Untuk Ayah


Memandang punggung yang tertunduk. Pasrah, seolah ingin berkata “kuhadapkan seluruh jiwa dan ragaku untuk-Mu”. Dan seharusnya aku selalu sadar, itulah salah satu kekuatan terbesar yang membawa perjalanan hidupku hingga sekarang. Beberapa lama, aku melihatnya sungguh sangat lama. Seberapa sering? Rasanya sungguh sangat sering. Sendiri, dalam malam yang hening tak berpenghuni. Duduk dengan sarung tua kesayangannya. Bersujud, diatas sajadah oleh-oleh dari Mekah.

Memejamkan mata, mengucap doa yang begitu panjang yang aku pun tak pernah tahu apa artinya. Hanya satu kata yang aku tau pasti apa artinya. “Anakku.....” Kata yang selalu ada dalam setiap doanya yang panjang... Dan aku yakin, inilah salah satu kekuatan hingga Tuhan selalu menyayangiku.

Hingga kurasakan diriku yang sungguh tak tahu dirinya.

Sesering aku menuliskan puisi untuk ibunda, sesering itu pula aku yang justru mengabaikannya. Mengabaikan jikalau sesungguhnya ia juga merindukanku. Betapa sesungguhnya ia tak pernah mengabaikan setiap hal yang kulakukan. Hingga kupikir ia tak pernah menyukai yang seperti ini, sebuah tulisan. Dan ternyata, dia menyukainya....

Sesering aku bercerita pada ibu tentang keluh, resah, dan putus asa, sesering itu pula aku tak memandangnya. Melihatnya seolah dia yang justru selalu memaksa, membatasi, dan terlalu dingin. Dan seharusnya aku sadar, seorang yang selalu ingin terlihat mampu melindungi orang-orang yang dicintainya itu, tak pernah ingin lemah mendramatisir kisah hidup. Hanya agar aku percaya, masih ada satu orang lagi yang mampu bertahan dan selalu berdiri dibelakangku dalam kondisi sesulit apapun.

Sesering aku bercerita pada ibu tentang hati dan cinta, sesering itu pula aku justru bersembunyi darinya. Berharap tak membuatnya tahu tentang itu, karena aku pikir dia yang selalu memaksaku tuk menjauhi cinta itu. Dan seharusnya aku bisa memahami, ia yang tak pernah ingin putri kecilnya terluka oleh cinta. Karena lagi-lagi dia seorang laki-laki, ia tahu bagaimana kaum sesamanya itu bermain pada cinta.

Sesering aku menangis penuh rindu dan memeluk tubuh ibu, sesering itu pula aku tak memberinya kesempatan. Dan seharusnya aku tahu, ia juga ingin jikalau gadis kecilnya yang mulai tumbuh dewasa itu memeluk tubuhnya dengan manja. Karena ia juga punya cinta yang sama. Karena ia juga punya kelembutan yang sama, meski yang terlihat justru sebaliknya. Lagi-lagi, karena ia ingin terlihat berwibawa.

Sesering aku melihat ibu bak seorang peri yang selalu memenuhi apa yang aku mau, sesering itu pula aku memandangnya tak berperasaan. Dan seharusnya aku mengerti, ia yang tak ingin aku selalu menjadi puteri kecil yang manja. Karena ia tahu pasti, suatu saat nanti aku akan menjadi seorang wanita dewasa. Dan saat itu pula ia tak lagi bisa menjagaku seperti sebelumnya.

Sesering aku melihatnya berdoa dalam keheningan malam, semakin aku menjadi sadar. Betapa ia juga punya cinta yang sama untukku. Betapa ia punya rindu yang sama atas ketidakhadiranku sesingkat apapun itu. Dan betapa ia hanya ingin selalu melihat aku tersenyum bahagia, dan bukan berkeluh kesah.

Melihat punggung yang tertunduk dengan sarung tuanya. Rambut putihnya yang menjadi saksi perjalanan waktu, saksi perjalanan cinta dan ketulusan. Betapa ia selalu menjaga ketulusannya dan mencoba mengerti untukku dengan caranya sendiri.

Melihatnya yang berucap “anakku...” dalam setiap rangkaian doa yang panjang. Ingin rasanya saat itu juga memeluk tubuhnya yang mulai renta sambil berucap, “Aku mencintaimu ayah, sungguh-sungguh mencintaimu.” Aku yang juga punya cinta yang sama untukmu, dan aku juga punya rindu yang sama. Sekarang, aku tak kan lagi merasa terpaksa tuk menemanimu minum secangkir kopi di pagi hari meski dengan obrolan yang rasanya sedikit membosankan. Karena aku tahu, cinta, kasih sayang, dan ketulusan itu akan selalu sama dengannya, dan untukku.....

Komentar