Ibu rasanya lama aku tak berkirim surat cinta
untukmu. Hanya berkirim kabar lara.
Kau masih ada, justru sesekali aku berlaku seolah kau
sudah tak ada.
Jangan, aku ingin kau selamanya ada. Sampai aku
lenyap suatu saaat nanti dan baru saat itu aku akan ikhlas jika kau tak ada.
Ibu rasanya lama aku tak berkirim surat cinta
untukmu. Hanya sepatah kata maaf.
Berlaku seolah melakukan kesalahan besar dan kau akan
memarahiku. Untuk mengurangi sedikit rasa bersalahku. Nyatanya justru pujian
yang kau ucapkan. Akan mimpi dan keberanianku. Aku semakin menyesal. Aku
semakin mencitaimu.
Ibu rasanya lama aku tak berkirim surat cinta
untukmu. Hanya berkeluh kesah.
Sedikit mengungkit kesalahan masa lalu, melibatkanmu
sebagai pihak yang bertanggung jawab. Untuk memberiku rasa pantas kau akan
memelukku dengan belas kasihan. Tidak, nyatanya kau memelukku dengan cinta.
Bukan untuk belas kasihan apapun. Selamanya untuk rasa cinta tulusmu padaku.
Ibu rasanya lama aku tak berkirim surat cinta
untukmu. Hanya mengumpat.
Seolah seluruh dunia sedang menyalahkanku.
Mengintimidasi, merendahkan, dan membuatku terpuruk. Dan benar, kau sangat
percaya pada ucapanku. Tak pernah berubah, kau tetap percaya padaku sepenuhnya.
Menguatkanku dan mengatakan jikalau mereka bohong. Justru aku yang memberimu
kebohongan. Maafkan aku.
Ibu, hari ini aku ingin berkirim surat cinta untukmu.
Hanya sebuah kalimat yang tak akan pernah hilang oleh apapun dan sampai
kapanpun.
“Aku mencintaimu, Ibu”
Komentar
Posting Komentar