Disini, di Peron Stasiun Cikini...



Dia,
Aku melihatnya
Dengan senyumannya,
duduk dengan anggun
Tatapan mata itu kosong,
Berharap,
pada deru rel yang memecah keheningan
Dia,
Tetap duduk dengan anggunnya
Dia,
Seorang gadis duduk di peron stasiun,
menggenggam seikat bunga krisan putih,
penuh tanya


Stasiun Cikini, Jumat 29 April 2011

Hari semakin terik. Udara Jakarta disiang hari memang tak pernah bersahabat dengan siapapun di musim panas seperti sekarang. Puluhan tubuh yang berjejal di dalam metro mini dengan fasilitas sebatas angin sepoi-sepoi yang berhembus sesekali. Puluhan manusia yang berebut tempat, memaksa angin hanya mampu menyela pada sisa-sisa ruang kosong antar tubuh manusia dalam kendaraan masa itu.

Sarah, gadis 20 tahun yang ikut berjejal dalam metro mini, ikut berebut udara segar yang sekarang menjadi barang paling langka di tempat itu. Jika mungkin, untuk membiarkan hembusan angin menjadi barang ekonomis pun tentu mereka semua tak akan keberatan. Asal setidaknya hembusan angin perlahan berkenan menyentuh tubuh-tubuh mereka yang semakin kepanasan tak karuan. Seharusnya memang seperti itu, tetapi tidak untuk Sarah. Entah apa yang terjadi padanya. Tubuh yang terasa menggigil, tatapan mata yang perlahan mulai berkunang, dan keseimbangan tubuh yang rasanya semakin tak stabil.

Ini masih tengah hari. Sebagai seorang gadis cleaning service baru di RSCM, Sarah memaksa untuk pulang cepat hari ini. Sekuat tenaga Sarah memaksa tubuh kurusnya tetap bertahan untuk berjalan menyusuri gang kecil dikawasan padat penduduk. Sebuah tempat yang menunjukkan betapa hidup ini terkadang penuh ironi. Puluhan gedung pencakar langit yang berebut eksistensi untuk siapa yang lebih megah, tak jauh dari sana, tembok yang tak terlalu tinggi membedakannya dengan hunian padat penduduk kaum marginal kota Jakarta.

Dihempaskan tubuh yang semakin tak ia mengerti apa yang diinginkannya itu ke atas kasur yang semakin berkurang saja ketebalannya kian hari. Tatapannya semakin berkunang, hingga tak mampu ia mengingat apapun lagi. Gelap....

****
Gelap itu ternyata menghadirkan bahagia untuk Sarah. Dalam dimensi yang berbeda, disaat teriakan-teriakan mereka yang mencintainya semakin jauh tak terdengar. Sarah, seolah merasakan kembali kenangan sebulan yang lalu. Sebuah kenangan yang pada akhirnya menjadi satu-satunya ingatan yang tersisa dalam memorinya. Ingatan pada Mas Jay, laki-laki yang dikenalnya dari perjodohan keluarga hampir enam bulan lalu. Ingatan akan sebuah rencana indah didepan mata untuk menggelar pesta menuju kehidupan baru mereka sebentar lagi, pernikahan.

