CERITA TENTANG MAKAN MALAM

Jikalau kesombongan boleh bertahta padaku hari ini. Pun aku akan menyalahkan telingaku. Bukankah sejauh ini memang selalu seperti itu? Aku bukan menyalahkan  diriku. Haha, itu hanya untuk menertawai diri sendiri sesekali. Sedangkan apapun itu, bentuk sesal selalu kutimpakan pada diriku sendiri. Hari ini aku akan bercerita tentang aku yang menyalahkan telingaku.
Balada aku yang menyalahkan telingaku karena aku sangat mempercayai telingaku. Oh ya, bukan hanya balada aku dengan telingaku, pun balada aku dengan mataku. Dan akhirnya, balada aku dengan akalku.
Suatu sore aku memiliki tiga pilihan untuk makan malamku. Tiga jenis makanan yang sejujurnya tak pernah kurasakan sebelumnya. Ya, boleh kukatakan memang aku tak menyukai ketiganya. Namun, aku tertarik dengan salah satu makanan yang kata orang “menyehatkan”. Aku mendekat ke piring makanan yang kupikir akan memberiku lebih banyak manfaat, katanya. Sesuai apa yang kudengar. Dalam tatapan mataku pun tampilannya tidak begitu buruk. Melangkah maju. Mengulurkan tanganku. Nyatanya baunya tak seenak tampilan dan kedengarannya. Pun aku menjadi tak berselera. Mundur, dan  orang lain mengambilnya.
Melihat makanan  yang kedua. Sungguh, kata orang itu makanan yang hanya akan membuatku alergi. Atau mungkin memicu sakit perut yang entah berapa lama aku harus bersemedi di kamar mandi. Tidak! Aku mempercayai sepenuhnya telingaku. Membuatku mawas diri dan aku cukup takut. Jangankan untuk melangkah maju mendekati piring ia ditahtakan, mempertimbangkannya saja aku sudah tak ingin. Aku juga percaya pada mataku. Tampaknya memang makanan itu tak akan membuatku kenyang sekalipun hanya membuatku berselera makan. Spontan aku berteriak tidak! Menutup telingaku dan memejamkan mataku. Menumpahkannya, selesai. Bukan pilihan lagi.
Dan tersisa satu pilihan makan malamku. Ini pilihan terakhir. Aku tak bisa bertahtakan kesombongan lagi untuk tidak memiliki makan malam. Pun aku memutuskan maju, mengulurkan tangan. Sejujurnya aku juga sudah melangkah maju untuk piring kedua, aku sedikit tertarik. Hanya saja kudengar banyak orang berkata jangan. Pun aku berpura-pura tak mempertimbangkan untuk mengambilnya sama sekali.
Kembali pada pilihan terakhirku. Aku mendekatinya dan mencoba untuk mencicipinya. Tak enak aku dengan tatapan mata dan cibiran orang jika pada pilihan ketiga inipun aku masih tak bergeming. Meski, jujur dalam keinginan aku tak punya selera untuk mencicipinya. Bukan karna mataku melihat ini terlalu buruk, hanya aja aku memang sungguh tak berselera dengan pilihan makanan terakhirku. Rasanya juga tak buruk. Ya, aku akan selalu mencari kekurangan-kekurangan dari setiap rasa walau hanya kecil. Aku selalu seperti itu. Dan aku menemukannya. Tertawa, berteriak, dan membenarkan diri untuk tidak memilihnya. Yang kudengar sebelumnya pun sebagian berkata makanan itu tak cocok untukku. Tak enak. Kupercayakan pada mata, telinga, dan akalku yang mengajukan keputusan terakhir.
Sejujurnya masih ada satu makanan. Yang mungkin sudah sejak sore tadi. Hanya saja aku tak pernah melihatnya sebagai suatu pilihan. Lagi,aku berteman dengan kesombongan malamku. Semu.
Dan balada aku dengan telingaku, mataku, serta akalku. Aku memutuskan tak memiliki makan malam. Mungkin hanya menunggu sarapan esok hari. Jika diri-Nya memberiku pilihan makanan lagi dan aku akan lebih bersyukur jika memang makanan yang aku inginkan.
Tanpa makan malam apapun dan aku menyalahkan telingaku. Ya, dia yang paling mempengaruhi akalku pun bisa merubah cara pandangku. Mungkin aku menyesal? Belum. Masih mencari pembenaran dengan menimpakan kesalahan pada bukan diriku.

Dan sekarang aku hanya berdiri kaku. Memikirkan kembali apa yang sudah kulakukan. Apakah seharusnya aku tak menumpahkan makanan keduaku? 

Komentar