Tegal Rejo : Perkenalan dan Episode Kali Wetan



Acara di sebuah stasiun TV hari kemarin mengambil lokasi yang menggelitik untuk melakukan napak tilas. Ungaran,  itu adalah tanah kelahiranku dan tempat aku dibesarkan hingga delapan belas tahun. Hingga sebelum aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di sini, di tempat yang berjarak lebih dari 400 kilometer dari tanah kelahiranku. Tak banyak yang tahu dengan daerah bernama Ungaran, meskipun setiap jalur darat antar kota yang melalui jalur pantura (pantai utara) yang menuju Jawa Tengah ataupun Jawa Timur akan melewati kota kecil yang di sebut Ungaran. Sebuah kota kecil yang menjadi kawasan industri khususnya industri tekstil dan terdiri dari banyak sekali desa-desa dan kelurahan. Dan aku hidup di salah satu desa kecil bernama Lerep lebih sempit lagi di sebuah dusun bernama Tegal Rejo.

 Dusun adalah kedudukan diatas RW, tetapi masih di bawah desa. Untuk wilayah yang masih berstatus Desa dengan pemimpinnya bernama Kepala Desa (Kades) dan memiliki daerah kekuasannya yang cukup luas umumnya akan di bagi menjadi beberapa Dusun dengan pemimpinnya bernama Bekel atau bahasa resminya Kepala Dusun (Kadus). Hierarkinya seperti ini, Ketua RT berada di bawah ketua RW dan ketua RW berada di bawah Kadus, dan Kadus inilah yang melakukan rapat koordinasi dengan Kades di kantor kelurahan dalam periode waktu tertentu. Layaknya jabatan ketua RT dan ketua RW, Kadus tidak memiliki kantor dan tidak berkewajiban berada di kantor desa 5 hari dalam seminggu. Hanya sesekali saja.

Meski jabatannya seperti Ketua RT ataupun Ketua RW, istimewanya seorang Kadus adalah ia mendapatkan bayaran dari jabatan yang diembannya. Selain itu, seorang Bekel memiliki jabatan seumur hidup. Bekel hanya bisa digantikan ketika ia sudah meninggal dan tentang bayarannya tentu saja bukan uang, melainkan tanah bengkok. Oh ya, Kepala Desa, berbeda dengan Lurah juga memiliki bayaran hanya berupa tanah bengkok, bukan sejumlah uang sebagai gaji dan tidak berstatus sebagai pegawai negeri. Pernah melihat demo kepala desa yang menuntut status ebagai pegawai negeri bukan? Ya, tentu saja karena jabatan yang di pegang seorang Kades hanya sementara. Dahulu satu periode adalah 8 tahun, tapi sekarang di persingkat menjadi hanya 6 tahun. Namun, seorang kepala desa bisa terpilih lagi di periode selanjutnya.

Diatas telah disinggung mengenai tanah bengkok. Tanah bengkok adalah tanah milik desa yang diberikan hak kuasa kepemilikannya pada Kadus, Kades, dan perangkat desa lainnya yang sedang menjabat. Jabatan-jabatan perangkat desa lainnya antara lain Carik (bisa dibilang sekertaris desa) dan Kaur singkatan dari Kepala Urusan tergantung urusan yang ia pegang apa. Kaur jumlahnya bisa lebih dari satu. Nah, mereka semua juga di bayar dengan tanah bengkok dan bengkok terluas tentu ada di tangan Kepala Desa. Di desaku, hampir di semua dusun yang ada dibawahnya seorang Kades memiliki bagian tanah bengkok. Bisa jadi bayaran seorang Kades lebih banyak dari gaji Lurah, atau sebaliknya. Tentu saja, tergantung luasnya tanah bengkok dan juga hasil panen dari tanah yang dipinjamkan itu.

Dahulu konon katanya, setiap Kades yang menjabat di desaku menjadi seorang yang kaya-raya setelahnya. Oleh karena itu, jabatan ini sangat di perebutkan bukan hanya untuk kedudukan di mata masyarakat, tetapi juga janji kekayaan. Hmmmm, hanya saja ketika aku menjadi anak seorang Kades aset keluarga kami tak pernah bertambah sedikitpun selain kantong celana Bapak selalu ada uangnya entah hanya sepuluh atau dua puluh ribu. Selebihnya sama saja. Tanah bengkok kabarnya juga sudah banyak yang dijual dengan cara-cara lihai oleh Kades-Kades sebelumnya.

