November.... eps2

Dia Masih Mengingatku

Rasa bahagia itu masih tak terlupakan meskipun telah seminggu berlalu. Masih terlihat jelas bayangan ketika ia menerima trofi kebanggaan itu. Namun sayang, momen sepenting itu justru ia tak sempat mengabadikannya dalam bentuk foto. Seperti biasanya, malam minggu hanya dihabiskan Oryz dengan menonton TV bersama ibunya. Kedua kakak laki-lakinya yang tentu saja telah menghilang dengan kendaraan mereka masing-masing sejak sore tadi. Dan Abahnya, entahlah beliau selalu saja memiliki urusan dengan kegiatan-kegiatan dikampung dengan jabatannya sebagai seorang kepala desa.
Abas, kakak pertama Oryz yang usianya terpaut delapan tahun dengannya tentunya tak ingin melewatkan kencan malam minggu dengan tunangannya. Sedang Galih pergi menghadiri sebuah acara ceremonial yang diselenggarakan oleh perusahaan tempatnya bekerja yang mungkin juga akan dilanjutkan dengan ngapel kerumah pacar barunya. Karena keduanya telah bekerja tentunya mereka memiliki kebebasan yang lebih. Berbeda dengan Oryz. Hingga dia sering menyebut dirinya sendiri sebagai gadis pingitan. Hanya ada dua habitat sebagai tempatnya hidup. Sekolah dan rumah.
" Acaranya nggak ada yang bagus ney," Oryz dari tadi terlihat memegang remote sambil terus mengganti-ganti channel televisinya.
" Cinta Intan aja," jawab Bu Anti yang tiduran disebelah Oryz.
Cinta Intan adalah sinetron kesayangan nyonya Anti, mama Oryz.
" Sinetron lagi sinetron lagi,huh......." Mau tidak mau Oryz pun menuruti permintaan mamanya itu. Jadilah ia nonton sinetron Cinta Intan selama beberapa menit.
" Pacarnya Intan kemana Dek? Kok dia malah berduaan dengan si Gilang?
" Mana aku tau ma, tanya aja sama Intan."
" Ditannyain kok malah sewot."
" Tau ah...."
Itulah kebiasaan mama Oryz, sering tertidur saat sedang menonton sinetron sehingga sering terlewat beberapa ceritanya. Biasanya Oryz yang menjadi penyambung cerita yang terlewat itu. Tak seperti biasanya, malam ini merasa begitu kesal dan bosan.
" Mau kemana Dek?
" Tidur....." Oryz menjawab pertanyaan ibunya itu sambil beranjak dari tempat duduknya.
" Masih jam delapan ini."
" Ngantuk ma."
Oryz menuju kamar dan segera mengunci pintunya, isyarat ia sedang tidak ingin diganggu siapapun.
" Udah hampir delapan belas tahun, tapi aku masih setia menjomblo."
" Ah, belum juga dua puluh tahun. Nanti, kamu masih bau kencur."
Oryz bergumam dengan dirinya sendiri sambil membantingkan badannya ke atas ranjang. Ponselnya bergetar.
" Nomor siapa ya?"
Oryz tak mengenali nomor ponsel yang mengiriminya pesan singkat itu.
Malem Oryz manis.
Eh, siapa km?
Galak amat?
" Paling cuma orang iseng lagi."
Oryz enggan menanggapi si pengirim SMS itu. Belakangan ini ia sering mendapati nomor-nomor tak dikenalnya yang ternyata cuma orang-orang iseng yang ngajak kenalan.
" Sepertinya orang-orang sekarang lagi kena virus kenalan lewat SMS. Apa sih enaknya SMSan nggak penting?"
Oryz adalah tipe orang yang malas SMSan dengan siapapun kalau tanpa keperluan. Bahkan dengan sahabat-sahabatnya sendiri. Seperti halnya teman-temannya yang lain yang lagi demam chating atau SMS murah, ngobrol ngalor ngidul dengan sahabat-sahabat mereka. Curhat atau sekedar nggosip. Oryz tidak begitu tertarik meskipun dengan konsekuensi ia sering ketinggalan cerita dari teman-tamannya.
Oryz, ini Ken.
" Ini nomor Ken?"
Oryz terkejut. Seminggu berlalu, dan Ken menghubunginya.
" Aku pikir akan terlupa begitu saja."
Sorry Ken,kupikir orang iseng.
Maaf deh, sengaja tadi. hehe
Masih inget aja.
Inget siapa?
Aku. Kirain lupa.
Ga mungkin. Peserta paling imut dan manis.
Gombal.
Serius.
Denger orang gombal bikin ngantuk.
Dasar anak kecil. Baru jam segini udah ngantuk. Malam minggu neng.
Malam minggu? Biasa aja. Apa bedanya?
Nggak keluar?
Kamu pikir gadis pingitan boleh keluar?
Hahaha.
Ngantuk.
Iya deh. Met tidur anak kecil.
" Capek juga ney jempol buat ngetik delapan SMS"
Oryz mengakhiri malam minggu itu dengan tidur tepat pukul 21.00.