“ Sar, aku mau bicara serius sama kamu,” Jay panggilan akrab Sanjaya, mengeluarkan kata-kata dengan nada tak biasa. Ada sesuatu yang berat terasa dalam kalimat yang ia ucapkan.
“ Apa Mas Jay? Ngomong aja ke Sarah,” Sarah tak ingin berpikir apapun tentang air muka yang berbeda dari kekasihnya beberapa detik setelah mengeluarkan pernyataan yang sesungguhnya biasa itu.
“ Kamu tau kan orang tua kita udah menetapkan hari pernikahan kita nanti?” Jay tidak langsung menuju ke apa yang ingin ia katakan.
“ Iya,” jawab Sarah singkat agar Jay tak terlalu lama mengulur-ulur waktu.
“ Jujur Sar, aku sangat bahagia untuk menyambut hari itu,” ucap Jay semakin pelan.
“ Sarah juga Mas.” Meski kisah cinta mereka berawal dari sebuah perjodohan, tetapi perasaan yang melekat dihati keduanya ternyata bukan lagi atas nama sebuah pengabdian, kepatuhan, jangankan keterpaksaan. Perasaan yang sama-sama kuat, memastikan janji Tuhan bahwa manusia diciptakan dengan jodohnya masing-masing.
“Tapi ada satu masalah yang mengganjal dihatiku Sar,” laki-laki 25 tahun itu sudah mulai mengarah pada inti pembicaraan.
“Apa?” ada aliran yang dirasakan aneh pada sekujur tubuh Sarah saat mendengar kata-kata itu. Ada perasaan takut kalau-kalau kebahagiaan yang sudah di depan mata harus berakhir detik ini juga.
“ Semoga kamu nggak terkejut mendengar semua ini,” Jay menegakkan posisi duduknya. Memperlihatkan tubuh gagahnya sebagai laki-laki dewasa. Menunjukkan seolah betapa ia sanggup melindungi wanita yang ada dihadapannya sampai kapanpun.
“ Aku dipecat Sar,” berita duka itu dikemas Jay menjadi sebuah pernyataan yang tegas.
Sejenak ada keheningan yang menyapa di tempat mereka berdua kini bertatap muka. Sebuah warung makan kecil di pinggir stasiun Cikini.
“ Aku tahu Mas , hari ini aku nggak ngeliat kamu di Rumah Sakit. Aku pikir kamu sakit, ternyata aku dengar dari Bang Budi, Mas Jay uadah nggak kerja lagi,” Tak ada keterkejutan yang diperlihatkan Sarah. Mereka berdua memang bekerja di instansi yang sama meskipun area kerja mereka berbeda sehingga kesempatan bertemu pada jam bertugas pun bisa jadi kemungkinan yang sangat kecil. Namun, untuk sekedar kabar berita tentunya tak akan sulit untuk didapat.
“Itu yang ingin Mas Jay katakan ke Sarah?”
“ Bukan,” jawab Jay singkat.
“ Lalu apa?” barulah Sarah menampakkan raut keterkejutan dari wajahnya setelah mendengar jawaban Jay.
“ Aku mau ikut merantau ke Kalimantan. Pak Suparna, tetanggaku jadi mandor proyek di Kalimantan. Aku diajak kerja sama beliau, lumayan banget Sar bayarannya. Apalagi kita butuh uang buat pesta pernikahan dan tabungan untuk kehidupan kita berdua setelahnya. Setidaknya untuk uang muka kontrak rumah nanti,” ucap Jay mencoba setenang mungkin dan memberikan argumen yang diharapkan mampu menenangkan gadis dihadapannya itu.
“ Maksud Mas Jay? Mas mau ke Kalimantan dan membatalkan pernikahan kita?” Sarah berusaha mengendalikan emosinya sekuat mungkin.
“ Bukan membatalkan, hanya menunda beberapa bulan. Aku merantau nggak lebih dari setaun, aku janji. Hanya untuk mencari modal setidaknya untuk hidup kita beberapa waktu setelah kita menikah nanti. Aku nggak mau jadi pecundang yang nggak bisa memenuhi kewajibanku sebagai laki-laki yang harus mampu menanggung hidup keluarga,” tak ada keraguan sedikitpun dari kata-kata Jay meski Sarah mulai menampakkan ekspresi kekecewaannya.
“ Aku nggak menuntut Mas Jay seperti itu,” kesedihan perlahan mulai menyesakkan hati Sarah. Rasanya ruang disekelilingnya menjadi semakin sempit.
“ Tapi Sar........” Jay belum sempat meneruskan pembelaannya hingga akhir.
“ Nggak, aku nggak ijinin Mas Jay pergi. Tolong Mas pertimbangkan lagi keputusan Mas ini, aku mau menenangkan diri dulu,” Sarah mengambil keputusan sepihak untuk mengakhiri pembicaraan keduanya sebelum perang pendapat akan semakin menyudutkannya nanti. Juga sebelum air mata kekecewaan dan kesedihan semakin mendramatisir suasana dan membuatnya rapuh.
“Sarah....tunggu.....”

Suara panggilan Jay ternyata tak mampu menyurutkan langkah Sarah untuk meninggalkan calon pendamping hidupnya itu. Dengan sekuat mungkin menahan perasaan yang kesetanan, langkah kaki itu meninggalkan stasiun....

****


Perasaan Sarah sudah lebih baik dari kemarin sesaat setelah ia bertemu dengan kekasihnya. Sekarang pikirannya pun sudah lebih terbuka. Ia menguatkan hatinya untuk menemui Jay dan akan mengatakan kesanggupannnya untuk menunggu sang pujaan hati meski setahun lamanya mereka harus terpisah jarak yang begitu jauh. Jangankan setahun, perasaan Sarah pun sanggup untuk memaksa akal sehatnya untuk menunggu laki-laki itu dua, tiga, atau bahkan sepuluh tahun. Rasa tanggung jawab yang ingin ditunjukkan Jay padanya yang akhirnya membuat Sarah bisa berpikir dengan kepala dingin. Membawanya untuk memahami makna cinta yang sesungguhnya, bukan lagi sebatas cinta untuk ambisi apalagi nafsu yang menggebu.

Gerbong itu berjalan dengan sangat cepat diatas relnya. Pintu terbuka. Sarah melangkahkan kaki keluar menuju peron stasiun. Menuju masa depannya, menuju penantiannya, Cikini.

