HUJAN DI TIRTO ARGO


“ Kamu nggak apa-apa Mas tinggal sendiri?”
“ Nggak apa-apa Mas, biar nanti aku minta Ken ngejemput aku,” meski tak yakin Ken akan datang menjemputku, kuucapkan saja dengan yakin untuk tidak membuat kakak laki-lakiku itu khawatir.
“ Ya udah de’ Mas berangkat kerja dulu ya. Kamu hati-hati disini sendirian. Kalo nanti Ken nggak jadi ngejemput kamu, telepon atau SMS Mas ya? Biar nanti Mas minta orang ngejemput kamu,” Kakak laki-lakiku yang entah punya ilmu apa ini seolah selalu tahu apa yang sedang aku pikirkan. Atau mungkin permasalahanku dengan Ken sudah sampai ketelinganya? Tapi itu tak mungkin, hanya aku dan Ken sendiri yang tahu permasalahan kami, tidak melibatkan siapapun.

Kupandangi tubuh yang senantiasa melindungiku itu menjauh, melaju dengan sepeda motornya meninggalkanku di tempat ini sendiri, Tirto Argo. Sebuah taman di lereng-lereng bukit dengan nuansa alam yang kental dilengkapi dengan beberapa kolam renang. Tirto Argo, adalah tempat yang tak pernah asing bagiku. Dulu, bahkan hampir setiap minggu aku datang ke tempat ini dengan atau tanpa teman sama sekali. Di tempat inilah aku menemukan kesenanganku, tempat rekreasi yang menyenangkan tanpa harus mengeluarkan banyak uang.

Aku berjalan menuju sebuah bangku dengan atap menyerupai jamur sebagai pelindung dari sengatan matahari yang memaksa menerobos dari celah-celah ranting pepohonan. Ku pandangi satu titik tepat didepan mataku, sebuah kolam dengan pancaran air yang terus mengalir. Tak ada keindahan disitu, selain hanya kumpulan manusia yang girang menggerak-gerakkan tubuh mereka dengan bebas, tertawa seolah mereka sedang berada di lautan lepas. Hanya ingin memandang ke sebuah titik dan merenung.

Hubunganku dengan Ken tak lagi menyenangkan, bahkan sudah sangat buruk. Bertahan dengannya semakin lama hanya akan menyiksa diriku sendiri, semakin melukai cinta dan kesetiaan yang selama ini kucoba persembahkan untuknya. Sebulan lalu, Ken mengakui dirinya yang telah memilih wanita lain untuk menggantikanku, benar-benar menggantikanku meski aku masih berdiri di sampingnya hingga detik ini. Tak sejengkal pun aku pernah meninggalkannya, karena aku benar-benar tulus.

“ Sungguh itu kesalahanku hingga kau merasa perlu menggantikanku dengan orang lain. Sungguh aku menyesal untuk terkadang marah ketika aku merasa kesal, mengacuhkanmu sesekali, dan terlalu meninggikan rasa cemburuku. Maaf untuk membuatmu kurang nyaman Ken, tapi sungguh itu karena aku terlalu takut untuk suatu saat kamu akan benar-benar meninggalkanku,” dalam lamunan yang jauh, lubuk hatiku yang terdalam tak mampu menahan untuk tidak mengucapkan kata-kata yang entah berapa kali telah terucap dari mulutku padanya sejak beberapa hari ini.
" Tetaplah tinggal disisiku....."

Aku tak tahu disebut apa sekarang hubunganku dengan Ken. Dia yang mencampakanku begitu saja, tetapi aku masih berharap ini hanyalah mimpi buruk yang akan cepat berlalu. Dan aku juga tak mengerti mengapa Ken masih menjagaku untuk tetap ada disampingnya. Kata-kata yang paling ingin untuk aku dengar masih sering diucapkannya padaku “ Aku sungguh menyayangimu...” Hingga aku tak mengerti siapa dan mengapa dia yang disamping Ken, tertawa bersamanya, dan merajut akan mimpi-mimpi masa depan dengannya yang seharusnya itu milikku.

Ingin aku berteriak, mencaci maki Ken yang memperlakukanku sekejam ini. Tapi sungguh, hatiku tak mampu untuk melakukannya. Selama Ken masih memanggilku ‘sayang’ aku akan masih bisa melawan jeritan hati yang menyakitkan ini.
“ Aku hanya mencoba bersabar untuk menunjukkan ketulusanku, semoga hatimu akan mendengarnya dan membawamu kembali padaku Ken,” dengan rasa perih untuk menahan dan membohongi perasaan diri sendiri kuucapkan kata-kata yang sesungguhnya akan terdengar sangat bodoh di telinga orang lain.

