Korupsi : Kapankah Mati??

Kulihat ibu pertiwi....
Sedang bersusah hati...
Air matanya berlinang...
Mas intan yang terkenang...
Hutan gunung sawah lautan...
Simpanan kekayaan...
Kini ibu sedang lara...
Merintih dan berdoa...

Syair lagu lama yang nyatanya tetap relevan menggambarkan kondisi bumi pertiwi hingga saat ini. Tangisan ibu pertiwi seolah menjadi sesuatu yang abadi, tak pernah usai hingga sekarang. Ibu yang menangis melihat rakyatnya yang sengsara meski ia miliki kekayaan yang tiada tara. Tanah yang subur, lautan yang luas, minyak hingga emas terkandung dalam tubuh sang ibu, tetapi mengapa masih banyak tangisan bayi yang kelaparan? Ribuan tubuh anak-anak Indonesia yang terpelihara kurus tinggal tulang karena gizi buruk. Ratusan orang hidup di kolong jembatan karena rumah mereka digusur dan menjadi peminta-minta dijalanan. Ribuan perempuan desa yang teraniaya di negeri orang terpaksa menjadi babu karena tingginya angka pengangguran. Bahkan di pelosok-pelosok Indonesia sana, ribuan orang masih buta huruf. Tanah mereka menjadi penyokong dana untuk pembangunan negeri ini, tetapi tak secuilpun pembangunan itu menyentuhnya. Reality show kemanusian yang tak pernah absen dari layar televisi setiap hari, seolah menggambarkan tingginya kemelaratan di negeri ini. Hingga yang terbaru, seorang ibu yang bunuh diri bersama anak-anaknya karena himpitan hidup, tak hanya satu.

Bersamaan dengan tangis sang ibu pertiwi yang belum usai, korupsi seolah menjadi virus yang berkembang biak dengan suburnya dan kemiskinan menjadi wabah yang merajalela. Setali tiga uang dengan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat, tingginya dan berbagai macam tindak kriminalitas seolah menjadi pelengkap permasalahan bangsa yang tak kunjung usai. Bagaimana menyelesaikan semua permasalahan ini? Jika korupsi di negeri ini telah mati.

Bagaimana negara bisa memberantas kemiskinan, pemerataan pendidikan dan memberikan pelayanan kesehatan yang memadai jika korupsi masih menjadi primadona yang selalu dianak emaskan. Bagaimana negara bisa menjalankan amanat UUD 1945 pasal 34 jika para pejabat dan wakil rakyat masih kongkalikong menjalankan korupsi berjamaah. Suap sana sini, sogok kanan kiri agar aksi haramnya tak terbongkar. Korupsi tidak hanya menjangkiti para pejabat kelas atas bahkan hingga pejabat kelas teri di daerah-daerah hingga pejabat-pejabat kampung.

Para pejabat dan wakil rakyat yang korup semakin tak punya hati. Tidak lagi sebatas ngutil pemasukan negara atau anggaran-anggaran pembangunan bahkan, dana bantuan sosial untuk rakyat miskinpun tak luput dari aksi catut-mencatutnya. Korupsi tak lagi memiliki nurani, di NTT 256,3 miliar rupiah dana bantuan pemulihan gizi buruk lenyap sepanjang tahun 2009 masuk ke rekening-rekening pribadi. Lintah darat, penghisap uang rakyat. Korupsi tak lagi memiliki rasa malu, secara terang-terangan mulut demi mulut saling tawar menawar harga untuk ongkos tutup mulut di pengadilan nanti.

Korupsi kian menjadi-jadi. Satu pejabat korup diadili, puluhan generasi baru muncul dan kembali menggerogoti uang-uang rakyat layaknya tikus yang beranak-pinak. 63,49% pejabat dinegeri ini disinyalir menjadi koruptor. Anggota dewan yang menjadi tumpuan pembela kepentingan rakyat, 11,79% diantara juga koruptor (ICW). Lalu kapan bangsa ini mampu meningkatkan kemakmuran seluruh rakyatnya jika para pemangku tanggung jawab hanya berfoya-foya, menumpuk harta diatas singgasana kekuasaan. Korupsi yang membutakan mata para pejabat untuk melihat dan membuat telinga mereka tuli untuk mendengar jeritan kesengsaraan hidup rakyat.

Membicarakan soal korupsi memang terdengar sangat membosankan. Berbicara tentang korupsi seolah hanya membicarakan masalah lama yang diulang-ulang. Memang benar, jadul dan membosankan. Namun kenyatanya, korupsi di negeri ini tak pernah lengser meski pemerintahannya telah silih berganti. Pemberantasan korupsi menjadi senjata ampuh setiap kampanye calon pemimpin untuk menarik hati rakyat. Sayangnya, pemberantasan korupsi seolah tetap menjadi sebuah wacana. Mendengar kata korupsi seolah membuat telinga jengah, hanya masalah itu saja yang diurusi sedang yang lain terkesampingkan. Faktanya, bagaimana bisa mengurus masalah kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan lainnya jika dananya tidak ada karena digondol para petinggi.

