Ilmu Ikhlas


Ilmu ikhlas, kedengarannya seperti sebuah tema yang ingin dibicarakan dalam sebuah ceramah keagamaan. Bukan, aku tidak sedang mengarah kesana. Hanya ingin sedikit berbagi pengalaman tentang bagaimana akhirnya pengalaman membawaku mengamalkan ilmu ini dan belajar lebih baik lagi. Memang benar, ikhlas adalah salah satu pelajaran yang paling sulit yang pernah aku hadapi. Entah, aku sudah lulus dalam pelajaran hidup ini atau belum. Hanya saja aku sedang mencobanya.

Sejujurya sudah kesekian kalinya aku harus dihadapkan pada kenyataan untuk mengamalkan "ilmu ikhlas" yang sudah seringkali aku dengar dan dinasehatkan ibu, bapak, pun orang-orang pada umumnya. Alur cerita dalam skenario hidupku memang sangat dekat dengan apa yang disebut keikhlasan. Hingga aku mulai bermimpi dan bekerja keras untuk setiap mimpi yang ingin kuraih. Satu per satu aku mendapatkan apa yang ingin kucapai. Dan itulah titik dimana aku mulai melupakan ilmu ikhlas. Atau justru ketika aku mulai kehilangan satu per satu yang aku cintai, dan saat itu aku mulai menghindarkan kata ikhlas. Aku lebih memilih menyalahkan diri sendiri.

Ilmu ikhlas selalu aku dekati atau justru aku mempertanyakannya tatkala apa yang menjadi keinginan di dalam otak dan hati harus berbenturan dengan takdir. Untuk mengakui apa yang telah terjadi dalam hidup dan menerimanya hanya sebagai bagian dari masa lalu juga pembelajaran hidup perlu pengamalan ilmu ikhlas. Dan untukku, ini menjadi bagian yang tersulit. Untuk setiap titian tangga kehidupan aku harus naik satu demi satu dan itupun butuh kerja keras, mungkin lebih dari yang dilakukan oleh orang lain. Dan ketika aku harus tergelincir turun atau justru aku tak bisa menaikinya, mungkinkah secepat itu aku akan ikhlas? Sedang mereka yang meniti tangga bersamaku justru bisa berlari dengan ringannya? Yang aku katakan waktu itu adalah tidak, aku tidak akan ikhlas begitu saja. Pun aku mulai menyalahkan langkahku satu per satu dan kekuatan yang aku miliki. Kenapa aku hanya memberikan usaha yang sebesar itu.

Intinya, pemahaman tentang takdir dan penerimaan atas sebuah takdir adalah tahapan terakhir dalam pengamalan ilmu ikhlas. Dan tatkala kedua hal itu sudah bisa diamalkan secara hati dan tindakan, maka manusia telah memasuki pintu ikhlas itu sendiri. Sebaliknya, jikalau penerimaan akan kejadian yang sudah lewat merupakan sebuah takdir yang tentunya akan berjalan seperti itu belum bisa dilakukan maka kata ikhlas yang terucap dalam serapah belum bisa dikatakan sebagai pengamalan ilmu ikhlas. Ini berdasarkan pemahamanku. Jikalau apa yang kita pikir kita bisa merubah sebuah kondisi yang sekarang dengan merubah apa yang kita lakukan sebelumnya, sudah terlewat, terima saja itu sebagai Takdir. Toh, masa lalu meski hanya satu jam yang lalu adalah sesuatu yang paling jauh dalam kehidupan manusia yang tak mungkin terjangkau. Dan jikalau kita benar melakukan apa yang lebih baik dari yang kita lakukan sebelumnya, kondisi yang akan terjadi sekarang dari tindakan yang kita pikir lebih baik itu juga belum tentu lebih baik. Bukan begitu? Keikhlasan dan pemaknaan sebagai sebuah Takdir.

Omong kosong. Rasanya aku hanya ingin menyumpah yang seperti itu saat orang lain menasehatkan kata ikhlas. Atau hanya berucap "aku ikhlas" sedang hati masih terus mengumpat. Jikalau mulanya aku berkata itu hanya omong kosong, pengalaman kali ini membawaku untuk mengatakan tidak. Aku paham. Aku belajar lebih baik tentang menerima apa yang sudah terlewat sebagai sebuah Takdir. Dan ketika hatiku mulai mengikhlaskan, sebenar-benarnya ikhlas justru hal-hal yang lebih baik dari yang kita pikirkan sebelumnya datang dengan sendirinya. Bahkan, suatu hal yang tidak berani aku ekspektasikan sebelumnya. Mengikhlaskan satu pintu tertutup nyatanya justru membawa satu, dua, tiga, atau lebih pintu-pintu lain yang terbuka. Dan saat aku beranjak meninggalkan pintu yang aku ikhlaskan untuk tertutup, nyatanya langkah kakiku terasa semakin ringan, bibir menyungging senyum, dan kenyataan yang lebih baik yang aku rasakan.

Mengikhlaskan bukan berarti aku menyerah. Jangan maknai seperti itu. Menyerah adalah membiarkan apa yang belum terjadi dan tidak melakukan apapun, sedang mengikhlaskan adalah menerima apapun hasil yang akan di dapat dari usaha yang telah aku lakukan. Jelas bukan? ini masalah waktu, belum terjadi atau sudah terjadi. Selain itu, ilmu ikhlas juga membawa mataku untuk lebih melihat pilihan-pilihan yang lain. Di mana sebelumnya tatapan mataku hanya menuju pada satu titik, mengusahakannya sekeras mungkin, dan sedikitpun tidak menoleh sedikitpun yang mungkin peluang lain justru datang. Aku hanya mengumpat diri sendiri juga waktu yang sudah kubuang. Melepaskan diri pada kondisi yang terlalu fokus pada satu titik dan menutup mata dari pilihan yang lain adalah esensi mengikhlaskan yang kupahami berikutnya.

Tentu, pengamalan ilmu ikhlas memberikan pengalaman spesial yang berbeda pada setiap orang. Namun, kupikir secara umum akan sama. Ilmu ikhlas yang sangat terkait dengan langkah kaki takdir dan keikhlasan yang justru membukakan banyak jalan yang lebih baik. Atau, keikhlasan yang justru membawa kita mendapatkan mimpi yang kita inginkan, benar-benar yang kita usahakan dengan kerja keras. Didapat justru ketika kita sudah mengikhlaskannya. Ilmu ikhlas memang tidak mudah untuk diamalkan, dan jikalau kita bisa mengamalkannya, Ilmu ikhlas adalah keindahan. Membuat semuanya menjadi lebih ringan, bukan beban.


Komentar