan jiwa kita akan terasa lebih tenang. layaknya ketika kita membawa beban yang sangat berat kemudian kita mendapatkan alat yang bisa membuatnya terbawa dengan lebih ringan.

Kekecewaan itu akan tetap ada, tetapi kita tidak akan tersuungkur jauh kedalamnya. ketika ketegangan jiwa mulai mereda, maka pikiran-pikiran jernih yang logis dan merupakan wujud pembangkitan diri akan mulai bermunculan kembali. Itulah dahsyatnya sebuah kata yang bagi kebanyakan dari kita merupakan suatu kata "obralan" termasuk untuk diriku sendiri. "Ikhlaskanlah, maka akan terasa lebih tenang". Sebuah teori tak akan hanya sebatas menjadi angan apabila kita percaya dan mencobanya.

Komentar