Lalu apa gunanya rakyat setiap hari gembar-gembor menuntut diadilinya para koruptor jika hasilnya nol. Setidaknya polisi, jaksa, hakim, hingga presiden masih teringatkan bahwa mereka masih memiliki tugas. Menangkap dan mengadili para koruptor. Bagaimana jadinya jika mereka lupa untuk melakukan tugas tersebut. Setidaknya aspirasi dalam bentuk apapun itu akan mampu mengingatkan para pengadil bahwa korupsi belum mati. Diingatkan saja mereka masih sering lupa dan bagaimana jika tidak?

Kapan korupsi di negeri ini akan benar-benar mati? Tentunya semua wakil rakyat, kepala daerah, menteri hingga presiden sekalipun tak pernah bisa menjawabnya. Korupsi tak akan pernah berhenti selama koruptor masih terlindungi. Sistem hukum dan para pengadil seolah tak pernah mampu membuat para koruptor itu jera. Tentunya kita tak akan lupa seorang Artalyta Suryani yang tinggal di penjara yang disulap bak hotel bintang lima. Bukan tak mungkin koruptor-koruptor lainnya mengalami hal yang sama. Korupsi seolah menjadi kejahatan kelas teri yang justru lebih rendah dibandingkan maling jemuran.

Perlindungan para koruptor itu kian kuat ketika korupsi itu ternyata dilakukan secara berantai. Dari menteri, polisi, jaksa, hingga hakim semuanya mendapat jatah hasil korupsi. Tentunya mereka tak akan bunuh diri untuk membongkar kasus yang melibatkan diri sendiri. Semakin tinggi transfer yang dilakukan, makin rapat kasus itu tertutupi. Makin banyak orang yang terlibat, semakin rapat barisan pertahanan dan makin rumit penyelidikan. Korupsi tak akan pernah mati jika para pejabat, jaksa, hakim, dan polisi justru berlomba saling mengantri untuk mendapatkan ongkos tutup mulut.

Dengan kondisi dan sistem yang seperti ini tentunya korupsi tak akan pernah mati. Sedang rakyat hanya sebatas diijinkan berorasi. Meski membosankan, beraspirasi tentang korupsi setidaknya masih bisa mengingatkan para pemangku kekuasaan bahwa mereka masih memiliki pekerjaan besar, membasmi para koruptor. Jangan biarkan mereka lupa dan korupsi akan kian menjadi-jadi.

Mereka yang diberi geler pejabat
Mereka yang disebut wakil rakyat
Menggandakan uang dalam rapat
Dengan alasan,
"Tugas kami berat"
Sedang rakyat tetap melarat
Korupsi yang tertata rapi
Keadilan dibuat mati suri
Koruptor semakin terlindungi
Korupsi tak akan pernah mati...

Komentar

  1. Ijin komentar yaa...
    Bcra ttg korupsi memng membosankan, memuakkan, mlelahkan, dan tkkan ad hbisnya. Nmun, itulah realita bngsa Indonesia saat ini. Korupsi d Indonesia tlah mnjadi budaya bngsa itu sndiri. Sudah mngakar sampai ke lpisan paling bawah sklipun (spt yg trtulis di atas). Korupsi d Ngeri ini dianggap lumrah, bkn hal yg hrus ditutupi. Ambil cntoh, ksus seorang "besan" dri pemimpin nmr stu d ngeri ini. Dia dpt melenggang bebas dri penjra (adnya remisi) lyknya seorang penjhat kelas teri. Dia mndapat pujian & pembelaan dri sgelintir orng. Ironisnya, org2 trsbut adlah org yg brada dlam struktur kerja pmerinthan bngsa ini. Seorang Ketua DPR pun ikut membla sang koruptor kelas kakap tersbut. (memng ngra yg tidk tau malu) http://korupsi.vivanews.com/news/read/172700-ketua-dpr--aulia-pohan-bukan-koruptor
    Indonesia memg ngara terkaya di dunia, nmun untuk saat ini, Ngra Indonesia merupkan ngara "tersakit" di dunia. http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5122427
    Wlaupun bgtu, ku ttp cinta Indonesia ku, Indonesia ttp lah ngeri ku, ttplah bangsa ku, tmpat ku hidup&mati. Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya. Smoga pemuda-pemudi Indonesia bs membwa Indonesia bs membwa krah yg lbih baik lg...
    (tambhan info korupsi: http://infokorupsi.com/id/korupsi.php )

    BalasHapus

Posting Komentar