Sore kemarin.
Gumpalan awan-awan seperti tumpukan kapas tebal menyelimuti sang surya
di langit jakarta. Mendung. Bukan awan yang seputih kapas, tapi juga bukan awan
hitam yang angkuh. Sore kemarin aku berjalan di belakang dua orang dan
telingaku tetap kujaga untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Meskipun
jujur kukatakan pikiranku sedang berjalan-jalan menikmati kebebasan yang aku
hadiahkan padanya sore itu.
Rasanya berjalan sejauh itu tidak begitu melelahkan. Tak
banyak bising bunyi klakson yang memekikkan telinga. Kulihat si roda empat
pun roda dua berlari-lari tanpa saling menunggu. Ini hari sabtu. Atau karena
untuk beberapa hari kedepan tak akan ada hiruk pikuk diarea ini? Dijalanan yang
hampir semua orang jakarta menyukainya. Mewah dan angkuh. Sore ini, jalanan ini terasa sangat ramah.
Sungguh aku sangat menyukainya.
Entah sudah berapa kilometer aku berjalan? Atau sebenarnya
belum sampai sejauh itu? Untukku yang tak terbiasa berjalan kaki? Ini cukup panjang. Meski aku
sebenernya lebih menyukainya. Lebih nyaman. Meski lelah. Tapi, setidaknya aku
tak takut untuk si tangan panjang mengambil dompet dengan isi penghidupanku. Tidak
berdesakkan seolah aku bukan manusia. Juga terbebas dari si tua bangka tak tahu
malu yang mengambil keuntungan saat berdekatan dengan si gadis muda. Ah, semua
tumpangan berbayar murah sungguh tak nyaman. Seandainya aku bisa selalu
berjalan kaki.
Seandainya aku bisa selalu berjalan kaki. Pepohonan meski
tak begitu besar, berbaris rapi. Seolah menjadi pagar betis di teras-teras
gedung yang angkuh tapi sungguh sangat gagah. Berjejer tanpa celah,
gedung-gedung itu seolah sedang bertanding untuk siapa yang paling gagah dan
menjadi simbol. Aku berjalan di depan mereka, menikmati. Sesekali aku menemukan
bangku apik. Seseorang duduk dengannya untuk sekedar merokok atau mengangkat
telepon. Untung, bukan pasangan muda-mudi yang mengumbar senyum kasmaran di
depan umum. Ah, sudahlah.
Aku masih berjalan. Meski rasanya kaki mulai pegal, tapi nyaman
dan aku tetap menikmati. Seandainya aku bisa selalu berjalan kaki. Sayang,
hanya bisa kulakukan disini. Sudah kubilang bukan? Ini teras gedung-gedung kekar nan angkuh. Bukan
teras rumah-rumah rakyat atau warung-warung pedagang dengan kaos lusuh. Pasti
saja teras ini begitu tertata rapi. Empat lima orang bisa berjalan kaki
sejajar, saling melempar tawa dan cerita “meeting” dengan siapa hari ini? Pria
berdasi rapi dan wanita bersepatu hak tinggi yang akan berjalan setiap hari
melewati teras ini. Tentu saja, teras ini harus layak.
Nyatanya aku tidak bisa selalu berjalan kaki. Di teras-teras
rumah rakyat dan di depan toko kelontong lusuh. Bahkan di semua tempat. Aku
tidak boleh berjalan kaki selain disini. Bagaimana tidak? Jika aku berjalan
kaki mungkin aku akan mati. Jangankan pepohonan yang berjajar dan bangku yang
bisa kududuki untuk sekedar menarik nafas. Setapak yang bisa kuinjak pun tak
ada dan jika pun ada sudah sangat tidak layak. Bukan yang seperti disini.
Seandainya aku bisa selalu berjalan kaki. Bukankah ini hakku
dan hak siapapun itu untuk berjalan kaki? Dan nyatanya aku tak boleh berjalan
kaki selain disini. Roda-roda mungkin akan menggilas ujung kakiku bahkan
menubruk badanku, aku bisa mati. Atau sekadar terjatuh dan ternyata itu lubang
gorong-gorong menuju laut. Sungguh menakutkan. Hakku sudah dirampas. Aku
berteriak, “Aku ingin bisa berjalan kaki!”, tapi siapa yang mendengarku? Atau
justru mereka tertawa? Menjadi kaya berarti tidak berjalan kaki? Tidak! Aku
tetap ingin bisa selalu berjalan kaki.
Kutarik kembali pikiran yang tadinya kubebaskan berjalan-jalan.
Teeeeeeeet! Si roda dua hampir menubruk
lenganku. Untung akalku sudah kembali pada tempatnya. Tapi, bukankah ini tempat
dimana hanya ada kaki? Aku bebas berjalan kaki disini? Oh Tuhan! Yang sudah
diberikan fasilitas pun masih bermasalah dengan pelanggaran aturan. Bukan ini
kan alasan untuk mereka tidak memberikan fasilitas yang seperti ini di jalanan
yang lain? Aku hanya ingin selalu bisa berjalan kaki. Seandainya semua jalanan
memiliki trotoar seperti disini.
Komentar
Posting Komentar