Mungkin sudah waktunya aku menutup kelopak daunku. Tak
lagi mekar. Meski hati kecilku tak ingin dan berharap, tapi kau berpaling. Dan
dia bilang lebih baik aku menutup kelopak daunku. Mungkin kau yang mengirim
pesan seperti itu.
Sungguh jika kau berpikir aku selalu menutup kelopak daunku.
Menunggu kau mengetuk dengan keras, kau salah. Aku membiarkannya terbuka meski
memang aku tidak memanggil. Atau setidaknya menggoyangkan mekar bungaku. Hanya
berbisik dalam diam. Aku memang tidak ingin memanggil dalam suara, hanya ingin
kau mengenalinya sendiri. Dan kau akan menjemputku dari depan pintu daunku. Jadi
suatu saat nanti jikalau ternyata bukan aku, kau tak akan menyalahkanku karena
aku yang merayu. Kau yang memilih bungamu sendiri. Pun, dengan begitu kau tak
akan mudah meninggalkanku karena juga tak mudah untuk bisa memetikku.
Dan jika kau berpikir aku tak bersuara pun enggan melangkah
keluar, kau salah. Aku menampakkan mekarku, aku menyebarkan wangiku dalam
hening tanpa suara, tapi kau tetap tidak mengenalinya. Mungkin kau merasa lelah jikalau harus selalu terbang menghampiriku. Jika kau tahu,
aku juga menerbangkan satu kelopakku, menyebarkan wangi, mencipta waktu untuk
kau kemudian akan datang. Pun aku juga mengikuti arah angin ke mana kau
terbang. Untuk tak kehilangan bayanganmu dan aku akan rindu. Namun, aku tak
ingin kau tahu tentang itu. Biarkan kau yang terlihat terbang padaku. Kau yang
terlihat begitu tulus dan kau hebat. Aku hanya ingin
kau terlihat seperti itu.
Mungkin aku tak berani menyentuh sayapmu dengan kelopak
merahku. Mendekapmu hangat diantara kelopak mekarku. Hanya saja aku tak pernah
letih menyentuhmu dalam doa terpanjat. Semoga waktu itu datang ketika kau
benar-benar mengenali dan melihat siapa aku. Hanya sebatas itu yang bisa
dilakukan sekuntum mawar jikalau ada tangkai yang mengikatku. Aku harus
memegang janjiku. Karena hanya tangkai ini yang menjadi tempatku berpijak. Saat
aku letih, saat kelopakku berguguran, dan saat aku tak berteman seperti di musim
semi. Aku tak bisa menerbangkan seluruh
kelopakku untuk terbang bersama angin menghampirimu.
Sekarang aku akan menutup kelopak daunku. Aku tak bisa
melangkah keluar, aku tak bisa memanggil. Pun sudah terlalu dingin aku tertiup angin.
Angin yang kau cipta ketika kau terbang ke sana ke mari. Pada bunga-bunga bermekaran
yang menurutmu indah, yang memanggilmu. Aku takut jika aku tetap membuka kuncup
daunku aku akan layu. Biarkan kuncup daunku menutup lagi dan menunggu siapa
nanti yang akan mengetuk pintuku ini. Dan selanjutnya, biarlah aku yang
memutuskan. Meski tak bisa kubohongi, aku ingin jikalau kau yang akan mengetuk.
Tapi harus berapa kali lagi? Kurasa sudah cukup aku memberi waktu. Ini sudah
sampai batas waktuku.
Dan ini adalah pesanku untukmu. Terbanglah jika kau masih
ingin terbang bebas. Hinggaplah pada bunga-bunga bermekaran yang menawan. Dan
jikalau suatu saat kau sudah lelah dan ingin kembali berpijak pada kelopakku
dan aku masih berdiri di tempat yang sama, datanglah. Mungkin itu takdir Yang
Maha Kuasa. Dan jikalau aku aku sudah tidak lagi di tempat yang sama, bolehlah
kita berkirim kabar pelipur lara seperti sebelumnya. Pun aku juga tidak berkata
aku akan menunggu, silahkan jikalau kau memang tak akan pernah kembali. Pilihan
itu milikmu.
Balada setangkai mawar dan seekor burung, cerita yang tercipta dalam langkah kaki menemani senja hari kemarin...
Komentar
Posting Komentar