Dari Balkon Istanaku : Aku Rindu...


Kala itu aku duduk dibalkon istanaku. Lelah untukku menyusuri lorong-lorong istana megah ini sendiri dan nyatanya kosong. Lukisan wajah yang menempel pada dinding kastil yang megah akhirnya terjatuh dan hancur seketika oleh hempasan angin yang entah kenapa tiba-tiba ia datang. Meski, sesungguhnya tak mudah tuk berkata lukisan wajah itu benar-benar hancur sedang bekasnya masih terlihat begitu nyata.

Lelah untuk menata relung-relung istanaku yang penuh lukisan masa lalu, dan aku duduk di balkon istanaku. Hanya sejenak memandang langit yang nyatanya indah tatkala aku berani keluar dari istanaku yang terlihat muram, kala itu.

Sekedar duduk untuk memandang langit cerah dan berharap akan datangnya hempasan angin menyambut. Angin yang kan menyentuh istanaku, dan aku. Angin yang kan membuatku memejamkan mata dan merasakan belaian lembut hingga aku akan tertidur dengan mimpi yang tak lagi menakutkan, seperti dulu.

Duduk termenung dibalkon istanaku, hempasan angin perlahan itu tiba-tiba datang mengejutkanku. Aku tak menyangka akan datangnya angin seperti ini, sungguh aku pun tak ingin percaya begitu saja untuk awalnya. Namun, belaian lembut yang nyata kurasakan meski perlahan. Aku pun yakin secepat itu hempasan angin akan mampu menyentuh istanaku. Membuatnya kembali terlihat megah oleh hempasan angin yang sungguh menenangkan.

Aku tetap duduk di balkon istanaku, meski hempasan angin itu rasanya datang dan pergi. Meski hempasan angin yang terlalu pelan kurasakan. Dan sungguh, kenapa aku tak pernah berpikir hempasan angin yang hanya ingin bermain-main padaku yang masih termenung dan bukan istanaku. Angin datang menyentuhku perlahan dan untuk beberapa saat menghilang. Kembali datang beberapa saat dan kemudian menghilang. Lagi, datang beberapa lama dan pergi sesaat. Dan saat itu, kurelakan istanaku untuk hempasan angin yang aku ingin, pun aku telah yakin.

Aku duduk semakin ke ujung balkon istanaku. Menanti, untuk hempasan angin yang datang semakin sering. Dan aku tak lagi hanya termenung. Aku mulai memejamkan mataku perlahan, merasakan belaian lembut sang angin yang menari disekelilingku. Sejenak aku terpejam meski belum tertidur. Dan tatkala hempasan angin itu semakin membuai, dan kini aku harus menantinya sangat lama, sungguh sangat lama.

Aku berusaha untuk tetap berdiri di balkon istanaku. Seraya menunggu hempasan angin itu datang lagi. Rasanya ia tak lagi datang, cukup lama. Bahkan sangat lama. Pun istanaku ini sungguh ingin mengucap rindu untuknya yang kini menghilang. Menemani sang waktu yang terus melangkah, aku tetap berdiri di balkon istanaku ini, dan mengucap rindu.

Kupikir hempasan angin itu mungkin tak kan lagi datang. Mungkin ia tersesat untuk menemukan jalan kembali ke istanaku, atau mungkin ia sungguh tak menyukai istana yang dirasakannya tak membuatnya nyaman. Meski aku sungguh tak keberatan untuk membuat istanaku ini nyaman asal hempasan angin itu tetap tinggal. Aku hanya tak memiliki kesempatan.

Sejak aku duduk di balkon istanaku, dan sekarang aku tetap berdiri di balkon istanaku. Hempasan angin itu sungguh menghilang dan aku tak lagi mampu merasakannya jangankan istanaku. Dan aku masih ingin berdiri dibalkon istanaku. Sungguh, aku merindukanmu.........

Komentar