Cerita Dari Ujung Pulau Rawa


Disebuah negara, lebih sempit lagi di sebuah provinsi di ujung pulau Rawa, Santen. Santen? semacam bahasa jawa yang berarti santan. Lupakan, memang itu latar tempat untuk cerita kali ini. 

Cerita 1:

Perkenalkan, namaku Rossa kependekan dari Rosadah. Dan itu, anak kecil kurus yang duduk bergelantungan pada sebuah kain adalah anakku. Hadi, ya anakku satu-satunya dan temanku satu-satunya di bilik bambu tua ini. Bapak Hadi sudah meninggal. Tenang saja, dia bukan meninggal karena malu memiliki anak seperti Hadi yang hanya bisa duduk membungkuk di sebuah kain yang sudah ia ikatkan di atap rumah reot ini sejak enam tahun yang lalu. Takdir berkata memang ia harus kembali pada Sang Pencipta.

Tapi aku agaknya tak terima jika apa yang terjadi pada Hadiku ini adalah sebuah takdir. Mungkin ini keegoisanku sebagai seorang ibu. Tak pernah habis air mataku saat aku memikirkan nasib Hadi di malam hari. Akan jadi apa anak itu jikalau aku mati? Apakah dia akan tetap duduk seperti itu sepanjang hidupnya sepeninggalku? Meski aku tahu kain itu tak akan pernah putus. Tak akan putus menopang anak manusia seberat 7 kilogram meski kini usianya sudah 6 tahun. Dan karena itulah anakku itu bahkan belum pernah merasakan nikmatnya berjalan. Bahkan sekedar berpegang pada tanganku atau aku memapahnya dan ia bisa melangkahkan kakinya di lantai tanah rumah kami pun belum pernah. Badannya layu.

Setiap hari hanya seperti ini, menungguku pulang bekerja serabutan, Hadi memandangi daun pintu dan duduk di ayunan kain. Bukan pintu jati, hanya papan yang sudah hampir habis dimakan rayap. Kerja serabutan yang aku lakukan itupun hanya sebatas mengambil hasil ladang milik orang, menjualkannya dan aku akan di beri upah ala kadarnya. Tetangga-tetangga di sekitarku juga hanya bernasib sedikit lebih baik dariku. Jadi, aku tak bisa bekerja sebagai buruh cuci-setrika ataupun pengasuh anak. Tentang anakku, dia selalu menungguku dengan sahabat kain tuanya lagi. Jika aku bisa pulang membawa uang, akan sedikit berkurang rasa bersalahku pada Hadi. Aku bisa menyuapinya dengan nasi.

Apa yang terjadi pada Hadi mungkin ini adalah kesalahanku. Karena ketidakmampuanku untuk mencari uang sehingga Hadi hanya bisa makan nasi sekali sehari, itu pun tidak setiap hari. Jangankan membelikannya susu? untuk sekedar ikan asin agar Hadi paling tidak merasakan ada rasa asin pada makanan yang kusuapkan pun aku tak mampu. Aku janda, harus meminta bantuan kepada siapa lagi? aku tak punya lengan lain untuk bertumpu. Ya biarlah, ku suapi saja Hadi dengan nasi tanpa lauk dan jika aku tak bisa membeli beras, kusuapi anakku ini dengan nasi aking. Tentu saja anakku ini bukan binatang ternak, hei dia manusia dia malaikat kecilku.Tapi apa boleh buat jika aku hanya bisa membeli nasi basi kering milik tetangga?

Aku makan apa? tak apa aku makan dua hari sekali. Menyuapkan nasi dari tanganku ke mulut Hadi sudah membuatku kenyang sampai esok hari. Aku hanya merasa lapar jika aku bisa pulang membawa makanan untuk kami berdua. Ingin sekali aku meminta bantuan pada Pak Lurah. Kata tetanggaku presiden memberikan uang pada orang-orang sepertiku sebesar tiga ratus rupiah tiap tiga bulan, tapi aku tidak dapat. Kenapa Pak Lurah pilih kasih seperti ini? Pernah, aku menggendong Hadi yang hanya seberat 6 kilogram dibandingkan aku yang memiliki berat 30 kilogram, menyeberang sungai tanpa jembatan berjalan kaki puluhan kilo di jalan tanpa aspal. Hanya bantuan ala kadarnya dari puskesmas. Hadi tetap seperti seonggok tulang yang hanya bisa berkedip dan menangis, Hadiku tetap tidak bisa berjalan.

Aku juga tak punya TV, selain Pak RT dan Pak Lurah yang rumahnya sangat besar itu aku tak tahu harus meminta bantuan pada siapa, alih-alih mengumpat. Masya Allah, tidak. Yang sekarang diributkan tetangga-tetanggaku pun aku tak pernah melihat rupanya. Katanya itu Gubernurku yang sekarang sering muncul di TV, heboh katanya. Aku hanya bisa melihat Hadi. Dimataku setiap waktu hanya ada Hadi, dipikiranku juga hanya Hadi. Hadiku yang karena kemalangannya lahir dari bapak dan ibu semiskin ini, ia kini tak bisa berjalan. Karena kurang makan. Bukan aku tak mau berusaha, tapi memang tak ada yang bisa kuusahakan lagi. Ladang atau keahlian aku tak punya.

