Resah, dan aku memutuskan untuk masih duduk disini.
Menyandarkan diri pada sebatang pohon, aku belum lelah.
Dan aku melihat
sehelai daun gugur. Sehelai daun gugur yang diterbangkan angin jauh dari
ranting yang menjatuhkannya.
Haha, bukan angin. Justru ranting itu yang menggoyangkan
dirinya sendiri agar sehelai daun itu terhempas jauh. Ia tak lagi mencintainya.
Buat apa merela sehelai daun bersandar jikalau “aku tak lagi menginginkanmu,
hanya menjadi beban.” Pun ranting menggugurkan daunnya.
Angin menerbangkan sehelai daun gugur itu hingga
kehadapanku. Aku mengambilnya. Dan mengapa sehelai daun ini nampak lemah?
Bilakah ia sangat mencintai rantingnya?
Ya, angin berbisik padaku seperti itu. Sehelai daun gugur
ingin tetap bersandar. Pun rantingnya tak lagi ingin. Kata angin, rasa itu tak
lagi ada. Hanya sehelai daun mengiba? Itu tak mungkin. Bukan sepihak. Ini soal
ingin yang harus juga ada pada rantingnya. Nyatanya tidak. Puputan.
Goresan wajah sehelai daun gugur. Betapa ia ingin berkata, “aku
menyayangi rantingku, pun dia sekarang menggugurkanku dan memaksaku,jauh”.
Masih, sehelai daun gugur dengan kesah. “Bilakah aku ingin tetap bersandar,
rantingku tak lagi ingin. Aku tak lagi indah.” Sehelai daun gugur dengan
sedikit asa tersisa,”bolehkah aku untuk tidak menyerah?”
Haha, aku ingin sedikit tertawa. Meski perih. Sehelai daun
gugur yang tersia oleh rantingnya dan masih tak ingin menyerah. Pun aku harus
menjawab seperti apa? Hanya memandang sehelai daun kering yang masih menatap
rantingya. Dari jauh.
Pun aku tersenyum perih. Bilakah aku mampu menjawab tanya
sehelai daun gugur jikalau itu suara hatiku sendiri. Haha. Mungkin angin bisa
sedikit berbisik.
Dan aku, sehelai daun gugur. Masih seperti dulu. “Bolehkah
aku untuk tidak menyerah?”
galau banget tulisan yg ini haha,
BalasHapusi'd like it
BalasHapus