Dan jutaan pasang mata itu melihat seorang anak kecil menghampirinya. Pria itu, sedang duduk di kursi goyangnya, hampir tertidur. Si anak kecil berkulit hitam dan berambut keriting itu menghampiri “dia”, yang sedang duduk dikursi goyangnya. Dan jutaan pasang mata itu melihatnya, anak kecil hitam berambut keriting muram, menggenggam secarik kertas lusuh dengan nafas terengah-engah. Sepertinya ia datang dari jauh. Mungkin dari negeri seberang lautan.
Dia, yang
masih duduk dikursi goyangnya pun terkejut. Dan ini adalah dialog diantara keduanya.
Si anak kecil hitam berambut keriting dengan pria itu masih tetap diatas kursi
goyangnya dan berusaha menjaga iramanya.
“ Siapa kau,
sepertinya kau bukan dari negeri ini, tapi rasanya pun aku sangat mengenalmu,
tapi aku tak ingat” Pria paruh baya itu mengerutkan dahinya. Terkejut, dan
sejenak mengingat.
“ Aku?
memang aku bukan berasal dari negeri ini. Di seberang lautan itu, itulah
negeriku. Kata orang pintar, negeriku itu kaya. Kata orang pintar, negeriku itu
indah, unik, juga eksotik. Kata orang pintar, negeriku adalah negeri emas. Dan mereka
orang-orang pintar, silih berganti datang dan tinggal di negeriku, mengambil
milik kami.”
“ Lalu,
untuk apa kau datang kesini?”
“ Apa kau
benar-benar tak ingat siapa aku?” wajah si anak kecil itu semakin muram.
“Mungkin aku
sedikit lupa, usiaku tak lagi muda. Katakanlah untuk apa kau datang kemari? Mengganggu
tidur siangku,” pria diatas kursi goyangnya masih tak ingat.
“Baiklah Tuan,
jikalau kau memang tak mengingatku. Aku datang untuk mengantar sepucuk surat
dari negeriku. Dan haruskah aku membacakannya untukmu, Tuan?”
“Ya,tentu
saja.”
Dan suara si
anak kecil hitam berambut keriting itu mengalun bagai nyanyian hati, membacakan
sepucuk surat lusuh yang mungkin telah lama disimpan.
Dari kami saudaramu di negeri seberang lautan,
Dan
ini surat kami, si anak kecil dari negeri seberang lautan, negeri emas . Dari
kami yang berkulit hitam dan berambut keriting,
miskin dan penyakitan. Dan bukankah kita
masih satu “ibu”? Kau, kata “ibu” kau pemimpin kami. Dan bukankah “ibu” memilihmu untuk juga memperhatikan kami? Bukan
cuma untukmu sendiri, kaum sejenismu, atau mereka yang tinggal di negerimu. Jujur,
kami iri dengan mereka. Mereka yang kebetulan tinggal bersamamu, mereka kaya
dan kami miskin. Bukankah “ibu” memilihmu juga untuk melindungi hak-hak kami?
Atau kau anggap kami bukan lagi “seibu”?
Dan
hei kau, kami sudah malas memanggilmu dengan penuh rasa hormat saat ini. Biarlah
kami mengacau dan ini adalah ekspresi ketidakpuasan kami padamu.
Ya,
kau membiarkan kami terpelihara bodoh, kau biarkan kami terpelihara melarat,
dan kau juga biarkan kami terpelihara sakit-sakitan. Tapi, bukan berarti kami
tak tahu apa-apa. Enak saja, kami juga tak mau tinggal diam.
Hei
kau, kami tahu negeri kami ini kaya. Kami tahu negeri kami ini adalah negeri
emas. Siapa yang memiliki kekayaan laut yang tak tertandingi? dan itu kami. Siapa yang memiliki anugerah
alam yang sangat eksotis? Itu juga kami. Dan siapa yang memiliki ragam budaya
yang mata dunia pun selalu berdecak kagum? Itu masih kami.
Dan
kenyataanya, sampai saat ini kami tetap miskin. Ya, kau membiarkan orang-orang
pintar dari antah berantah itu datang dan tinggal di negeri kami. Mengambil
milik kami dan kami dijadikan budak. Bukankan itu supaya kami tetap bodoh dan
mereka dapat selamanya membodohi kami?
Hei
kau, kenapa kau tetap diam melihat saudara “seibu”mu diperlalukan seperti ini? Dan
apa yang sedang kau lakukan sekarang? Tidur siang disinggasanamu? atau sarapan roti dengan secangkir kopi
termahal?
Hei
kau, kami juga menyumbang untuk secangkir kopi pagimu itu.
Dan
ini, sepucuk surat singkat yang kami kirimkan untuk mungkin sekedar
mengingatkanmu, kami masih saudara “seibu”mu, lihatlah kami, dan berikanlah
kami keadilan seperti yang seharusnya kami dapatkan. Dan sekarang, jikalau kau
sedang melihat kami ingin berperang, memerangimu. Bukan, bukan kami ingin
menghianati saudara kami sendiri. Ini hanya luapan kemarahan kami, untuk kami
yang dari generasi kau dan sebelum kau, kami masih miskin, kami masih bodoh, dan
kami masih terpinggirkan.
Sedang
kami punya semuanya. Di seberang laut itu negeri tempat tinggal kami, negeri
emas, dengan sejuta peradaban, negeri
yang eksotis. Jikalau kau inginkan kami masih menjadi bagian dari kau
dan yang lainnya, saudara kita. Berikanlah keadilan itu untuk kami.
Dan
jika kami sekarang mengacau, kau semakin membuat kami seperti musuh.
Sedikit
saja ini, semoga kau mengingat kami sekarang. Saudara “seibu”mu dari negeri
seberang lautan, negeri emas.
“ apa kau sudah mengingatku tuan?” tanya si
anak kecil pada pria itu.
“ ya sekarang aku mengingatmu. Pulanglah, dan
katakan pada kawan-kawanmu, pesan itu sudah aku terima dan aku akan memikirkan apa
yang baik untuk kalian.”
Dan jutaan pasang mata itu, melihat si pria
yang mulai kepanasan diatas kursi goyangnya. Memanggil bala tentaranya dan
menyiapkan kertas putih tanda dia akan membuat sebuah petisi. Dan benar, petisi
itu untuk saudaranya di negeri seberang lautan, negeri emas itu. Pun jutaan pasang
mata itu menunggu akan seperti apa hasil dari petisi yang dia keluarkan.
Si anak kecil hitam berambut keriting pun
pulang dengan wajah yang masih murung, karena dia tahu, saudaranya di negeri
seberang lautan sana masih berperang.
Komentar
Posting Komentar