****

Ken memacu motornya dengan kencang. Hari ini dia ada kuliah pagi. Untuk sampai ke kampus sendiri dia butuh setengah hingga tiga perempat jam tergantung dengan kecepatan yang ia gunakan. Sekarang sudah pukul 06.40, tentunya ia harus memacu motornya dengan kecepatan lebih dari biasanya.
Dari tempat parkir Ken menuju ruang kelas yang sialnya lagi ada di lantai tiga. Dengan nafas yang masih belum teratur Ken masuk perlahan ke ruang kelas kalau-kalau dosen sudah ada diruangan. Dengan harapan dosen akan terlambat lima menit seperti keterlambatannya. Aman, tak ada dosen dikelas, bahkan mahasiswa pun tinggal setengahnya. Ken duduk di sebelah Rangga, sahabatnya yang ternyata pernah satu SMP dengannya.
" Pak Guntur telat Ngga? Untung lolos gue.." Ken bertanya pada Rangga seraya mengatur kembali nafasnya.
" Lu pikir dia bakal telat?" Rangga menjawabnya dengan tenang.
" Setau gue sih nggak mungkin," Ken menjawabnya dengan ekspresi sok berpikir. Padahal jawaban semacam itu tak perlu lagi ia pikirkan karena Pak Guntur adalah dosen yang terkenal selalu on time.
" Nah, tau sendiri kan."
Rangga mengobrol sambil tetap sibuk membaca bukunya. Perlu diketahui, Rangga memang tergolong mahasiswa rajin dengan Indeks Prestasi selalu cumlaude. Tentunya sangat berbeda dengan Ken, meski nilai-nilainya masih tetap bagus, tetapi dia bukan mahasiswa yang rajin. Ken juga memiliki keaktifan yang cukup tinggi dalam kegiatan non akademis.
" Berarti kosong dong? Yes!"
Ken menarik buku yang sedang dibaca Rangga.
" Apa-apaan sih Ken!" Rangga terlihat mengerutkan wajahnya tanda ia tidak begitu senang dengan apa yang dilakukan Ken.
" Makanya jangan belajar melulu bung. Santai barang sejenaklah. Nikmatin hidup," Ken justru terlihat santai.
" Begini, hidup juga udah nikmat."
" Apa nikmatnya? Punya pacar dong bro," Ken menepuk bahu Rangga dengan cukup keras.
" Lu sendiri juga betah aja ngejomblo," Rangga tak mau kalah dengan olok-olokan sahabatnya itu sambil mengusap-usap punggungnya yang mungkin terasa cukup perih.
" Santai dululah."
" Santai tapi deketin cewek mulu. Jangan kasih harapan kalau nggak serius."
" Wahhh, temenku jadi orang bijak sekarang."
" Siniin buku gue," Rangga kehabisan kesabaran dan menarik bukunya dari tangan Ken.
" Tapi yang satu ini beda bro," Ken malah menanggapinya dengan jawaban yang tidak berhbungan dengan ucapan Rangga tadi.
" Ngomongin apa lagi sih lu?"
" Cewek yang satu ini kayaknya beda," Ken terlihat asyik dengan pikirannya sendiri tanpa memperhatikan Rangga yang melihatnya dengan tatapan bingung dan aneh.
" Cewek siapa? Widy? Ceryl?"
" Bukan dua-duanya, " Ken menjawabnya dan berdiri meninggalkan tempat duduknya menuju keluar ruangan.
" Mau kemana lu?"
" Isi perut," Ken melambaikan tangannya tanpa berbalik kebelakang dan tetap berjalan.