Syukurlah, nasi sisa kemarin yang tak jadi kumakan bisa aku gunakan untuk menyuapi Hadi hari ini. "Malaikatku, tadi malam ibu bermimpi kau bisa berjalan dan makan sepiring nasi hangat dengan tempe-tahu dan ikan asin nak". 

Cerita 2:

Perkenalkan namaku Putut, kependekan dari Putri Catut. Apakah aku tukang catut? haha, nilai saja sendiri. Dan itu, yang sekarang sering muncul di TV adalah adikku. Hebat bukan? Mobilnya banyak. Uangnya juga sangat banyak  karenya perusahaannya bukan hanya satu atau dua, lebih dari itu. Tentu saja aku sangat bangga. Makanya, kebanyakan proyek di kantorku lebih baik kuberikan padanya. Terjamin.

Bukan hanya adikku,adik iparku, ibu tiriku, dan anak-anakku semua punya pangkat, derajat, dan pastinya uang yang juga sangat banyak. Tak percaya? liat ini. Ini adalah daftar perusahaan-perusahaan yang dimiliki keluarga besarku. Ada yang milik anak-anakku, suamiku, ibuku, bapakku, dan adik-adikku. Sungguh ini sangat membantu pekerjaanku. Aku tak perlu susah-susah menyeleksi puluhan perusahaan untuk proyek-proyek yang harus aku selesaikan. Aku bekerja dengan uang rakyat tentu aku tak boleh membuang-buang waktu bukan? Menggunakan aset-aset keluargaku tentu akan menghemat waktu dan aku bisa mengerjakan pekerjaan lain.

Pekerjaan lain? Ya, aku harus memiliki pemimpin-peminpin untuk jabatan di bawahku. Daripada aku harus bekerja sama dan berkoordinasi dengan orang baru yang entah aku tak tahu bagaimana sifatnya tentu aku memilih bekerja dengan keluargaku sendiri bukan? Ya kalau toh rakyat tidak mau memilih keluargaku bagaimana caranyalah biar mereka tetap terpilih. Jangan menutup mata, uang sekarang sudah bisa berbicara. Hasil pemilu ditolak, hakim bertindak. Kan enak kalau kerja dengan keluarga sendiri. Sambil makan bersama di hari minggu sambil ngobrol soal proyek ribuan juta. Mau meniruku? ajak si hakim nonton Formula-1, ngopi-ngopi santai dan jangan lupa titipkan uang saku sebelum dia pulang.

Waduh,si hakim tertangkap aku pun ikut terjerat! Seperti jaman kerajaan dulu, dinastiku mulai di geledah. Sejujurnya tak banyak yang tahu sebelumnya jika lingkaran kekuasaanku seindah ini. Bagaimana tidak? hemat waktu, kerja sama yang mudah, dan uang yang semakin banyak bisa kudapatkan dengan sistem kerja dinasti semacam ini. Kupikir mereka hanya iri, jikalau seorang perempuan paruh baya saja bisa memiliki kekuasaan sehebat ini sedangkan banyak orang-orang berotak cerdas di luar sana mungkin hanya berangkat kerja pagi pulang petang dengan pendapatan yang tak seberapa. Hei, jangan iri dengan kesuksesan orang lain, itu yang sebenarnya ingin kukatakan lewat media.

Sekarang yang mereka bilang dinasti putut sudah terbongkar, menjadi gunjingan bahkan hujatan di kalangan rakyat. Aib-aib kecil pun mulai di bongkar dan dilemparkan kepadaku. Bayi-bayi yang kurang makan dan tinggal tulang belulang? Jembatan roboh ditengah kali berarus besar, kenapa harus ada anak-anak kecil yang nekat menyeberang untuk pergi bersekolah? Menjadikan aku mulai di hujat saja. Katanya tak becuslah aku bekerja. Baru sekarang semua yang tak aku pikirkan itu jadi berita di semua media. Nasib orang-orang miskin yang hanya menjadi selingan. Ya, kan tujuanku bekerja tentu untuk mencari uang bukan? Dan sekarang uangku banyak. Silahkan saja mengusikku, toh nanti semua akan selesai sendiri dengan uang.

Apa? Hadi si anak kurang makan? Siapa dia? Memangnya dia tinggal di wilayah kekuasaanku? Ah! Biar kuurus dulu keselamatan dinastiku. Baru nanti, kupertimbangkan soal menolong si Hadi itu. Hadi, busung lapar, jalan rusak, atau yang lainnya nanti sajalah itu!


Komentar