Kembali ke Desa dimana aku di lahirkan dan dimana aku hidup selama 18 tahun, setiap hari. Sejujurnya, aku hanya sangat mengenal dusunku saja. Tidak dengan dusun yang lain, tidak seperti ayahku yang punya banyak kenalan hampir di semua dusun. Aku bersekolah SD di dusun sebelah di dekat kantor kelurahan yang hanya sepuluh menit berjalan kaki dari rumahku dengan teman-teman yang berasal dari dusun itu atau dari dusun yang sama denganku saja. Aku juga bukan jenis anak kecil yang suka bermain hingga melanglang buana sampai ke dusun orang. Hanya di sekitaran rumahku saja paling jauh sampai RT sebelah. Selebihnya, teman-teman yang mendatangi rumahku.

 Oia, dusunku ini dusun paling kecil dari semua dusun yang ada di desaku dan menjadi salah satu yang cukup tertinggal. Tak akan ditemukan tukang jualan makanan jadi atau warung kelontong yang besar. Tapi itu dulu ya, sewaktu aku masih kecil. Sepeda motor masih jarang dimiliki. Jualan dengan sepeda atau gerobak? Coba saja kalau bertahan lama menempuh jalanan yang terus menanjak serta jembatan bambu di atas sebuah sungai besar dan berarus deras. Bahkan sebelum tahun 1990, tak ada jembatan. Langsung menyeberang dan berjalan diatas bebatuan sungai. Sebagian besar orang di dusunku bekerja sebagai petani atau buruh pabrik di Ungaran. Masih sangat jarang yang menjadi pegawai negeri, guru, perawat, pegawai bank, apalagi dokter. Alhasil, pegawai negeri akan dipandang memiliki status sosial yang tinggi disini. Kebetulan bapakku seorang guru SD, cukuplah dalam status bermasyarakat di dusunku jika dikastakan keluarga kami bukan berada di kasta terbawah.

Kembali lagi, konon kata ibuku kenapa dusunku di beri nama Tegal Rejo adalah karena dulu wilayah ini hanya berupa kebun yang sangat rimbun dan dalam kosakata Jawa di sebut Tegal. Namun, karena sangat subur maka di tambahkan kata Rejo dibelakang Tegal yang bisa diartikan makmur atau sejenisnya. Kata ibuku juga, sebelumnya dusunku ini bernama Gorno seingkatan dari Tigo Warno atau Tiga Warna. Mengapa demikian? karena apa-apa yang ada di dusunku ini selalu terdiri dari tiga. Ada tiga langgar atau mushala dan lain sebagainya aku sudah lupa, bahkan sekarang di dusunku itu ada tiga RT. Sayang sekali narasumberku hanya ibuku yang sebenarnya juga sudah hidup dan tak pernah meninggalkan dusun itu selama 61 tahun. Oh ya, bapak dan ibuku dulunya bertetangga. Mereka hanya dipisahkan oleh kawasan RT yang berbeda dan hanya berjarak tak lebih dari 100 meter. Jadi, keduanya tak pernah angkat kaki dari tanah kelahirannya itu.

Hingga awal tahun 1990-an, saat aku lahir, dusunku ini dengan membandingkannya pada kondisi sekarang, boleh dibilang masih sangat tertinggal. Bagaimana tidak? Tak ada listrik, ada sumber air, tapi tak ada yang mengalirkannya ke rumah-rumah alhasil tak ada MCK di setiap rumah warga. Untungnya, waktu aku sudah mengingat semuanya di rumahku sudah ada MCK, listrik, dan sebuah TV hitam putih. Tapi, aku juga merasakan bagaimana mandi di kali dan menemani ibu mencuci di kali. Air yang dialirkan kerumah dengan selang harus di bagi-bagi dengan rumah yang lain. Tidak bisa serakah dan harus patuh dengan pembagian jam atau akan terjadi keributan antar tetangga hanya gara-gara berebut air.

Untungnya, aku tak perlu berbaris berjajar di larik yang dibawahnya adalah aliran sungai kecil atau parit dari sawah-sawah warga hanya untuk memenuhi panggilan alam. Sedang semua anggota keluargaku yang sudah lahir sebelum aku menikmati cukup lama masa-masa jongkok diatas sebilah atau dua bilah bambu dengan satu bambu lagi untuk pegangan tangan di bagian depan. Kadang jongkok berjamaah, kadang seorang diri. Masih syukur kalau musim hujan, air bisa mengalir kalau musim kemarau datang? Tak terbayangkan lagi sensasinya (jangan di bayangkan ini bisa berubah sangat menjijikkan, haha).

