Es Krim dan Dua Bocah Kecil



Udara terasa sangat panas. Mungkin matahari berada tepat diatas kepalaku atau bahkan ia juga berjalan mengikutiku? Jadilah, sebuah toko kelontong modern yang semakin menjamur di sini menjadi incaran kakiku menuju. Kuharap akan ada yang bisa membasahi kerongkongan dan mendinginkannya secepat mungkin. Memang benar, tidak susah mencari yang seperti itu di toko ini. Justru, ada benda kecil menggiurkan lainnya yang menggodaku. Es krim.

Tak elok jika aku memakan es krim yang berhasil merayuku sambil tetap berjalan kaki dan aku memutuskan duduk di sebuah bangku. Hari yang sempurna dengan panganan lembut ini menyentuh mulutku. Kulupakan sejenak terik mentari yang begitu menyengat dan seolah angin mulai berhembus memainkan kerudung hijauku. Tunggu, aku juga menemukan dua anak kecil  di sudut pandanganku. Bocah laki-laki dan perempuan berbagi es krim yang sama. Dari hasil ketajaman kupingku dan entah bisikan dari siapa aku tahu mereka adalah sepasang teman. Sungguh terlihat sangat lucu dan menggemaskan, mengingatkanku pada hari kemarin.

Dua bocah berbagi "es krim", berbagi tawa. Jika aku adalah kedua bocah kecil itu, kebahagiaan adalah mendapatkan es krim cokelat di siang hari yang sepanas ini dan tidak membaginya dengan siapapun. Dan dua bocah itu nyatanya sedang berbagi "es krim", terlihat begitu gembira. Mereka saling menertawai mulut masing-masing yang menyisakan bekas cokelat dan kembali berebut untuk siapa yang lebih dulu menikmati gigitan es krim berikutnya. Sedikit keributan kecil rasanya wajar untuk dua bocah yang berbagi "es krim". Sepersekian menit keduanya kembali melemparkan senyum setulus cinta satu sama lain. Jika kedua bocah adalah sepasang teman.

Dan entah, itu kesalahan siapa "es krim" yang tersisa terlepas dari genggaman si bocah laki-laki, meleleh bersama tanah yang mungkin suhunya sudah semakin memanas. Keduanya saling berpandang, hanya diam. Ternyata bukan diam untuk merelakan jika "es krim" mereka sudah berakhir. Si bocah perempuan menangis pelan, mungkin malu jika ia berteriak dan orang akan menghampirinya, si bocah perempuan hanya menangis terisak. 
"Kamu yang salah! Kenapa kamu tidak memegangnya dengan benar dan justru menjatuhkan "es krim"-nya?" teriak si bocah perempuan dengan kesal.
"Aku hanya ingin mendekatkannya ke arahmu, tapi ternyata pegangannya justru terlepas," bela si bocah laki-laki yang memandangi teman dan "es krim" yang meleleh dengan bentuknya masing-masing.
Si bocah perempuan terus menangis dan menundukkan kepalanya, seolah enggan melihat si bocah laki-laki yang seketika berubah menjadi penjahat untuk "es krim" yang terjatuh.

Si bocah laki-laki masih berjongkok di depan si bocah perempuan yang masih menundukkan kepalanya. Beberapa saat, hingga mungkin si bocah laki-laki sudah kelelahan berjongkok selama itu dan ia berdiri. Berjalan meninggalkan si  bocah perempuan yang mungkin tak tahu kalau bocah laki-laki yang sedang menjadi penjahat di matanya detik ini sudah tidak dihadapannya lagi. Yang sedari tadi mengusap-usap rambut bayinya untuk tidak menangis. Berjalan pergi, si bocah laki-laki melambai dalam diam. Mencari teman bermain yang lain.

Si bocah perempuan menegakkan kepalanya dan mengulurkan tangan seolah ingin menggapai tangan seorang yang dipikirnya masih ada. Kosong, hanya selongsong angin yang tergapai dan si bocah perempuan terjatuh tertunduk. Bukan berhenti, justru isak tangisnya semakin menjadi. Lebih, tatapan matanya mengutarakan kesedihan yang sebenar-benarnya. Bukan lagi menangisi "es krim" yang mungkin dia bisa mendapatkannya lagi nanti dan kembali memakannya bersama si bocah laki-laki. Tapi, si bocah laki-laki itu sudah tidak ada di hadapannya lagi sekarang.

Si bocah perempuan mencoba berdiri meski tetap menangis terisak perlahan dan ia berjalan mengikuti jejak kaki si bocah laki-laki yang masih tertinggal. Langkah kaki si bocah perempuan seolah ingin mengatakan bahwa tak apa jikalau hanya "es krim" yang terjatuh asalkan kau tidak berjalan pergi. Berjalan mencari dimana si bocah laki-lakinya sekarang, si bocah perempuan terlihat sangat menyesal. Kesedihan setulus cinta.

Memandangi dua bocah kecil yang berbagi "es krim" ternyata aku sudah menghabiskan tiga perempat es krimku sendiri. Kembali menyadarkanku bahwa mentari berjalan mengikutiku aku memilih untuk kembali melanjutkan berjalan kaki. Menyisakan sepotong kecil ujung es krim di genggaman tangan dan aku menghapus gambaran kisah dua bocah dari sudut kepalaku. 

Tunggu, itu kan si bocah kecil laki-laki. Aku melihatnya di sudut mataku, aku mengikuti di belakangnya. Isak tangisku hanya sedikit tersisa berganti rasa perih yang entah kudapatkan dari mana. Aku mengikuti jejak kakinya, dibelakangnya, dan dia sedang bermain dengan seorang teman. Tidak apa-apa, aku masih bisa memperhatikannya dari belakang.



Komentar