Cinta ; Haruskah aku berubah bentuk?


Memulai kisah dari aku dan bayangan yang menyakiti. Jikalau aku dulu tersakiti dan menangis untuk sesekali rasa sesal. Sedang dia selalu berkata aku yang terlalu meninggikan akalku. Ya, untuk saat itu logika terlalu menekan hatiku untuk tak hendak sedikitpun mengikutinya, cinta. Bilakah dia mengerti dan merasakannya ketika logikaku berkata dia seharusnya menyadarinya? Dan ternyata tidak.
Lagi, saat hati berkata cinta tak untukku, sedang mataku masih menatap wajahnya, dia masih disini. Tentu, akalku hanya memaksa untuk percaya, cinta itu masih ada disini, masih untukku. Nyatanya? palsu. Dan aku menyerah. Sedang aku disalahkan untuk berjalan sesuai akalku, dan bukan mengikuti apa yang kurasakan, menunggu. Dan ini kisah panjang yang hanya menyisakan luka. Untuk saat itu aku berkata “seandainya aku lebih mengikuti perasaanku.”
Dan lagi, aku tetap mengikuti akalku sampai saat senyuman singkat itu datang. Untuk aku selalu merasakan bahagia. Untuk aku melihatnya yang hanya ingin membuatku tersenyum. Ya, dia yang berjanji untuk selalu membuatku tersenyum dan benar, aku tersenyum. Luka itu pun terlupa. Dan untuk akalku yang berkata “aku bisa mencintainya dan akan mencintainya”. Untuk dia yang berusaha membuatku tersenyum, aku berpijak. Hingga detik waktu sampai akhirnya tak menjawab keyakinanku. Kisah ini berakhir singkat. Melihat ketulusan justru hatiku tak hendak bergeming, aku terlalu meninggikan akalku.
Lalu, hingga aku berjanji akan lebih mengikuti kata hati, aku tak ingin menyesal lagi. Dengan itu aku memulai kisah sekarang.
Kuikuti apa yang hati katakan padaku. Untuk menjadi yang terbaik, aku ingin melakukannya. Hanya kuikuti apa yang kurasakan. Aku mencintainya, dan saat aku selalu merindukannya. Dan cinta ; kini aku berubah bentuk. Tak lagi inginku meninggikan akalku. Kukatakan cinta, jika aku memang mencinta. Kukatakan rindu saat aku merindu. Hingga kurasakan mungkin aku terlalu lemah.
Kupikir ini adalah ketulusan. Dan kupikir dia juga sama. Entah, karna terlalu jauh perbedaan yang ada atau justru terlalu sama? Bilakah aku melihatnya seperti aku waktu itu. Akal, untuknya itu lebih baik daripada sekedar perasaan. Dan untuknya, apa yang kulakukan adalah sebuah kesalahan. Hingga dia berkata “aku terlalu menggunakan perasaan”. Hahaha. Cinta, mungkin seharusnya aku tak pernah berubah bentuk. Jika ini hanya mengganggu bahagiaku.
Bilamana aku ini hanya berjalan searah? Untuk hanya aku yang berjuang karna aku mengikuti kata hati. Dan dia diam. Inginku melihat bahagianya, dan lagi. “Biasa saja”. Dan jikalau aku terlalu jauh mengikuti apa yang kurasa, aku kecewa. Dia, kan berucap aku terlalu mengikuti perasaanku.
Hingga kutanyakan harus seperti apa aku, aku mencoba diam. Pun dia. Kupikir ketulusan kan meluluhkan. Dan ternyata akal membuatnya berdiri di tempat yang sama lebih kuat lagi. Hingga rasanya ingin aku berteriak, “sedikit saja lihatlah aku dengan hati,” bukan sekedar akal. Bilakah sesungguhnya akalmu yang memilih? Bukan kau yang mengikuti kata hatimu untuk berlabuh didermagaku? Aku mulai ragu. Dan ini sedihku, dimanakah aku sekarang? Hanyakah dalam akalmu?
Dan untuk sekarang aku kan berbicara dengan akalku. Jika aku ada dalam hati itu, seharusnya kau tak seperti ini. Untuk lebih menghargai perasaanku, bilakah itu suatu kesalahan? Dan sekarang aku meminta itu, aku menagih janji yang terucap waktu itu.
Hingga akhirnya aku hanya mampu pasrah. Tak mampu lagi bertahan pada egoku. Harus seperti apa aku sekarang? Kau, tetap berucap aku terlalu menggunakan perasaanku. Dan haruskah aku lebih menggunakan akalku? “Ya”. Dan mungkin, ini cara akalmu menyayangiku.
Cinta, haruskah aku berubah bentuk, lagi?

Komentar