Mengumpat Tanpa Nama



Memungut kepingan cerita beranjak senja di suatu hari itu. Aku tak ingin menoleh ke belakang karena aku tau jarakmu sudah begitu jauh. Aku membisu tuk berucap "sampai jumpa" karena aku mendengar kau membisikkanku "selamat tinggal". Muram, semoga kau tak mengenalinya, aku beranjak pada mesin pengejar waktu. Ijinkan sedetik aku menoleh, mencetak bayangan terakhir.

Mengenali sendu di suatu hari itu aku memilih untuk bertopengkan senyum hari sekarang. Kupungut topeng yang sudah ingin aku tanggalkan dan lebih baik aku seperti itu. Kau hanya menyukai aku yang seperti itu, atau memang hakikatnya kau memang tak pernah menyukaiku? Aku hanya bisa berspekulasi dengan teoriku sendiri. Aku melihat sorot matamu dan tak ada bayanganku.

Aku berjalan di belakangmu di suatu hari, dan kau tak melihatku. Ya, aku tak berani lagi berjalan di sampingmu karena kau tak pernah lagi berjalan disampingku sekarang. Aku cukup berterima kasih kau tak melihatku mengikutimu dan aku mencoba mendengar suara hati dalam deru langkah kaki pun jejak kaki yang tertinggal. Jelas aku tak menemukan aku disana, sekalipun hanya nama. Secepat angin menghempas butiran debu, benar-benar tak ada. Cukup, tak perlu aku mencari jawaban lebih dari ini. Keberanianku tak sebesar itu. Aku berhenti.

Napak tilas gambar-gambar masa silam yang memang kusimpan dalam sebuah album memori. Aku tak yakin kau akan percaya. Karna jika kau mau mengenalku, akulah pembohong ulung yang sebenarnya. Lihat mataku, dan kau akan tahu saat itu aku menyampaikan kejujuran atau sebaliknya. Biarlah, aku kupikir kau hanya akan melihatku sebagai seorang penjilat lebih ulung dari kemampuanku berbohong. Lebih baik aku menyimpannya dalam sebuah peti besi dan menguncinya. Kenapa tak kubiarkan terhapus saja? Jangan, ijinkan aku menyimpah sedikit harap, jika aku tahu itu masih tersimpan. Janji, aku tak akan menuntutmu dengan itu. Hanya untuk kepentinganku sendiri, percayalah padaku kali ini.

Aku menelanjangi diriku sendiri dan kau justru melihat itu bukan aku atau kau tetap melihat sebagai aku dan kau berubah pikiran? Entahlah. Aku hanya ingin menyandarkan tubuhku jikalau kurasa terkadang itu terlalu berat. Yang aku tahu hanya semakin jauh. Aku merasakannya, bukan melihatnya. Disini kau tau? di tempat itu rasanya begitu menyesakkan. Terlalu berlebihankah jikalau aku berkata "hingga menghentikan nafas sejenak"? Aku melihat wujudmu di pelupuk mataku tapi aku tak merasakannya. Tak ada dan membuatku ingin berteriak "kembali!" atau sebaiknya aku yang beranjak? Seperti aku tak tahu malu jika seperti ini.

Baiklah, biar saja kuputuskan aku yang beranjak. Meski jujur kukatakan langkah kaki itu terlalu berat. Aku menginginkan, bukan lebih dari itu aku membutuhkan untuk kau duduk disampingku. Tapi bukan yang seperti ini. Hanya sebagai formalitas justru aku merasakan kau sedang berlari, entah kemana yang terpenting kau tak perlu menemaniku bukan? Ah sudahlah, buat apa aku mengumpat? itu bukan hakku.

Ya, aku merasakan ini karena aku membutuhkanmu atau aku membutuhkanmu karena aku merasakan ini? Dan kupikir sedetik sebelum cerita beranjak senja di suatu hari itu adalah saat aku kembali menemukan kenyamananku. Terima kasih dan aku mengijinkanmu beranjak sekarang.

Komentar