"Si Miskin Terselubung", ada di negeri ini


Menyaksikan pidato presiden yang terhormat pagi ini, “ jumlah penduduk miskin di Indonesia tinggal 30 juta orang “. Sungguh suguhan pagi hari yang menyenangkan untuk orang yang masih setengah terkantuk-kantuk. Dan untuk mereka yang sudah bernyawa penuh saat mendengarnya? Ucapan tuan presiden yang terhormat tak lebih dan tak kurang terdengar seperti sebuah lelucon.

Bagaimana tidak? Angka 30 juta penduduk miskin berarti tak lebih dari 13% dari total penduduk Indonesia. Mungkin ini yang beliau minta, “ Sungguh menakjubkan kinerja pemerintah dalam proyek pengentasan kemiskinan di tahun 2011 ini.” Mungkin seperti itu.

Miris. Baru beberapa detik berselang, berpindah channel ke stasiun TV yang lain. Ratusan warga Madiun berdesak-desakkan berebut zakat, ratusan warga di Solo antre sejak pagi di kantor Wali kota untuk pembagian zakat fitrah. Lagi, warga Sumenep, Jawa Timur terjepit saat berebut zakat. Atau, meski menggendong bayi mungil seorang ibu tetap berdesak-desakkan berebut sembako murah. Lagi dan lagi, fenomena ini pun menjadi penghias berita di banyak media setiap harinya. Bukan hanya satu atau dua kota, bukan hanya satu atau dua provinsi di Indonesia. Lebih dari itu, wajah kemiskinan itu semakin nampak di seluruh penjuru negeri ini. Atau, seorang ibu yang menenggak racun serangga karena himpitan ekonomi. Serta yang sangat populer dan menjadi tontonan menarik di sore hari, merasakan hidup menjadi “seorang miskin”. Berusaha mengetuk pintu hati mereka yang ingin berderma.

Dan pagi ini, tuanku presiden yang terhormat dari podium istananya mengeluarkan kata-kata yang menggembirakan itu. Darimana pula asalnya? Kata beliau dari BPS pun Menko Perekonomian yang terhormat berbicara hal yang sama.

Berbicara tentang angka kemiskinan diatas statistik, itu berarti kita berbicara tentang kemiskinan absolut. Kemiskinan yang diukur berdasarkan dengan batas minimal seorang bisa dikatakan memiliki kehidupan yang layak. Untuk yang ditetapkan oleh Bank Dunia, seorang dikatakan miskin apabila memiliki pendapatan kurang dari 2 US $ per hari atau sekitar 16.000 rupiah. Dengan batasan 2 US $ ini, jumlah penduduk miskin di Indonesia ternyata lebih banyak dari yang dikatakan oleh tuanku presiden pagi tadi.

Tentu berbeda, bagaimana tidak jikalau ternyata ukuran kemiskinan absolut yang digunakan oleh BPS pun berbeda dengan yang digunakan oleh Bank Dunia. Menggunakan basis Maret 2010, garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS adalah 211.726 rupiah per kapita per bulan atau bila di ukur dalam US $ adalah 0,75 US $ per kapita per hari. Terlihat selisih yang begitu jauh bukan dengan garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia? Sedangkan tetangga kita seperti Thailand memiliki garis kemiskinan 1,5 US $ per kapita per hari dan Malaysia 2,5 US $ per kapita per hari.

Tak usahlah kita bandingkan dengan negara lain, kita lihat lebih jauh lagi kondisi Indonesia kita tercinta ini lebih dulu. Lebih dari sekedar gap antara garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS dengan apa yang ditetapkan oleh Bank Dunia. Indonesia adalah sebuah negara kepulauan. Kumpulan dari gugusan pulau-pulau yang menyatu dalam satu nama, Indonesia. Hamabatan geografis, kondisi SDA, hingga kualitas SDM yang berbeda-beda untuk setiap wilayahnya menjadikan biaya hidup masyarakatnya pun berbeda pula. Lalu, bagaimana pula garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS sama untuk semua daerah? Apakah bijak menyamakan biaya hidup masyarakat kita di Indonesia bagian timur dengan masyarakat kita di tanah Jawa? Sedang semua mata tahu, faktanya biaya hidup mereka berbeda jauh.

Alhasil, kurang bijaknya dalam penetapan garis kemiskinan ini menjadikan munculnya “ si miskin terselubung di negeri ini”. Mereka yang seharusnya tergolong masyarakat miskin harus rela untuk dinaikkan kelas sosialnya akibat pendapatan per kapita mereka lebih besar dari yang di tetapkan oleh BPS. Jadi, diatas kertas mereka bukan lagi warga miskin sedang kenyataanya? Hidup mereka masih belum layak. Ya, mereka bukan lagi “seorang miskin” diatas kertas. Dan yang terjadi seperti tadi, ratusan warga berdesakan antre pembagian zakat, sembako murah, dan semacamnya.

Atau mungkinkan masyarakat di negeri ini saling berebut untuk mengaku menjadi warga miskin? Fenomena “si miskin terselubung”.

Komentar