Perjalanan Lorong Waktu Masa Lalu



Ini tentang perjalanan lorong waktu hari kemarin. Gerbong-gerbong kereta membawaku menginjakkan kaki pada sebuah tempat asing yang tak pernah aku mengunjunginya sebelumnya. Perlu entah berapa kali aku menghitung waktu untuk menyetujui perjalanan ini. Bukan perjalanan biasa menjumpai seorang teman lama. Ini adalah perjalanan menyusuri sebuah lorong waktu. Bisa jadi aku kembali ke masa lalu. Dan aku tau, apa yang akan terjadi setelah itu.

Keretaku berhenti dan sudut mataku mulai mencari. Aku melihat objek perjalanan lorong waktuku. Menunggu di ujung pintu. Tanpa senyum. Ini perjalanan lorong waktu yang sangat panjang. Menuju empat tahun lalu, mungkin lebih. Menginjakkan akal hatiku pada apa yang sebenarnya tak ingin lagi aku. Bahkan hanya untuk mengigatnya sekalipun. Apalagi menyapanya seperti ini. Aku berusaha tersenyum. Kami berjalan. Menyusuri perjalanan lorong waktu selanjutnya. Mungkin akan menyakitkan.

Rayuan perjalanan lorong waktu hari kemarin sungguh menggiurkan. Hingga aku lupa, apapun itu, semuanya hanya semu, palsu, juga kebohongan. Dan ini juga perjalanan yang penuh dengan dosa. Dan masihkah aku bisa untuk tersenyum? Aku mencobanya. Hati dan akalku mungkin masih berdebat hingga aku menangkap dua bola mata memandangiku. Pilu. Pikirku ini akan mencipta bahagia, meski untukku atau bukan. Setidaknya untuknya. Aku hanya ingin berterima kasih untuk membantuku berdiri karena cinta yang terabai. Nyatanya? Aku masih rapuh. Tergiur rayuan melankoli perjalanan lorong waktu. Aku masih saja lugu dan mudah tertipu.

Perjalanan lorong waktu dalam senyap. Aku mencoba terus tersenyum, menyapa, bercerita, menatap dalam, dan aku tak menemukan apa yang ingin aku temukan. Tapi benar, ini perjalanan lorong waktu kembali ke masa itu. Sungguh aku tak bisa menemukan bayanganku di kedua bola mata yang tak ingin menatapku dalam. Jadi benar bukan? Itu hanya rayuan untuk membawaku kembali bermelankoli dan terbujuk. Bukan teriakan hati, apalagi soal cinta yang masih tertinggal. Aku mengemas tangisku dalam senyum dan cerita yang tak berujung. Berharap bisikan hatiku tak terbaca dalam sunyi senyap perjalanan lorong waktu malam itu. Sungguh, seandainya kau berkenan menatap mataku lebih dalam. Hanya ada ketakutan, jika benar jawabannya bukan perjalanan lorong waktu yang kau bilang untuk cinta yang tak akan pernah terhapus. Jikalau, nyatanya aku hanya kembali tergiur rayuan palsu seorang pemain cinta. Dan aku hanya menjadi pemuas nafsu, bukan pemilik hati.

Perjalanan lorong waktu yang seharusnya tak aku lakukan. Hanya bagaimana aku ingin berterima kasih dan mungkin memang aku sedang rindu dengan masa lalu. Dan ini satu-satunya kesempatan aku untuk kembali, lewat perjalanan lorong waktu. Kupikir dinding yang kubangun sudah tinggi dan kokoh. Hingga jika badai yang pernah kau ciptakan kembali menyapa hati dalam perjalanan lorong waktu itu, aku akan tetap aman. Ternyata apa yang aku usahakan dengan tidak mudah, mengunci memori-memori penuh kebohongan perlahan mengikuti detik waktu musnah hanya dalam hitungan detik. Terhitung saat sudut mataku menemukan kedua bola mata itu. Aku tidak bisa membendung lagi cinta si gadis lugu. Ternyata aku masih rapuh dan aku belum siap melakukan perjalanan waktu yang seperti ini.

Kupikir ini hanya sementara karena aku sedang berada di perjalanan lorong waktu, kembali ke masa lalu. Yasudah, kuhilangkan keegoisan dan aku ingin menikmati. Aku menyimpan tangis hati dan memilih tertawa. Menggoda, memanja, dan tetap pada peranku sebagai pencerita. Hingga aku lupa, sebenarnya aku datang untuk mendengar dan menguatkan. Kupikir masih tersisa sekelumit misi untuk selalu membantu kau mencapai bahagia. Kuikuti perjalanan lorong waktu bermelankoli dan kupikir cukup aku meyakininya sebagai bunga tidur malam itu. Semuanya akan kembali normal ketika perjalanan lorong waktu itu berakhir. Hanya satu yang tak berani kulakukan, menatapmu dalam. Aku takut jikalau jiwaku akan kembali tertarik dan aku harus mengalami kematian untuk kedua kali.

Perjalanan lorong waktu telah usai. Aku kembali ke tempat dudukku dan mengemas kepingan perjalanan setengah hari itu sebagai mimpi malam yang indah. Nyatanya sebaliknya. Aku menganggap perjalanan lorong waktu itu nyata dan semua memori masa lalu yang sudah kukunci kembali terlepas. Mereka bebas menempati setiap lorong kosong dalam hati dan akal. Dan aku kembali teringat kepingan-kepingan cerita saat dulu. Cinta yang kupikir adalah bahagia yang akan menjadi milikku selamanya. Senyum yang tak akan pernah kau menagihnya untuk kukembalikan karena ternyata kau hanya meminjamkannya, bukan berbagi. Rayu dalam dusta yang membuatku mati, aku kehilangan jiwa saat itu. Dan jika kau tau yang sebenernya, itu kenapa aku menjadi bukan seperti manusia sekarang. Seonggok daging tanpa hati. Mati.

Perjalanan lorong waktu telah berlalu beberapa jam yang lalu. Semakin aku mengingat semuanya dengan jelas dan rindu. Merindu dalam kosong apa yang bisa kulakukan selain hanya menangis? Kebohongan si pemain cinta, psikopat. Dan jelas ini akan menjadi siksaan yang kembali menyapa. Jika sekadar berharap sebenarnya adalah sebuah dosa kenapa aku harus melakukan perjalanan lorong waktu. Seberapapun aku hanya ingin menyisihkan sedikit keyakinan justru kenyataan kembali berkata bukan. Lalu apa yang bisa kulakukan selain hanya meratap? Sungguh kuharap sesekali yang terasa seperti ini akan menjadi milikmu dan kau akan mengerti. Perjalanan lorong waktu hari kemarin juga palsu.

Perjalanan lorong waktu tak bisa aku simpan sebagai mimpi malam kemarin. Ini nyata. Aku memang merindukannya hanya nyatanya tak seharusnya. Jika yang seperti ini kembali hanya akan membunuh lagi seharusnya aku tidak melakukannya. Lembaran-lembaran cerita yang menyakitkan itu kini kembali dan apa yang harus kulakukan? Semakin aku baca dan aku semakin ingin menapaki masa lalu. Mencari tahu. Namun, bukankah itu hanya sebuah masa lalu dan meski aku kembali membunuh jiwaku aku tak akan mendapatkan yang kuinginkan bukan? Dan mengapa aku harus tergiur dengan perjalanan lorong waktu hari itu? Cinta si gadis lugu.

Komentar

Posting Komentar