Temanku, aku
melihatnya begitu pilu. Memandang kosong, padahal aku tahu pikirannya penuh
berkecamuk. Mungkin lebih baik aku menghampirinya dan menanyakan apa yang
terjadi padanya. Kalau-kalau ia mau bercerita padaku. Tak perlu melangkahkan
kaki, karena ia sudah begitu dekat denganku. Hanya sebatas berucap berbisik pun
pasti dia sudah mendengarku.
“Hei, apakah
kamu ingin bercerita padaku?” kuberanikan diri bertanya pada temanku yang masih
terdiam membisu.
“Benar kamu
ingin mendengarkan aku bercerita? Mungkin ini akan menjadi cerita yang
membosankan untukmu. Apa benar kamu ingin mendengarkannya?” jawab temanku yang
terdengar cukup ragu dengan keinginanku untuk mendengar ceritanya.
“Ya, aku
ingin mendengarmu bercerita,”jawabku singkat.
Dan temanku
itu mulai bercerita,
Aku
menunggunya, cukup lama. Aku berusaha
membawanya pulang saat ia mulai beranjak pergi. Memang dulu aku yang
mengabaikan. Dan aku juga tidak menyangkal itu. Aku juga tidak akan memakai alasan
apapun, meskipun memang benar ada alasan. Hanya saja, kenapa aku tidak bisa
meminta maaf sedangkan aku akan memberikan maaf berapa kalipun jika dia
melakukan kesalahan dan aku akan melupakannya. Aku mengajaknya pulang berulang
kali dan berulang kali pula ia beranjak pergi.
Aku tidak
memaksa sebenarnya. Saat dia ingin beranjak pergi, boleh. Aku biarkan jika ia
bisa menemukan pemilik yang lebih baik. Jikalau ia bisa mendapatkan senyum yang
lebih banyak. Silahkan, karena memang itu juga yang aku inginkan. Seandainya ia
kembali dan menjadikan aku pemilik, aku juga akan berusaha untuk menjadi
seperti itu.
Aku
melihatnya beranjak kemudian kembali.
Kupikir akhirnya dia kembali, ternyata bukan. Aku harus menangis di
sudut kamarku lagi. Ruangan yang begitu gelap yang sesungguhnya aku sudah tak
ingin kembali ke sana lagi. Namun, dia membawaku kembali. Aku tidak
menyalahkan, kupikir waktu itu kita sudah impas. Aku juga tetap mengirim senyum
dan melambai, menyapanya. Kulihat dia begitu gembira sedang aku mulai bersedih.
Aku sungguh-sungguh takut kehilangan. Dia yang membuatku merasa nyaman.
Aku mulai
menjaga jarak, tidak lagi mencarinya untuk melepas rindu sesekali. Kubiarkan ia
bersama pemilik barunya. Ketika aku mulai berjalan ke depan, kulihat dia di
belakangku. Dia berjalan menghampiriku dan terlihat begitu manisnya. Dia
tersenyum seperti seorang bayi, bagaimana aku bisa mengabaikannya? Aku mulai
memperhatikannya kembali pun aku kembali mendapatkan senyumanku. Dia juga
menjadi teman setiaku saat aku benar-benar butuh orang yang bisa menjagaku.
Bagaimana aku tidak takut untuk membayangkan jika ia akan beranjak pergi lagi?
Antara bahagia dan ketakutan. Entah, rasanya kebahagiaan tak pernah bertahta padaku
terlalu lama dan aku selalu takut saat kebahagiaan itu datang ada waktunya
nanti dia akan pergi lagi.
Aku
melihatnya yang begitu manis dan aku tersenyum. Namun, perlahan senyumannya
terlihat asing. Tatapan matanya bukan padaku. Aku mulai ketakutan. Aku lihat ia
mulai menatap pemilik baru. Benar bukan? Ia akan beranjak pergi lagi. Dan aku
semakin ketakutan. Ingin aku memeluknya erat. Memeluknya erat hingga ia tidak
bisa melepaskan diri lagi dariku. Tapi apa hakku? Dan oleh karena itu, bukankah alangkah lebih baiknya kalau aku
membiarkannya menemukan pemilik yang ia mau? Dan aku memilih
meninggalkannya dalam diam. Ingin aku mengucapkan betapa aku menyayanginya dan
ingin menjaganya. Hanya saja, kupikir dia tidak membutuhkan itu. Apa yang akan
kukatakan hanya akan terlihat palsu untuknya. Aku hanya pemilik yang tak tahu diri.
Dan hari ini
aku sedang berusaha untuk menutup apa yang aku rasakan dan membiarkannya beranjak.
Rasanya begitu menyesakkan, tapi aku akan tetap bertahan menjadi aku. Sudahlah,
biarkan di menemukan pemiliknya yang baru. Mungkin kata Tuhan itu bukan potongan milikku.
Temanku
sudah selesai bercerita. Ada rasa pilu juga sedikit kesal pikirku. Dia
menciptakan kesedihannya sendiri. Bukankah sudah pernah kubilang bahwa jangan
berharap pada apa yang tidak bisa dia pastikan dan jangan berlebihan. Ia tak
pernah mendengarku, lagi dan lagi dia melakukan hal yang sama. Siapa bilang dia
tak berhak untuk bahagia? Setiap hati hakikatnya berhak untuk bahagia begitu
juga dengannya. Sudahlah, dia juga tak mau mendengarkanku. Tapi, bagaimanapun dia tetap temanku dan selamanya akan bersamaku. Aku akan menjaga dan mengingatkannya semampuku. Temanku, jangan menangis lagi hanya untuk yang seperti itu.
Komentar
Posting Komentar