****

Ken duduk sendiri sambil menyantap nasi goreng panas didepannya. Kalau soal makan, tubuh kurus Ken tidak bisa dijadikan patokan. Jika melihatnya makan mungkin orang akan bertanya-tanya kemana larinya semua makanan itu. Mungkin cacing diperutnya berkembang biak dengan terlalu cepat sehingga ia butuh banyak makan untuk semua ternaknya itu.
Dari kejauhan seorang wanita anggun dengan jilbab pinknya berjalan menuju kearah Ken. Kulitnya yang kecoklatan, sorot mata yang tajam, lensa mata yang berwarna cokelat, dan hidung yang panjang membuat wajah Ken cukup menarik untuk dilihat. Namun, untuk ukuran cowok, badannya tergolong cukup mungil dengan tinggi 165 dan berat badan yang boleh dikatakan sangat kurang.
" Hai, Ken," wanita yang baru datang itu pun duduk disebelah Ken.
" Widy?"Ken cukup terkejut dengan kedatangan Widy yang tiba-tiba duduk disampingnya.
" Mana hellen?"
" Hellen? Memangnya harus sama Hellen kalau gue datang," Widy tak henti-hentinya mentap wajah Ken yang masih tetap asyik dengan makanan dihadapanya.
" Ya nggak sih, biasanya kan Lu kan sama Hellen."
" Hellen nggak kuliah hari ini."
" Emang di kenapa?" Ken masih terlihat biasa saja menanggapi informasi yang diberikan Widy.
" Sakit."
" Ah, serius?" Ken pun terkejut dengan jawaban singkat itu. Ekspresi wajahnya pun berubah seketika.
" Serius. Dia kena tifus, sekarang dirawat di Roemani."
Ken menghentikan menyantap nasi goreng yang masih sepertiganya itu dan beranjak dari tempat duduknya.
" Mau kemana Ken?" Widy bertanya pada Ken yang terlihat terburu-buru dan meninggalkanny begitu saja.
" Jenguk Hellen."
" Gue ikut dong," Widy menyusul Ken yang telah beberapa meter meninggalkannya.
" OK," Ken berhenti menunggu Widy yang masih berusaha menyusulnya.
" Nebeng ya?hehe."
" Nggak masalah," mereka pun berjalan bersama menuju tempat parkir.
Raut muka Widy terlihat begitu cerah. Ini kesempatan untuknya bisa berdua dengan Ken. Ini kali pertamanya ia bisa membonceng Ken. Sedang Ken tak berpikir apapun, ia hanya terbayang kondisi sahabatnya yang terkulai lemas dengan selang infus ditangannya.
" Akhirnya...." Widy mengucapkannya dengan lirih dan tersenyum dibelakang punggung Ken yang mengendalikan motor kesayangannya.
" Ngomong apaan lu wid?" termyata Ken mendengar perkataan Widy tadi.
" Ah, nggak kok," Widy cepat-cepat menyanggahnya.
Sepeda motor itu terus melaju dan berhenti diparkiran sebuah rumah sakit. Keduanya segera mencari ruangan dengan pasien bernama Hellen.
" Kok bisa sampai kayak gini sih Len?" Ken duduk di kursi kecil disebelah ranjang Hellen sambil memperhatikan kondisi sahabatnya itu.
" Cuma kecapekan aja kok. Cieee berduaan ney....Kalo udah jadian jangan lupain jasa mak comblang ya," Hellen justru menggoda Ken yang datang berdua dengan Widy. Seseorang yang ia harapkan bisa dekat dengan Ken.
" Apaan sih lu Len."
Ken tidak terlalu menanggapi perkataan sahabatnya itu. Ia justru berusaha mengalihkan pembicaraan setiap kali disinggung soal dia dan Widy.Setengah jam kemudian Ken kembali ke kampus meninggalkan Widy yang masih ingin menemani Hellen yang kebetulan sedang sendirian.