Aku rindu pada Ken, rasanya sudah lama dia tak menemuiku. Aku mulai merasakan keberadaanya yang sedikit menjauh. Dengan keyakinanku untuk Ken yang masih mencintaiku, kupikir dia akan datang menemuiku ditempat ini. Dulu, tak pernah sedikitpun ia tega meninggalkanku sendiri.
“ Ken, kamu bisa datang untuk menemuiku sekarang?” aku berbicara lewat telepon pada Ken yang sejak pagi tadi telah menolak untuk menemuiku sesungguhnya.
“ Nggak bisa Ai, aku pusing. Lagi males keluar rumah. Kamu bisa pulang sekarang aja? Aku nggak mungkin datang,” suara di balik telepon itu terdengar dingin bahkan sangat dingin dari biasanya.
“ Aku tunggu berapa jam pun kalau kamu bilang akan datang,” dengan kekerasanku, aku mencoba mengubah pendiriannya.
“ Nggak bisa Ai,” hanya itu yang diucapkan Ken seolah tak ada rasa rindu sedikitpun untuk bertemu denganku.
“ Aku mohon,” suaraku semakin rendah, mencoba menahan isakan tangis akan kekecewaan yang aku terima atas penolakan kekasihku itu.
“ Udah aku bilang nggak mungkin, kenapa nggak ada pengertian sama sekali sih?” Ken justru mulai meninggikan suaranya ketika aku mulai merapuh.
“ Kenapa? Karena dia...?”
“ Kenapa selalu bawa-bawa orang lain? Sudah kukatakan apa isi hatiku, tapi kamu selalu memojokkanku seperti ini. Kalau terus kayak gini justru aku nggak bisa lagi mempertahankanmu Ai!” suara itu terdengar semakin menakutkan untuk kudengar hingga memanggil keheningan sejenak diantara kami.
“ Aku harus gimana?” suaraku semakin melemah. Aku memang tak pernah cukup kuat untuk mendengar kata-kata dengan nada penuh emosi seperti itu. Entah sejak kapan, aku sangat rapuh dengan suara bentakan yang sangat keras.
“ Diam, dan sekarang kamu pulang karena aku nggak akan datang. Biarkan dulu semuanya seperti ini karena aku udah lelah,” Ken menutup pembicaraan kami tanpa mengucapkan kata-kata penutup seperti biasanya.
“ Waalaikum salam...,” kuletakkan ponsel itu dari tanganku dan kutundukkan kepalaku rendah karena kurasa tak mampu lagi untuk memaksa air mata ini tidak semakin mendramatisir keadaan.

Sesungguhnya perasaanku sudah sangat lelah untuk tetap berpura-pura tegar di depan semua orang bahkan dihadapan Ken. Mendengarkannya selalu berkeluh kesah tentang hati yang terpaksa, sedang aku seolah tak mau mendengar keluh kesah hatiku sendiri. Hanya untuknya, aku akan lebih rapuh ketika melihat sepasang mata itu terlihat sayu dan penuh kesedihan, tatapan Ken yang selalu aku rindukan.

“Biarkan aku yang berjuang hingga aku merasakan tak mampu lagi berjuang sendirian Ken,” hatiku tetap saja keras kepala untuk tidak pernah mengutuk perbuatan Ken yang kejam padaku.

Hujan pun turun seperti air yang diguyurkan begitu saja dari langit. Membasahi pepohonan dan semua sudut Tirto Argo. Mungkin hujan ingin memberiku harapan untuk sedikit waktu lebih lama, tetap menunggu, dan sedikit harapan Ken akan datang. Memberiku kesempatan untuk menunggu laki-laki itu mengubah keputusannya. Hujan deras yang semakin mendramatisir kisah kekecewaanku hari ini. Atau mungkin juga hujan yang ingin membantuku mengubah keputusan Ken untuk tak membiarkan seorang gadis yang mungkin masih dicintainya menunggunya seorang diri di tempat ini.

Kupandangi sebuah sudut dengan tatapan penuh harapan. Hingga kurasakan tubuh seseorang yang kukenal itu muncul dari kejauhan dan menampakkan senyuman padaku. Itukah Ken? Aku pun bangkit secepat kilat dari tempat dudukku untuk menyambut harapan yang sebentar lagi akan menjadi kenyataan.

Meski akhirnya kecewa, ternyata hanya bayangan hujan yang mencoba menghiburku. Ken pun tak pernah datang, pun hujan lelah untuk mengiringi drama kisah hidupku hari ini. Hujan telah meninggalkan Tirto Argo, tak lagi menemaniku yang masih menunggunya. Hanya meninggalkan jejak untuk membuktikan dia pernah berdiri disini. Mengajari hatiku tuk sedikit percaya, "bahwa kau tak lagi mencintaiku sayang."

Hujan di Tirto Argo siang itu, Mei 2009....

Komentar