
Turn around selebrities ke dunia politik
Dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi, setiap warga negaranya memiliki hak yang individual yang sama dalam pemerintahan termasuk hak berpolitik. Setiap warga negara mamiliki hak yang sama untuk memperoleh kedudukan dalam pemerintahan tanpa harus membeda-bedakan apa profesi mereka. Atas dasar inilah, kini kaum selebritis Indonesia tak mau ketinggalan langkah untuk ikut terjun dalam dunia politik. Fenomena ini selanjutnya menjadi topik pembicaraan tersendiri di kalangan masyarakat umum terkait dalam peran selebrities sebagai public figure yang sangat erat dengan keseharian masyarakat.
Jika dilihat lebih jauh, sudah cukup banyak kaum selebritis ini yang beralih haluan untuk terjun ke dunia politik dan menuai kesuksesan di dalamnya. Sebut saja para artis yang pernah menduduki atau sedang menduduki jabatan prestisius di senayan, anggota DPR yang terhormat. Komar, pelawak senior Indonesia, Adjie Masaid sebagai aktor yang tak diragukan lagi kemampuan aktingnya atau Venna Melinda aktris dan juga mantan putri Indonesia yang sedang beralih menjadi seorang penari salsa adalah contoh para seleb yang berhasil menginjakkan kakinya dan menikmati kursi goyang di senayan. Praktis dalam dua periode pemerintahan SBY ini, kita lihat keterlibatan para selebriti sebagai anggota DPR yang semakin go public dan jumlahnya kian menjamur di pemerintahan SBY episode kedua ini.
Tak cukup hanya sebatas itu, yang cukup menjadi ‘tren’ sekarang ini adalah terjunnya para selebriti dalam pemilihan kepala daerah ( pilkada). Mungkin bukan menjadi hal yang mengejutkan lagi ketika para artis di usung oleh partai politik atau kandidat calon kepala daerah untuk ikut melakukan kampanye demi menarik minat masyarakat. Namun, cukup mengejutkan apabila pada selanjutnya artis yang ikut naik dalam panggung kampanye ini tak lagi hanya sebatas sebagai penghibur masyarakat melainkan sebagai kandidat dalam pilkada itu sendiri, tak lagi sekedar bernyanyi, bergoyang tau menjadi MC. Lebih dari itu, mereka mengusung visi dan misi. Kepopuleran yang para selebriti ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi partai politik untuk mengusung mereka menjadi kandidat dalam pemilihan kepala daerah ataupun menjadikan para artis ini percaya diri untuk mencalonkan dirinya dalam pilkada.
Selain dari kepopuleran yang mereka miliki, pengalaman kesuksesan artis-artis yang berhasil menduduki jabatan sebagai lebih dulu seakan menjadi kekuatan pendukung untuk para seleb yang kini sedang menunggu dilaksanakannya pilkada untuk kemudian menobatkan mereka sebagai Gubernur atau wakil gubernur dan bupati atau wakil bupati. Sungguh jabatan dengan status sosial yang terhormat. Namun, tak semua selebritis ini meraih sukses menjadi kepala daerah sebut saja Marisa Haque yang gagal menjadi Gubernur Banten, Anwar Fuadi, Sauful Jamil atau Emilia Contessa. Faktanya, hal tersebut tak menyurutkan langkah selebrities lain seperti Ratih sanggarwati, Ayu Azhari atau yang cukup controversial saat ini yaitu Julia Peres ( Yulia Rachmawati ) serta selebriti lainnya.
Kepopuleran sebagai modal suatu keberanian
Telah disinggung sebelumnya bahwa popularitas menjadi modal bagi para selebriti ini untuk memberanikan diri mereka menjadi calon kepala daerah. Namun, apakah hal tersebut cukup untuk dijadikan bekal bagi mereka sebagai calon kepala daerah?