****

Seperti biasanya, Oryz harus berpanas-panasan menunggu bus sepulang sekolah. Ia berdiri bersama Marissa, teman seperjuangannya menikmati panasnya bus selama satu jam setiap harinya. Tentu saja di jam-jam pulang sekolah seperti ini bus selalu penuh. Oryz dan Marissa sedang enggan berdesak-desakan didalam bus hari ini. Mereka lebih memilih menunggu bus yang kosong meski harus berdiri di halte lebih lama.
Akhirnya bus yang mereka tunggupun datang. Ada empat kursi kosong. Oryz memilih dua tempat duduk yang bersebelahan. Setengah perjalanan mereka gunakan untuk mengobrol sedang setengahnya lagi biasanya Marissa tertidur. Berbeda dengan Ica, pangilan akrab Marissa, Oryz tidak pernah bisa tidur di bus kecuali dia benar-benar kelelahan.
" Gimana kabar mahasiswa yang penah kamu ceritain itu Riz?"
" Yang mana?" Oryz berpura-pura tidak mengerti dengan pertanyaan Ica, padahal sebenarnya ia tahu pasti siapa orang yang dimaksud.
" Cowok itu."
" Owh, itu. Ya sekedar SMSan aja sih."
" Sering?" Ica mencoba memancing Oryz untuk menceritakan kelanjutan hubungannya dengan Ken. Ternyata Oryz cukup serius menanggapi Ken hingga ia menceritakan soal Ken ke teman-teman terdekatnya.
" Ga juga kok. Cuma beberapa kali," Oryz menjawabnya dengan datar seolah ia tak ingin Ica mengorek informasi lebih lanjut darinya.
" Kamu suka ya Riz?" Bukannya menyudahi pembicaraan itu, Ica justru semakin penasaran.
" Gimana ya?" Oryz tak ingin menjawabnya dengan cepat, ia masih malu untuk mengakuinya, tetapi juga tak berani berbohong.
" Ah, udahlah nggak usah pura-pura."
" Nggak kok," suaranya terdengar sedikit ragu.
" Nggak apa? Nggak salah lagi?"
" Iya deh. Kalo sama kamu mana bisa bo'ong aku Ca. Suka sih belum. Masih dalam taraf tertarik aja," akhirnya Oryz menyerah dan mengatakan kejujuran pada sahabt yang sedari tadi mendesaknya itu.
" Awas lho. Sekarang baru tertarik, bentar lagi jatuh cinta deh. Hahaha.."
Ica menertawai Oryz yang terlihat malu dengan celotehannya itu.
" Tau ah Ca. Tau sendiri kan aku itu anak pingitan yang baik-baik."
" Iya deh tau. Nggak boleh punya pacar. Nggak boleh keluar malem. Nggak boleh punya motor karena takut bakal keluyuran mulu."
" Sekalian aja ditambahin cupu,culun, yang kalo pake baju selalu kegedean," Oryz memotong celotehan Ica yang mengungkapkan aturan-aturan yang tak boleh ia langgar itu.
" Idih, kok sewot neng?" Ica menggoda Oryz yang wajahnya terlihat sedikit cemberut dengan bibirnya yang manyun.
" Udah deh, tidur aja sana."
" Pinjem pundaknya dong."
" Kebiasaan. Bayar sewa. Sejam lima ribu"
" Hehehe.... Kan paling-paling ini cuma setengah jam. Jadi kamu itung dulu, kalo udah sejam baru aku bayar."
" Dasar..."
Marissa kerap kali meminjam pundak Oryz untuk tidur. Oryz meminjamkan pundaknya dengan gratis dan sukarela. Bus pun melaju dengan kecepatan sedang ditengah terik matahari siang. Bus yang hanya berfasilitas jendela terbuka tentunya membuat penumpangnya cukup mengeluarkan banyak keringat. Apalagi jika penuh sesak. Bagaikan sauna masal di siang hari.

