Gadis itu, Bukankah itu Bayanganku?





Senja. Aku berjalan menyusuri sebuah jalan kecil yang rasanya aku mengenalnya, bahkan sengat dekat. Rasanya aku pernah melewatinya, entah kapan atau bahkan sering. Aku lupa. Dan yang pasti aku melewatinya sekarang.
Sunyi. Sepertinya hanya suara langkah kakiku dan sayup-sayup angin menggoyangkan dedaunan. Saling menyapa satu sama lain. Hingga aku menemukannya di sudut mataku. Ya, aku melihatnya. Seorang gadis duduk disebuah bangku yang terlihat cukup usang. Menundukkan kepalanya. Secepat detik waktu berlalu, aku menghampirinya. Mungkin aku mengenalnya dan dia bisa membantuku mengingat tempat ini.
Dan benar. Aku mengenalnya. Jelas, tatapan mata itu sungguh aku sangat mengenalinya, bahkan sangat dekat.
Aneh. Gadis itu berlari saat melihatku, sebelum sempat aku menanyakan apapun. Seolah dia takut melihat kedatanganku. Hanya selembar kertas yang tertinggal dibangku usang itu. Pun gadis itu menghilang dengan sangat cepat, seperti angin. Aku tak menemukan bayangannya lagi.
Terusik untukku membaca tulisan dalam selembar kertas yang ditinggalkan gadis itu. Sepertinya sebuah nyanyian hati. Dan ini yang dia dituliskan.

Seolah angin sedang menertawakanku sekarang. Dan aku seperti  duduk ditempat ini sendiri. Esok tadi aku tak duduk disini sendiri. Dia duduk disampingku dan tersenyum padaku hingga aku bisa menyombongkan diriku pada tawa angin menghempas dedaunan disekililingku. Esok tadi aku merasa tempat ini sungguh indah meski telah lama aku berada disini dan duduk dibangku ini. Hingga aku menyadari, ternyata bangku ini telah usang. Sungguh sangat lama.


Dan sekarang aku ingin menceritakan dia yang duduk disampingku tadi pagi. Dia datang dengan langkah kaki yang aku pun terkejut melihatnya. Kenapa dia bisa datang ke tempat ini?  Dia tersenyum seolah mengenaliku dan duduk disampingku. Aku mencoba berbicara padanya dan ya, dia adalah teman bicara yang menyenangkan. Akupun semakin kecanduan untuk berbicara dengannya dan dia selalu mendengarkanku. Dan waktu, seolah hanya ada pada saat ini. Bertahan seperti itu.


Sesekali juga ia berbicara padaku. Dan akupun senang mendengar suaranya.Semakin lama kita saling berbicara, bercerita, rasanya aku semakin mengenali orang disampingku esok tadi. Hingga dua hati yang selanjutnya berbicara, pun angin terdiam. Waktu, tetap seperti itu. Hanya ada pagi yang cerah untuk aku duduk disamping pria itu. Oh ya, dia adalah seorang pria dan aku menyukainya. Dan dia berkata dia juga menyukaiku hingga dia menemaniku duduk ditempat ini.


Hingga aku juga tak ingat lagi berapa lama kita duduk dibangku ini. Sesekali menatap langit untuk kita menuju satu titik yang sama. Tatapan mata yang semakin dalam.
Angin pun mengusik. Entah, atau mungkin karena kita terlalu lama duduk di tempat yang sama dan hanya aku yang selalu berbicara. Jikalau aku terlalu banyak berbicara dengan hati. Karena saat itu dia tersenyum dan aku ingin membuatnya tersenyum. Dan untuk itu aku juga bisa tersenyum. Sedetik waktu berlalu dan aku sadar. 


Pria ini semakin diam. Apa aku yang terlalu membosankan? Tidak, aku masih sama. Bahkan hanya berusaha bagaimana untuk selalu membuatnya tersenyum. Hingga rasanya aneh. Hanya aku.


Aku mencoba diam. Berharap hatinya berbicara dan ini saatnya dia membuatku tersenyum. Sedetik berlalu dia melakukannya dan aku benar-benar tersenyum.


Dan ternyata itu tak lama. Sungguh, sebenarnya aku telah merasakan sebelumnya. Pria itu lebih sering memilih untuk diam. Sedang aku tetap percaya dia akan banyak becerita padaku nanti, hatinya berbicara lebih dari sekarang. Dan aku tetap bertahan untuk duduk disampingnya dan terus berbicara. Lama, rasanya hari akan beranjak senja.


Akupun terkejut. Bukannya alam berjanji untuk membuatnya tetap seperti esok hari jika ada seseorang yang duduk disampingku dan mampu membuatku tersenyum? Ya, janji itu tak akan pernah ingkar.
Dan angin berbisik, nyatanya dia masih diam dan semakin sedikit membuatku tersenyum. Aku berbicara semakin sering atau beberapa detik diam. Mencoba mencari cara paling tepat untuk membuatnya berbicara dan aku akan tersenyum. Gagal. Aku sempat mencoba beranjak, tetap, ini juga tak berhasil. Sedikit berteriak, juga tak bergeming. Hingga rasanya angin mulai bersiap menertawakanku.


Dia tetap duduk, tapi tidak berbicara apapun. Pun aku semakin sulit mendengar hatinya berbicara. Semakin samar. Hingga rasanya aku semakin ketakutan untuk benar-benar tak mendengarnya. Aku bertanya dan jawabnya, masih sama. Sedikit menenangkan.


Lagi, aku semakin terkejut. Senja seolah semakin mendekat. Suara hatinya semakin samar bahkan hampir menghilang. Aku ragu, apakah benar dia masih berbicara?
Aku mulai menggigil ketakutan. Dia yang duduk disampingk, mulai membayang. Tubuhnya  seolah menjadi butiran-butiran pasir yang diterbangkan angin. Dan aku panik. Mungkinkah sebentar lagi dia akan benar-benar menghilang? dan ingin menghilang.
Senja semakin dekat. Langit perlahan mulai gelap. Benar, aku semakin samar melihat dia yang duduk disampingku esok tadi. Aku mencoba menutup mata sesaat untuk ketika aku membukanya lagi kuharap tubuh disampingku itu kembali utuh.


Tidak. Ia kembali menjadi butiran pasir yang perlahan terbang. Semakin tak sempurna, aku tak mampu menyentuhnya. Suara hati itupun semakin tak terdengar. Dan aku, masih tetap berbicara padanya meski aku semakin sedikit. Aku masih menyukainya.
Senja...


Dan aku melihat seorang gadis berjalan kearahku. Sepertinya aku mengenalnya. Semakin dekat. Ya aku mengenalnya.
Angin seolah berbisik untuk mulai menertawakanku. Pun aku tak ingin gadis itu ikut menertawakanku. Dan aku ingin bersembunyi sekarang..........

Benar. Aku semakin yakin aku mengenali gadis yang meninggalkan selembar kertas ini, dan dia juga mengenaliku. Dan aku juga yakin dia mampu membuatku untuk mengingat tempat ini, mengingat bangku usang ini.
Sudut mataku mulai mencari bayangannya. Lama. Hingga akhirnya aku melihatnya lagi dibalik tiupan angin. Gadis itu, aku mengenalinya. Bukankah itu bayanganku?

Komentar