Cerita Dalam Kepalaku...



Gelap, hari telah beranjak malam. Sayup-sayup kulangkahkan kakiku menyusuri jalanan kecil. Aku tau tempat yang ingin kutuju. Disana, menunggu kereta menjemputku. Pulang ke rumah tumpangan sementara waktu.

Sunyi, hanya suara langkah kakiku sendiri sesekali terdengar pelan. Larut dalam buaian suasana malam yang sudah berulang kali kuceritakan aku sangat menyukainya. Tak banyak hiruk pikuk, gelap, dan penuh kejujuran. Aku bisa menyembunyikan wajahku kepada siapapun yang kumau, dalam gelap aku bisa bersembunyi. Aku juga bisa diam selama apapun yang kumau, dalam hening sedikit suara akan jelas terdengar. Lebih baik diam. Dan aku bisa berucap jujur pun menanggalkan topeng, mereka semua sedang tidur.

Masih berjalan pelan, seolah memang ingin menikmati waktu. Aku tak peduli jika kereta nanti tak akan menungguku. Hanya ingin menikmati waktu sekarang. Berharap jalanan ini teramat panjang dan aku akan berjalan hingga pagi menjelang. Hatiku berpuisi. 

Hatiku berpuisi dan sepertinya aku mendengar suara langkah kaki, angin. Kupikir ini adalah cara untuk menikmati malam yang sempurna. Meski ia hanya bisa diam, atau sesekali berbisik tatkala menghempas dedaunan. Berjalan dalam diam berteman angin.
"Aku menunggumu," aku hanya berbisik dalam kepalaku.
 
Aku senang bertemankan angin. Sesaat membawaku lupa, membuai. Meski waktu itu ia pernah berubah wujud menjadi badai. Jika hakikatnya ia adalah angin yang selalu menjadi teman terbaikku, aku hanya percaya ia akan kembali. Begitu juga yang ada dikepalaku saat ini.

Kenapa jalanan ini terlalu pendek untuk langkah kakiku yang pelan? Aku masih memasang kedua telingaku dan hempasan angin sudah tak terdengar. Aku mencari.
"Tidak,"lagi-lagi aku hanya berteriak dalam hatiku. Siapapun tak akan pernah mendengar hanya aku sendiri berpuisi dalam hati.
Mungkin jika aku bersuara, aku tak akan mampu mengendalikan diri sendiri dan ini yang harus aku lakukan.
Mengambil kendali.

Duduk di peron stasiunku aku kembali berpuisi dalam hati,,

Aku hanya memegang janji takdir
Aku bukan seorang pemberani
Jikalau aku hanya bisa berpuisi dalam hati seperti ini
Aku tidak akan menangis
Meski ini hanya akan menjadi puisi yang kubawa mati

Aku hanya memegang harapan dalam doa
Sejauh aku tak tahan dengan gelak tawa mereka
Hanya menyebut dalam doa
Semoga harapan akan menjadi nyata
Jika tidak? 
Aku akan terima, 
Imbalan seorang penakut

Aku hanya bisa seperti ini menunggu
Mungkin keretaku akan segera menghampiri,
Dan aku akan melihat sebuah senyuman
"Hei, kau datang?"
berbalas


Masih duduk di peron stasiunku. Aku memejamkan mata berharap angin setidaknya mengucap salam perpisahan hari ini. Justru, aku yang mengantarnya menghempas pergi. Aku tau dimana seharusnya ia ingin berlabuh. 

Dan akhirnya keretaku datang. Memasuki pintu keretaku, aku harus pulang pada tempatku yang seharusnya.
"Selamat malam, aku hanya menunggu kau bernyanyi riang," aku masih berucap di dalam kepalaku.

"Tunggu, bolehkah esok hari aku melihatmu lagi? Mungkin hanya untuk melepas rindu"

Komentar