SURAT TANPA NAMA; UNTUK SAHABATKU


Hari ini kulihat sahabatku menangis. Sejauh aku mengenalnya, ini kali aku melihat wajah kesedihan yang mendalam dan tak biasanya dia seperti itu.
Ini kali aku melihat kau melamun dan menyendiri, melemparkan pikiran dalam angan yang penuh kepedihan mencoba mengingat apa yang kau alami sembari berpikir “apa yang harus aku lakukan setelah ini.” Aku tahu sahabatku, wajahmu berbicara padaku. Wajah yang tak biasanya, tatapan mata sayu dan kosong, guratan-guratan halus berbicara dengan bahasanya sendiri. Wajah yang biasanya penuh dengan senyuman, tawa yang tak pernah kau lepaskan, keceriaan yang selalu membuat semua orang didekatmu ikut tersenyum. Sekarang semuanya menghilang meski kau mencoba untuk tetap tersenyum padaku, dan semua orang yang kau temui hari ini. Aku melihat ada kemunafikan dalam senyumanmu, membohongi diri sendiri, menyembunyikan apa yang sesungguhnya kau rasakan dengan ekspresi yang kulihat cukup memuakkan.

Menangislah jika kau ingin menangis dan menangislah jika memang harus menangis. Jangan kau dzalimi hatimu sendiri sahabatku, biarkan dia bebas mengekspresikan apa yang ia rasakan karena itu adalah haknya, karena itu adalah kodratnya. Sebagaimana kodratku, kodratmu, juga kodrat manusia lain yang mancintai Tuhannya yang selalu mendapat ujian untuk membuktikan rasa cintanya. Menangislah untuk melepaskan sejenak beban yang bertahun-tahun kau pendam dan sangat menyesakkan. Menangislah karena itu wajar, kau layaknya semuanya hanyalah manusia biasa, manusia yang dikarunia perasaan untuk mengungkapkan dan memaknai kehidupan. Bongkahan batu pun akan lapuk tatkala butiran-butiran air hujan menghantamnya terus menerus.

Aku ingat ketika semalam kau bercerita kepadaku dengan deraian air mata yang aku pun terkejut melihat kau seperti itu. Selama ini aku yang selalu menangis di depanmu dan kau menguatkanku. Kau yang selalu mengajakku tersenyum dan mengajariku untuk tersenyum pada siapa pun. Kau yang selalu mengatakan bahwa kehidupan yang ada di depan jauh lebih baik dari masa lalu hingga aku bisa bangkit dari keterpurukan. Dan sekarang kondisinya berbalik, kau duduk dihadapanku bercerita dan menangis. Rasanya ingin aku ikut menangis melihat deraian air mata mengiringimu menceritakan kisah hidup dengan terisak. Namun, aku harus menguatkanmu dan aku tak boleh menangis sedikitpun. Aku hanya akan mendengarkanmu, karena aku tahu kau hanya butuh orang untuk mendengarmu bukan menasehatimu dengan sok tahu.

Sahabatku, aku tahu rasanya pasti sangat menyesakkan. Lebih dari yang pernah aku rasakan, tapi yakinilah semuanya pasti akan ada jalan. Kuasa Tuhan tak akan membiarkan umatnya sendirian dengan beban yang dirasa sudah tak mampu lagi tuk dipikul seorang diri.

Sahabatku, sungguh kenapa aku tak pernah tahu apa yang selama ini kau alami. Dan kini kau berkata hidupmu bagai sebuah “zombie”. Aku merasa seperti sebuah skenario sinetron ketika aku mendengar kisah ini. Betapa kau menahan apa yang terjadi seorang diri, hanya dengannya yang sekian lama hidup denganmu dan merasakan hal yang sama, hanya dengannya kau berbagi semuanya. Betapa banyak deraian air mata, kehampaan, keterpurukan dan ketidakadilan atas apa yang mereka lakukan untukmu. Mereka yang kau bilang membuatmu seperti "zombie". Dan aku tak akan menyalahkanmu untuk memakai topeng selama itu membuatmu merasa masih ada keadilan di dunia ini meski aku juga tak akan membenarkanmu.

Betapa cinta mereka yang selama ini kau nantikan, baru kali ini aku mengerti. Betapa cinta seperti itu sesungguhnya sangat berharga bagi sebagian orang dan sebagian lagi tak pernah memahaminya. Sahabatku, sesungguhnya cinta yang kau nanti itu ada dalam dirimu sendiri. Disaat kau dengan tulus tetap mencintai mereka sedang mereka mengacuhkanmu. Anggaplah itu cara mereka mencintaimu. Setidaknya masih ada cinta yang tulus dalam dirimu untuk mereka dan itulah cinta yang sesungguhnya, aku yakin mereka pasti merasakannya. Mungkin sekarang mereka masih menghindar untuk mengakuinya, tapi aku yakin mereka akan mengakuinya suatu saat nanti walau sekalipun bukan pada dimensi hidup sekarang ini. Namun, jangan kau biarkan ketulusan cinta itu melepaskan tahtanya dari dalam hatimu. Tunjukkanlah kau bukan seperti mereka dan Tuhan pasti akan memberikan lebih dari yang sekedar kau harapkan. Biarkanlah seperti dulu dan sekarang, kau tetap mempertahankan rasa cinta itu sepahit apapun yang kau pendam.

Sahabatku, jikalau sekarang kau tak tahan lagi menahan semua ini. Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan sekalipun itu bukan keputusan yang terbaik. Tapi sesekali kau juga butuh untuk lebih mencintai dirimu sendiri. Hanya satu yang aku sarankan, jangan ambil keputusan untuk kebencian. Lakukan apa yang ingin kau lakukan, tetapi dengan tetap meninggalkan cinta untuk mereka.

Aku mendengarkanmu hingga kau pun sendiri lelah untuk bercerita lagi. Karena pada intinya semua sama. Kau dipaksakan untuk kehilangan cinta yang seharusnya kau dapatkan, kehilangan cinta karena kesalahan mereka yang kau cinta. Berjuang seorang diri menahan ketidakadilan. Tidak mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak-hakmu hanya karena kesalahpahaman. Tapi disini aku melihat betapa hebatnya kau. Semua hampir tak merasakan kepedihan yang bertahun-tahun terpendam padahal sebenarnya itu kau rasakan. Dan kau selalu membuat kami tersenyum.

Cerita semalam, kan selalu kuingat sebagai kisah hidupmu. Sekarang, aku ijinkan untukmu sejenak menghindar dari semuanya. Tenangkanlah hatimu dan bukalah lembaran-lembaran catatan historis kehidupanmu yang telah lalu dan aku yakin meski sedikit masih ada kebahagiaan di dalamnya untuk memutuskan apa yang akan kau lakukan selanjutnya.

Sahabatku, satu yang ingin aku ucapkan. Tuhan tidak tuli, Tuhan tidak buta dan Tuhan tak pernah tidur. Jikalau kau mengkhawatirkan cinta, ingatlah selalu, aku dan orang-orang yang selalu mendukungmu akan selalu mencintaimu. . .

Surat tanpa nama ini, kukirimkan untukmu, sahabatku. . .

Komentar

Posting Komentar