Balada Setangkai Mawar dan Seekor Kumbang..


Mungkin sudah waktunya aku menutup kelopak daunku. Tak lagi mekar. Meski hati kecilku tak ingin dan berharap, tapi kau berpaling. Dan dia bilang lebih baik aku menutup kelopak daunku. Mungkin kau yang mengirim pesan seperti itu.

Sungguh jika kau berpikir aku selalu menutup kelopak daunku. Menunggu kau mengetuk dengan keras, kau salah. Aku membiarkannya terbuka meski memang aku tidak memanggil. Atau setidaknya menggoyangkan mekar bungaku. Hanya berbisik dalam diam. Aku memang tidak ingin memanggil dalam suara, hanya ingin kau mengenalinya sendiri. Dan kau akan menjemputku dari depan pintu daunku. Jadi suatu saat nanti jikalau ternyata bukan aku, kau tak akan menyalahkanku karena aku yang merayu. Kau yang memilih bungamu sendiri. Pun, dengan begitu kau tak akan mudah meninggalkanku karena juga tak mudah untuk bisa memetikku.

Dan jika kau berpikir aku tak bersuara pun enggan melangkah keluar, kau salah. Aku menampakkan mekarku, aku menyebarkan wangiku dalam hening tanpa suara, tapi kau tetap tidak mengenalinya. Mungkin kau merasa lelah jikalau harus selalu terbang menghampiriku. Jika kau tahu, aku juga menerbangkan satu kelopakku, menyebarkan wangi, mencipta waktu untuk kau kemudian akan datang. Pun aku juga mengikuti arah angin ke mana kau terbang. Untuk tak kehilangan bayanganmu dan aku akan rindu. Namun, aku tak ingin kau tahu tentang itu. Biarkan kau yang terlihat terbang padaku. Kau yang terlihat begitu tulus dan kau hebat. Aku hanya ingin kau terlihat seperti itu.

Mungkin aku tak berani menyentuh sayapmu dengan kelopak merahku. Mendekapmu hangat diantara kelopak mekarku. Hanya saja aku tak pernah letih menyentuhmu dalam doa terpanjat. Semoga waktu itu datang ketika kau benar-benar mengenali dan melihat siapa aku. Hanya sebatas itu yang bisa dilakukan sekuntum mawar jikalau ada tangkai yang mengikatku. Aku harus memegang janjiku. Karena hanya tangkai ini yang menjadi tempatku berpijak. Saat aku letih, saat kelopakku berguguran, dan saat aku tak berteman seperti di musim semi.  Aku tak bisa menerbangkan seluruh kelopakku untuk terbang bersama angin menghampirimu.

Sekarang aku akan menutup kelopak daunku. Aku tak bisa melangkah keluar, aku tak bisa memanggil. Pun sudah terlalu dingin aku tertiup angin. Angin yang kau cipta ketika kau terbang ke sana ke mari. Pada bunga-bunga bermekaran yang menurutmu indah, yang memanggilmu. Aku takut jika aku tetap membuka kuncup daunku aku akan layu. Biarkan kuncup daunku menutup lagi dan menunggu siapa nanti yang akan mengetuk pintuku ini. Dan selanjutnya, biarlah aku yang memutuskan. Meski tak bisa kubohongi, aku ingin jikalau kau yang akan mengetuk. Tapi harus berapa kali lagi? Kurasa sudah cukup aku memberi waktu. Ini sudah sampai batas waktuku.


Dan ini adalah pesanku untukmu. Terbanglah jika kau masih ingin terbang bebas. Hinggaplah pada bunga-bunga bermekaran yang menawan. Dan jikalau suatu saat kau sudah lelah dan ingin kembali berpijak pada kelopakku dan aku masih berdiri di tempat yang sama, datanglah. Mungkin itu takdir Yang Maha Kuasa. Dan jikalau aku aku sudah tidak lagi di tempat yang sama, bolehlah kita berkirim kabar pelipur lara seperti sebelumnya. Pun aku juga tidak berkata aku akan menunggu, silahkan jikalau kau memang tak akan pernah kembali. Pilihan itu milikmu.

Balada setangkai mawar dan seekor burung, cerita yang tercipta dalam langkah kaki menemani senja hari kemarin...

Komentar