UU No 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 58 berisi mengenai syarat untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah yaitu; bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan Proklamasi, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah; Berpendidikan sekurang-kurangnya SLTA dan atau sederajat; Berusia sekurangnya 30 tahun bagi calon gubernur/wakil gubernur dan 25 tahun bagi calon bupati/wakil bupati, tidak pernah dipidana, sehat jasmani dan rohani,tidak dicabut hak pilihnya, mengenal daerahnya dan dikenal masyarakat di daerahnya, tidak sedang dinyatakan pailit,memiliki NPWP,menyerahkan daftar riwayat hidup, belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan, tidak dalam status menjabat kepala daerah dan mengundurkan diri jika sedang menjabat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
Mungkin tak ada kesulitan yang berarti bagi para selebriti ini untuk memenuhi syarat-syarat tersebut, tetapi tidak demikian halnya untuk ketentuan yang mengatakan bahwa mereka wajib mengenal daerahnya. Hal ini pula yang kemudian menjadikan pencalonan Jupe sebagai wakil Bupati Pacitan cukup kontroversial. Dalam beberapa kali wawancara, Jupe mengaku belum pernah datang ke Pacitan dan baru akan mengunjunginya setelah ia ditetapkan maju dalam pilkada ini. Lalu bagaimana ia mengenal daerah tersebut jika untuk mengunjunginya saja belum pernah? Bahkan dalam acara Berita Dari Langit di TV One senin malam lalu, Jupe mengaku masih 50% pengetahuannya atas daerah Pacitan yang ternyata hanya sebatas luas wilayah dan “pacitan merupakan daerah tertinggal”, mungkin saja ia baru saja browsing internet (may be...)
Selain dari segi pengetahuan atas daerah dimana nantinya mereka akan menjadi pemimpin, kompetensi dan kualitas kaum seleb ini juga menjadi sorotan tersendiri. Dalam kemampuan memainkan peran atau menghibur masyarakat, kepiawaian mereka mungkin tak teragukan lagi. Namun, bagaimana dengan kemampuan berpolitik meraka? Dunia politik bukanlah sebuah sinetron atau film dimana mereka bisa berakting untuk peran yang didapat. Peran dalam dunia politik adalah suatu peran yang nyata yang menyangkut kehidupan dan masa depan orang banyak. Apa jadinya negeri ini jika pemimpin-peminpin mereka adalah seorang pemain peran seperti dalam sebuah sinetron? Tentunya yang terjadi adalah seperti dalam sinetron, dunia yang berisi penipuan terhadap masyarakat dan kebohongan belaka.
Meskipun tak dapat dikatakan pula semua selebrities memiliki kondisi yang serupa dengan Jupe. Misalnya saja Dede Yusuf yang sebelum terjun dalam pilkada ia terlebih dahulu terjun dalam partai politik serta benar-benar memahami kondisi daerahnya seperti yang tergambar dalam beberapa kali jajak pendapat calon kepala daerah, ia bisa menjawab setiap pertanyaan dengan cukup memuaskan. Inilah yang seharusnya dipahami oleh para slebriti sebelum memutuskan untuk menjadi calon pemimpin daerah. Jangan asal menggunakan popularitas (negatif maupun positif) sebagai modal keberanian untuk “menghancurkan” negeri, tetapi ukurlah potensi dan kemampuan diri yang dimiliki. Pemerintahan bukanlah sebuah sinetron dimana kalian bisa memainkan peran dengan sebuah skenario untuk membohongi para penontonnya.
Salah satu kesemrawutan bangsa Indonesia yaa...salah satunya ama PILKADA atau pemilihan wkil rakyat ini. Mental bangsa Indonesia emg msh mental "tempe" sih. Sebtulnya gw gak setuju, jelas gak setuju banget klo seorang artis atau public figure jd seorang pemimpin. Krena menurut gw, seorang public figure yaa...hanya pekerja seni gak lebih.. Walaupun ad sglintir artis emg punya kompeten utk menjadi seorang pemimpin, tp blik lg seorang public figure gak pnya kharisma seorang pemimpin (menurut gw). Mungkin karena public figure udh terbiasa bermain dengan skenario atau panggung, jd gw liatnya klo dia jadi pemimpin itu hanya sebuah "sensasi belaka" sekelompok orang (dalam hal ini parpol). krena parpol tersebut scara jelas telah gagal utk melakukan kaderisasi di tubuh partainya sendiri. Emg agak aneh, tp itulah Indonesia, semua pun bisa "dipaksa-paksain" untuk ada. hehehehe..
BalasHapusThanks.....
BalasHapusBener, bukan hanya kebutuhan akan jiwa kepemimpinan yang terpenting disini adalah kapabilitas mereka, bagaimana pengetahuan mereka akan seluk beluk politik dan pemerintahan yang ga bisa hanya dengan baca buku sehari dua hari. Yang terpenting adalah pengalaman. Aku ga rela kalau bumi pertiwi ini hanya akan di obarak-abrik oleh manusia tak bermoral sebagai pemimpin daerah,khususnya daerah yang masih cukup tertinggal dan butuk seorang transformational dan visioner leader.