Ada dua kali yang sangat populer di dusunku waktu itu, namanya Kali Gebug dan Kali Wetan. Aku tak mengalami mandi di kali Gebug, saat aku kecil kepopuleran kali ini sudah pudar. Alhasil, aku hanya pernah menikmati Kali Wetan. Tapi, syukurlah karena jarak Kali Gebug sangat jauh dari rumahku, mungkin lebih dari 1 kilometer. Tak bisa dibayangkan bagaimana pendahulu-pendahuluku harus berlari-lari kecil sejauh itu hanya untuk mandi atau mencuci baju. Oh ya, yang di sebut kali disini adalah sumber mata air di dekat daerah persawahan (untuk Kali Gebug) dan di bawah sebuah pohon besar yang sudah tumbuh ratusan tahun (untuk Kali Wetan) dan selanjutnya di buatkan bak besar untuk penampungan. Itulah kali yang aku maksud. Tapi aku paling senang jika harus mandi di kali, meski seharusnya sewaktu aku kecil sudah tidak populer lagi mandi dikali, atau hanya populer ketika air yang mengalir kerumah-rumah mati. Mengapa aku senang? karena aku bisa bermain air sepuasnya yang pasti dan sembari ibuku mencuci baju aku mencari "sogo" yaitu biji-biji kecil berwarna merah yang aku kumpulkan untuk bermain dakon (congklak).

Hmmm, kuintipkan sedikit bagaimana masyarakat sebuah dusun kecil menikmati kali pada jaman kakak-kakakku, kalau jaman ibuku sudah terlalu jauh dan tentu bagian menyedihkannya sangat terasa jelas. Kalau jaman kakakku ya hanya sedikit lebih menyedihkan dan masih beda tipis dengan yang aku alami. Ternyata kali bukan hanya menjadi sumber air untuk mencuci, mandi, dan ngangsu (mengambil air untuk keperluan memasak dan dibawa ke rumah). Kali juga menjadi sumber informasi dan tempat berinteraksi para ibu-ibu tentunya selain warung. Konflik atau sebaliknya penyelesaian masalah tak jarang terjadi di kali. Anak-anak kecil biasanya lomba lari setelah mandi meskipun tanpa mengenakan sehelai baju (ini bukan pornoaksi) sampai ke rumah masing-masing. Dibelakang anak-anak biasanya ibu-ibu dengan menggendong cucian atau jerigen berisi air. Kalau bapak-bapak mereka pulang dengan memikul jerigen air juga tentunya, ngangsu. Lucunya lagi, di pagi hari saat idul fitri bahkan ada anak-anak kecil yang sudah pergi ke kali dari jam 3 pagi. Hanya agar tidak mengantri dan ketinggalan solat id serta memamerkan baju baru yang dimiliki. Karena memang, kali adalah pusat kehidupan saat itu.

Namun, kepopuleran ternyata juga memberikan konsekuensi pada keadaan terlupakan jika sudah berbicara tentang langkah kaki waktu. Seperti kali Gebug, Kali Wetan juga kehilangan kepopulerannya. Bukan hanya itu, bahkan ia seakan sudah terlupakan dan tak terjamah lagi. Bahkan, Kali Wetan saat ini lebih terkenal sebagai tempat yang mengandung unsur-unsur mistis dan klenik. Kali Wetan yang menjadi sumber kehidupan dan pusat kehidupan masyarakat Tegal Rejo seakan sudah mati. Beningnya air yang tak pernah kulihat di sumber air manapun dengan sendau gurau bocah yang bermain air atau suara gilasan baju para ibu sudah tidak ada lagi. Hanya tinggal bak tua yang tertutupi rumput menjalar. Letaknya yang memang di dasar jurang, membuat semua orang bisa melihatnya setiap hari dari seberang jalan. Selamat tinggal Kali Wetan, maafkan kehendak jaman dan sekarang kau dilupakan.

Sesungguhnya, masih banyak yang ingin kuceritakan tentang dusun kecilku yang sangat kucintai ini. Kehidupan apapun nanti yang akan menghampiriku dan dimanapun nanti nasib akan membawaku tinggal, catatan sejarah tetap akan menuliskan bahwa Tegal Rejo adalah tanah kelahiranku, tempat aku di didik oleh kehidupan selama delapan belas tahun. Berhenti dulu sampai kali wetan aku memperkenalkan Rejo. Meskipun tulisannya sudah sangat panjang, dan aku akan menceritakan kepingan-kepingan yang lain tentang Rejo setelah ini. Karena aku sangat mencintai masa kecilku, masa laluku, dan tanah kelahiranku, maka aku menuliskan ini.


Komentar