****

Sore yang cukup cerah. Seorang gadis dengan tubuh mungil duduk sendiri hanya ditemani nyanyian pohon yang tertiup angin di teras rumahnya. Pepohonan asri disekitar rumahnya akan membuat siapapun betah untuk duduk berlama-lama disebuah kursi kayu sambil minum teh dan sedikit biskuit di sore yang indah. Atau sekedar memandang kesebuah titik dengan pikiran yang menerawang jauh ke alam lain.
Lamunan singkat itu tersadarkan dengan bunyi ponsel diatas mejanya.
Lagi ngapain Oryz?
" Ken?"
Oryz menyebut nama itu dan senyuman pun merekah dari bibir mungilnya. Gadis yang telah berusia tujuh belas tahun dua hari yang lalu itu menampakkan wajah yang jauh lebih muda dari usianya. Terkadang orang menyebutnya anak SMP atau bagi teman-temannya ia pantas untuk kembali ke taman kanak-kanak jika melihat wajah dan tingkahnya yang sedikit kekanak-kanakan.
Lagi melamun aja. Kenapa?
Emm. Pengen tau aja lagi ngapain.
Tumben ga sibuk?
Emang mau sibuk ngapain?
Main bola.
Masa tiap hari? Kan cuma sekedar hobi.
Siapa tau pengen masuk Timnas.
Ah, ga usah deh. Takut nyingkirin Bambang Pamungkas. Haha
Masa??
Ken memang seorang pecinta olahraga sepak bola. Sepak bola adalah hobi keduanya setelah bermain musik. Gitar adalah alat musik yang sangat dicintainya bahkan bisa juga dikatakan sebagai belahan jiwanya. Entah dari kapan dia menyukai gitar, yang pasti kini Ken dan gitar adalah dua hal yang tak bisa dipiisahkan lagi. Buat sekedar iseng-iseng menyalurkan bakat, Ken membentuk sebuah band bersama beberapa teman kampusnya.
Oia, ultah kamu kapan Riz?
Dua hari yang lalu.
12 Desember?
Yuppy!
Telat deh. Tapi, selamat ulang tahun ya.
Ok, makasih.
Ultah keberapa?
18
Asyiikkk. Cuma beda 3 tahun.
Maksudnya?
Ada deh....
Kamu kapan?
23 Maret.
Oia Riz, tanya lagi rumah kamu dimana?
Tau kuliner Ungaran?
Warung-warung tenda itu?
Yup. Lurus aja dari situ. Jalan bambu 1 no.3.
Ok, makasih ya.
Pembicaraan yang cukup panjang itu akhirnya berakhir. Meski terlambat, Oryz tak merasa begitu kecewa akan pertanyaan Ken tentang hari ulang tahunnya. Tak pernah ada yang spesial dari ulang tahun Oryz selain sekedar kejutan keusilan teman-temannya.
Seingatnya ulang tahun paling mengesankan adalah ketika ia duduk dikelas tiga SMP. Saat pelajaran usai, serempak semua teman-teman Oryz menyanyikan lagu selamat ulang tahunnya Jamrud. Untungnya, hari itu ia membawa satu kue tart ukuran sedang yang memang ingin ia bagikan ke teman-teman terdekatnya. Jadilah hari itu pesta perayaan ulang tahun kecil-kecilan di ruang kelas. Setelah saat itu, ulang tahunnya hanya dihiasi ucapan-ucapan selamat lewat SMS dan telepon dari teman-teman dan orang-orang terdekatnya.

****

Komentar

Posting Komentar