KERUKUNAN UMAT BERAGAMA: OASE DI TENGAH MENGERINGNYA CITRA POSITIF DAN NILAI LUHUR BANGSA

Jeritan dan tangisan
Dalam balutan teriakan penuh ambisi
Emosionalitas dan egoisme sebagai penguasa
Suara hati perdamaian seolah tak terdengar
Dan sebagian,
hanya tertunduk malu menyaksikan kejahanaman
Kekerasan dan penindasan
Menyaksikan kebengisan segelintir manusia egois
Membenarkan penindasan,
atas nama kebenaran agama
Haruskah bangsa ini kehilangan mukanya?

Sebuah negeri dengan keanekaragaman penghuninya, suku, agama, dan budaya. Sebuah negeri dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, tetapi menghargai pluralitas, Indonesia.

Indonesia di mata dunia dipandang sebagai negara paling demokratis dalam hal kebebasan beragama. "Unity in Diversity: The Indonesian Model for a Society in which to Live Together", judul pidato dalam seminar internasional yang disampaikan oleh Menteri luar negeri Italia, Franco Frattini dan pendiri Sant’Egidio, Andrea Riccardi. Menjadi yang terbaik dalam hal kerukunan antar umat beragamanya bahkan menjadi laboratorium kerukunan umat beragama dunia. Bagaimana tidak? Di tengah kondisi demografi penduduknya dengan jumlah muslim terbesar di dunia, Indonesia tidak berusaha menempatkan agama islam sebagai landasan negaranya.

Kebebasan beragama dipandang menjadi hak asasi individu yang harus di junjung tinggi dan tak perlu di intervensi. Semula lima agama dan sekarang bertambah menjadi enam agama yang diakui oleh pemerintah. Tak ada paksaan untuk setiap orang harus menganut agama yang mana. Tak ada pula istilah mayoritas maupun minoritas semua hidup bersama dalam keberagaman, berdampingan walau dalam perbedaan.

Menjadi suatu kebanggaan hidup di sebuah negeri yang menjunjung tinggi kebebasan beragama dengan basis kerukunan. Tak ada penindasan untuk agama minoritas dari agama mayoritas, tak ada pula upaya meruntuhkan mayoritas dari mereka yang berada dalam golongan minoritas. Kerukunan pada nyatanya mampu menciptakan sebuah kehidupan yang harmonis. Kerukunan antar umat beragama yang pada akhirnya mampu memberikan citra positif bagi Indonesia di mata dunia internasional. Kekaguman mata dunia tersebut bukan lantaran pemimpin negeri ini yang menciptakan image demokrasi semacam ini, melainkan masyarakat yang menciptakannya sendiri dengan adanya kerukunan yang terjalin, mengesampingkan egoisme untuk saling berebut eksistensi menujukkan kekuatan agamanya masing-masing.

Namun, beberapa waktu lalu muka negeri yang masyur dengan kerukunan dan kebebasan beragamanya ini harus tercoreng oleh tindakan sebagian oknum yang tak mampu menahan egoisme pribadi. Tanpa harus menyebut aliran atau nama agama tertentu, tentunya kita tahu apa yan terjadi dan menjadi topik terhangat di berita nasional. Tragedi Banten dan Temanggung tentu memberikan luka yang mendalam pada kerukunan yang telah menciptakan persatuan yang kuat selama ini. Demikian juga tragedi pertikaian antar dua agama di Bekasi tahun 2010 lalu yang tak segan-segan mengambil korban nyawa dan tragedi pertikaian agama yang lainnya. Ironisme dalam sebuah gelar yang disandang bangsa Indonesia.

Tanpa menunggu lama, wajah Indonesia yang mulanya nampak indah di mata dunia atas kemampuannya mendampingkan beberapa agama di tengah satu agama mayoritas dengan proporsi terbesar di dunia ini mulai dipertanyakan. Masih pantaskah gelar negara paling demokratis dalam kebebasan beragamanya itu diberikan untuk bangsa ini?