****
Semuanya terlihat gelap. Kata dokter Sarah pingsan. Kata dokter pula sejak itu Sarah mengalami gangguan jiwa. Sarah tak mampu menggunakan akal sehatnya lagi. Sarah yang hanya tahu untuk menunggu Mas Jaynya datang. Kekuatan iman dan ketahan jiwa Sarah ternyata hanya mampu bertahan tak lebih satu bulan. Terakhir Sarah membaringkan dirinya dengan jiwa yang utuh, hingga esoknya ia terbangun dengan dunia yang telah berbeda untuknya.

****

Setahun berlalu......
Seorang gadis dengan seikat bunga krisan putih digenggamannya duduk di peron stasiun dengan anggun. Senyuman terukir dalam wajah penuh harapan. Berdiri, dan mengamati tatkala pintu-pintu gerbong mulai terbuka dihadapannya. Seolah menantikan seseorang muncul dari kumpulan manusia yang baru saja turun dari keretanya. Meski yang ada, hanya kecewa yang memaksanya duduk dan kembali menanti, Sarah.

Ya, gadis dengan seikat bunga krisan putih itu adalah Sarah. Ini tepat satu tahun dari Jay mengatakan dia akan pergi. Ini hari, Jay berucap janji untuk kembali lagi dan mungkin di tempat ini. Tepat setahun, saat Jay tiba-tiba menghilang setelah pertemuan terakhir mereka. Jay yang bilang akan pergi ke Kalimantan, memutuskan hari keberangkatannya sepihak tanpa setidaknya mengucapkan salam perpisahan pada kekasihnya. Setahun tanpa kabar berita. Setahun tanpa ada yang tahu dimana sesungguhnya Jay berada. Tempat yang Jay katakan akan menjadi tanah tujuannya nyatanya bukan tempatnya berpijak selama masa kepergiannya.

Sarah tak pernah benar-benar tahu dimana Jay, jangankan mendapat kabar beritanya. Hanya sebuah harapan yang tetap ia pertahankan bahwa Jay akan kembali. Janji Jay untuk kembali padanya dan meniti masa depan yang lebih indah membuat Sarah ingin menunggu. Layaknya seorang pengeran yang akan menjemputnya tatkala kembali dari pengembaraan panjang mencari bunga krisan putih untuk sang puteri, calon pedamping hidupnya. Hanya itu yang ada dalam pikiran Sarah dalam masa-masa gelapnya. Masa-masa disaat akal sehat itu tak lagi ada dan hanya rasa cinta yang mampu bertahta.
Meski paksaan dan tekanan-tekanan untuk melupakan Jay semakin terdengar jelas dari orang-orang disekitarnya bahkan dari pikirannya sendiri. Namun, ternyata hati itu tak mampu ia manipulasi. Tekanan batin dan depresi panjang yang sekarang membuatnya seperti ini. Tak ada lagi yang mampu Sarah ingat selain kenangan bersama Mas jay. Tak ada harapan apapun selain menunggu Mas Jay yang akan menemuinya. Berharap dan terus menunggu. Untuk sekedar menciptakan bayangan laki-laki yang akan menghampirinya dengan seikat krisan putih, bunga yang paling disukainya.

Perasaan yang teramat kuat hingga ketidakmampuan menerima kenyataan, memaksa gadis ini menciptakan dunianya sendiri. Dunia dimana hanya ada dirinya dengan pujaan hati, Jay. Sarah, gadis yang hari ini menggenggam seikat krisan putih, duduk dengan anggun, penuh harapan untuk terus menanti. Disini, di peron stasiun Cikini.....

Disini,
Aku menunggumu Mas,
Ini hari, kau berjanji untuk kembali
Ini hari, kau pergi tanpa ucapan perpisahan

Seharusnya kau tahu saat kau pergi,
Jikalau aku sangat mencintaimu
Jikalau hati ini selalu memilikimu
Jikalau jiwa ini selalu mendambamu
dan aku,
nyatanya tak sanggup untuk didunia ini tanpa kehadiranmu

Seharusnya kau tak seperti ini,
meninggalkanku tanpa kabar berita
jangankan itu,
bahkan aku tak tahu apakah kau masih hidup sekarang sayang?
Sampaikanlah perasaan yang masih tersisa jikalau,
memang kau masih ada di dunia ini
Aku akan terima
Aku tak akan lagi meminta krisan putih padamu
Hanya cinta...

Hingga semua orang berkata aku gila...

Aku tidak gila sayang
aku hanya tak ingin semuanya menghapus kenangan kita
aku tak ingin waktu menghapus cinta, dan kau...
Hingga sekarang kupaksa waktu berhenti di hidupku
dan aku hanya mampu mengingatmu
dan hanya dengan seperti ini,
Aku kan merasa kau selalu ada...

Aku menunggumu disini
Napak tilas kenangan masa lalu kita,

Saat semua orang berkata aku gila....

Aku tidak gila,
hanya sebatas mempertahankan cinta
dan menunggu untuk cinta itu datang kembali...

Ini krisan putih telah kumiliki,
dan kau tak perlu mencarinya lagi

****

Komentar