Hal tersebut tentunya menegaskan bahwa fondasi sekaligus indikator utama terciptanya demokrasi beragama adalah adanya kerukunan antar umat beragama. Bagaimana bisa menegaskan adanya demokrasi jikalau masih banyak terjadi kerusuhan antar saudara sebangsa dengan alasan pembelaan atas nama kebenaran agama masing-masing. Esensi dari kerukunan umat beragama sendiri sesungguhnya adalah suatu bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta berkat adanya toleransi agama. Sedangkan yang terjadi sekarang ini justru sebuah upaya menciptakan pengakuan atas eksistensi dalam bentuk kekerasan. Apakah hal tersebut masih bisa dikatakan sebagai sebuah toleransi? Tentu saja bukan.
Wajah bangsa Indonesia yang terlihat begitu indah dengan kerukunan yang tercipta nyatanya harus tercoreng hanya karena masalah kekerasan yang dilakukan segelintir manusia yang membenarkan sebuah tindakan anarkisme, seolah ingin saling menunjukkan siapakah yang paling kuat dalam kancah persaingan pencapaian eksistensi suatu agama.
Perpecahan tentunya akan selalu memberikan danpak buruk dalam hal apapun, tak terkecuali perpecahan antar agama. Telah disinggung sebelumnya bahwa Indonesia dengan kerukunan antar umat beragamanya mampu menciptakan harmonisasi kehidupan masyarakatnya dalam perbedaan agama dan keyakinan, tetapi mampu hidup berdampingan. Hal kecil yang tak disadari, tetapi pada akhirnya justru memberikan hadiah terbaik bagi bangsa ini, nama baik di dunia internasional.
Di tengah rusaknya nama Indonesia dengan gelar salah satu negara terkorup di dunia yang memberikan sentimen negatif pada negeri ini, masyarakatnya dengan tindakan nyata justru mampu menciptakan brand image yang baru. Bukan seperti para koruptor yang terang-terangan menunjukkan penghianatan pada bangsanya, masyarakat dengan perwujudan kerukunan umat beragama yang diciptakannya justru mampu menunjukkan arti pahlawan modern yang sesungguhnya. Nama baik di mata dunia selain ketentraman dan kedamaian kehidupan berbangsa adalah yang mereka berikan untuk negeri ini. Bukan kanibalisme terhadap sesamanya dengan mengambil sesuatu yang bukan haknya dengan nama korupsi.
Namun, apa jadinya jikalau kerukunan yang terbentuk dari rasa toleransi antar umat beragama itu mulai tereduksi perlahan? Tentunya harmonisasi yang menciptakan kehidupan yang aman, tenteram, dan damai ini perlahan-lahan pula akan mampu melengserkan tahtanya. Inikah yang benar-benar kita inginkan dari sebuah pembelaan atas nama agama dengan cara yang keliru? Merendahkan martabat bangsa sendiri di mata dunia dan pastinya merendahkan harga diri agama itu sendiri.
Pertikaian, kekerasan, kerusuhan atau apapun itu yang menghancurkan kerukunan antar umat beragama hanya akan memberikan wajah buruk bagi negeri yang kita cintai ini. Wajah negeri yang juga menunjukkan wajah kita sendiri. Tak malukah kita ketika disebut sebagai warga negara dari sebuah negeri yang penuh dengan pertikaian agama? Orang-orang yang tak mau mengakui hak-hak sesamanya ketika dirinya mengaku sebagai manusia beragama, ataukah agama hanya sebagai sebuah nama dan bukan ajaran hidup?
Pertikaian antar agama yang justru hanya akan merusak satu-satunya nama baik yang kita miliki saat ini. Selama ini bangsa ini telah dipermalukan oleh sebagian penghuni-penghuniya yang menciptakan bermacam-macam brand image bagi negeri ini, negara dengan pejabat terkorup, negara dengan kualitas SDM rendah, negara dengan angka kemiskinan tertinggi, atau negara dengan sistem hukum yang masih carut marut. Tentunya kita semua tidak ingin menambahkan negative brand image satu lagi dengan nama negara dengan pertikaian antar agama tertinggi. Sungguh sangat disesalkan ketika nama baik yang paling bisa kita banggakan itu harus kita relakan begitu saja menghilang hanya karena masalah pertikaian agama. Pertikaian karena egoisme segelintir pihak yang menghancurkan nilai-nilai kerukukan umat beragama secara keseluruhan.

Bukan hanya nama baik yang harus kita relakan dengan tereduksinya perwujudan kerukunan antar umat beragama. Lebih dari itu, perpecahan antar saudara juga tercipta disini. Bukan hanya sebatas saudara sebangsa bahkan saudara sedarah tak jarang menjadi korban kekejaman pertikaian antar agama ini. Berapa banyak keluarga yang terpisahkan hanya karena masalah perbedaan agama yang selanjutnya memunculkan fanatisme dari diri mereka masing-masing untuk mengatakan bahwa mereka adalah yang paling benar. Jangan sampai kerusuhan umat beragama juga menimbulkan kanibalisme terhadap sesamanya dengan pencabutan paksa hak-hak umat beragama.Hanya karena keangkuhan, tidak mau menghormati keberadaan agama lain rasa persaudaran yang tercipta tak segan-segan dikorbankan.

Bagaimana nasib para generasi bangsa setelah ini yang masih akrab dengan pelajaran tenggang rasa antar umat beragama di sekolahnya harus memahami fenomena ini? Jangan sampai para generasi penerus bangsa ini akan ikut-ikutan menjadi makhluk fanatik dengan mengesampingkan nilai-nilai toleransi dan hanya mengedepankan egoisme yang pada akhirnya berujung pada anarkisme.

Penolakan terhadap ajaran agama tertentu yang dianggap oleh para oknum pelakunya sebagai wujud untuk menyelamatkan para generasi penerus bangsa justru pada nantinya hanya akan menimbulkan hasil yang sebaliknya. Pertikaian dan kekerasan justru hanya akan menunjukkan ketidakmampuan untuk mereka memahami dan menjalankan apa yang menjadi ajaran agamanya. Kekerasan dan penindasan yang terjadi justru akan menimbulkan kesalahpahaman bagi generasi selanjutnya bahwa kebenaran itu harus diperjuangkan dengan jalan anarkisme dan mengesampingkan hak-hak orang lain. Kekerasan dan pertikaian antar agama pada nantinya akan memberikan benchmark yang buruk dalam kehidupan beragama bagi generasi selanjutnya. Namun, jikalau tidak ada upaya perbaikan, bukan tidak mungkin hal ini akan dianggap sebagai suatu kebenaran karena tak pernah ada yang menyingkirkannya.

Bukan tidak mungkin juga hal tersebut akan menimbulkan lingkaran setan pertikaian antar agama. Dalam artian kekerasan antar agama yang akan terus berulang sebagai efek timbal balik dari pihak yang tertindas dan pembalasan kembali, begitu seterusnya. Lingkaran setan pertikaian antar agama para generasi muda yang juga disebabkan oleh kesalahpahaman atas pandangan yang diciptakan oleh pertikaian agama dari para pendahulunya. Sebuah tidakan sistemik yang tak pernah berakhir dan tak berujung.

Jadi, tak menjadi hal yang mengherankan lagi ketika para calon intelektual dari kampus-kampus justru mulai memperdebatkan esensi agama yang sesungguhnya. Esensi adanya pembelaan yang mengatasnamakan kebenaran suatu agama, menyalahkan ajaran yang lain dan pada akhirnya hanya merusak nilai-nilai kerukunan yang telah tercipta.

Mungkin bukan menjadi hal mudah ketika memaksakan orang-orang yang terlanjur meninggikan egoisme mereka untuk mau lebih mengontrol emosi dan berpandangan lebih luas serta logis, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Kekerasan bukanlah jalan utama untuk menyatakan salah atau benar apalagi ketika dikaitkan dengan hak individu yang dimiliki masing-masing orang. Bukan berarti pula harus mentoleransi semuanya ketika suatu pandangan dan keyakinan itu memberikan banyak mudharat yang jelas bagi banyak orang, tetapi bukan pula dengan cara kekerasan.

Kerukunan sesungguhnya adalah jawaban tentang bagaimana harus menyelesaikan perbedaan pandangan itu sekaligus sebagai hasil. Ketika kerukunan menjadi sebuah tujuan, maka dia menjadi sebuah cara untuk bagaimana menyelesaiakan permasalahan terkait dengan perbedaan pandangan dalam hal kehidupan beragama. Namun, ketika kerukunan itu sebagai perwujudan dalam kehidupan beragama maka saat itulah kerukunan dikatakan sebagai sebuah hasil.

Kerukunan umat beragama sesungguhnya adalah kebanggaan yang patut kita pertahankan di tengah kisruh kehidupan berbangsa yang mulai tak karuan. Korupsi yang tak lagi mengenal tuan, hukum yang semakin amburadul, dan segala jenis permasalahan bangsa lainnya. Kerukunan antar umat beragamalah yang selanjutnya masih bisa menciptakan ketenteraman dan kedamaian hidup terlebih lagi ketika agama adalah suatu hal yang menyangkut pada kehidupan pribadi. Kerukunan beragama bagaikan oase di tengah kesulitan untuk menciptakan nilai positif. Nilai-nilai luhur yang kian hari kian tereduksi.

Hanya kerukunan antar umat beragamalah yang selama ini masih mampu menciptakan brand image yang baik di mata dunia dan kita semua bisa berbangga karenanya. Kerukunan antar beragama yang selama ini menjadi fondasi utama penciptaan hidup yang harmonis di tengah segala macam perbedaan. Kerukunan beragamalah yang mampu menciptakan generasi penerus bangsa yang tetap mewarisi nilai-nilai luhur untuk saling menghormati dan menghargai hak-hak orang lain karena kerukunan yang diciptakan dari kehidupan para pendahulunya.

Jangan biarkan egoisme dan fanatisme yang berlebihan harus memaksa bangsa ini melepaskan perhiasan kebanggaannya. Sebuah harga diri bangsa bernama kerukunan beragama.
Kerukunan tak akan mereduksi keberadaanya,
Secepatnya ia harus dikembalikan
Muka bangsa ini tak akan hilang....

Komentar