Ulang Tahun

Sebelumnya aku telah menceritakan beberapa tokoh yang menjadi temanku di masa lalu hingga sekarang. Teman-teman yang selalu membuatku bukan hanya tersenyum, tetapi juga tertawa begitu lepas. Lelucon yang orisinil dan lebih lucu dari pelawak manapun kecuali Komeng tentunya. Sampai suatu hari aku berpikir bagaimana seandainya suatu saat nanti aku tak akan pernah lagi bertemu manusia-manusia yang selucu ini? Apakah aku masih bisa tertawa lagi? Sayangnya, kami sudah memiliki dunia kami masing-masing saat ini sehingga sangat sulit untuk bertemu dan membentuk formasi lengkap. Namun, ingatan tentang mereka selamanya akan tetap terpatri di kepalaku.

Hari ini aku akan menceritakan tentang hari ulang tahunku waktu itu. Aku lupa, mungkin hanya satu atau dua kali aku merayakan ulang tahunku. Jangankan itu, sekadar mengucapkan selamat ulang tahun pun bukan kebiasaan yang harus ada di keluargaku. Hanya dulu, saat usiaku yang kelima bertepatan dengan gaji pertama Kakak, ia merayakan ulang tahunku di Sekolah. Dan aku mendapatkan kado besar, kado terbesar berisi kumpulan hadiah dari teman-teman dan para guru. Ada buku, gantungan kunci, pensil, bahkan jepitan rambut. Jepitan rambut? mungkin teman yang memberiku itu sudah mafhum bahwa aku si gadis kecil dengan jepitan rambut berwarna-warni setiap hari.

Sepuluh tahun setelahnya aku juga memiliki hari ulang tahun yang menyenangkan. Pertama, hari itu guru olahraga menantang anak-anak untuk melakukan petualangan pencarian jejak berkelompok saat mata pelajaran olahraga di akhir-akhir semester. Pembagian kelompok dimulai, seperti biasa aku berkelompok dengan swa, swi, swu, swe, swo, dan dua atau tiga teman lainnya aku lupa. Perempuan di bagi menjadi dua kelompok begitu juga dengan anak laki-laki. Sudah menjadi kebiasaan bahwa kelompokku akan menjadi kelompok yang terakhir berangkat dan untungnya kelompok Anang dan kawan-kawan bersedia menunggu dan berjalan tepat di depan barisan kami.

Rintangan pertama yang harus kami lewati adalah sebuah sungai di tengah sawah sekitar dua kilometer dari belakang sekolah. Betapa kagetnya kami ketika melihat bahwa sungai tersebut berarus cukup deras. Ternyata kami berjalan di rute yang salah. Salah? salahkan kelompok ambi yang berjalan paling depan. Dua kelompok paling belakang  terlalu banyak tertawa dan bercanda sehingga hanya mengikuti yang sudah berjalan terlebih dahulu. Kelompokku mulai kesulitan menghadapi rintangan pertama, hanya aku dan swo yang bisa berani melewati arus tanpa mengalami kesulitan. Alhasil aku dan dia menjadi pasukan pembawa sepatu anak-anak yang lain yang sedari tadi hanya berteriak-teriak (aaaaaa.....aaaa.....entah dulu aku benci dengan teriakan perempuan semacam itu). Namun, dengan baiknya Anang dkk mengorbankan diri mereka menjadi pagar betis, bergandengan menantang arus dan kami si anak-anak perempuan bisa berpegangan pada mereka dan menyebrangi arus. Rintangan pertama selesai, semua anak basah kuyup. Tentunya selain aku dan swo.

Rintangan yang lain yang menantang adalah rintangan terakhir yaitu menuruni tebing. Seharusnya tidak lewat tebing yang securam itu. Hanya saja kata mereka (kelompok Anang) akan lebih cepat jika memotong tebing yang ini. Anak-anak perempuan yang lain tidak bersedia, hanya aku dan swo yang bersedia. Oke, aku melemparkan sepatu-sepatu yang kami bawa pada kelompok laki-laki dan aku mulai merosot menuruni tebing dan merangkak-rangkak naik di tebing setelahnya. Aku tak peduli lagi apakah kulit-kulitku akan tergores atau tidak. Apakah aku akan terlihat anggun atau tidak. Benar saja, aku, swo dan kelompok anak laki-laki sempat beristirahat sebentar dan bercanda menunggu anak-anak perempuan yang masih terdengar dengan teriakan khasnya aaaaa......aaaaa......aaa.

Sampai di sekolah kami semua dalam kondisi basah. Walaupun tidak memenangkan games petualangan kali ini, kegembiraan hari itu melebihi nilai sembilan yang diberikan pada pemenang. Kelompok pertama memang menang, tapi mereka kupikir tak memiliki rasa solidaritas dan kepedulian. Acara berikutnya adalah mandi bersama di kran depan kelas. Tak peduli laki-laki maupun perempuan yang penting kami membersihkan kaki dan tangan. Aku juga lupa darimana kami mendapatkan sabun dan selanjutnya membeli baju dalam bersama di swalayan Istiqomah samping sekolah.

Mata pelajaran berikutnya setelah kami berbasah-basahan bersama adalah matematika. Sudah kembali dengan seragam putih-biru hanya saja tanpa alas kaki. Guru matematika kami yang kebetulan adalah wakil kepala sekolah awalnya marah kenapa kami semua tidak beralas kaki. Namunn, setelah beliau mendengar cerita kami hanya tertawa dan tetap melanjutkan pelajaran. Dan aku kena ganjaran mengerjakan soal ke depan. Lupa, mungkin karena aku tertawa terlalu keras atau asyik berdebat soal bola dengan Yudha Eka dan Fendi yang duduk di belakangku.

Oh ya, aku ingat mungkin karena tulisan-tulisan yang kami menyebutnya graviti waktu itu. Seharusnya belum bisa disebut semacam itu hanya tulisan berwarna-warni mungkin. Tulisan nama-nama klub sepak bola favorit kami. Arsenal mewakili aku dan Anang, Inter mewakili Ndo, Chelsea mewakili Fendi, Juve mewakili Yudha Eka, Tottenham mewakili Yudha Oon, Leverkusen mewakili Wawo, Blackburn mewakili Al dan Mahesa Jennar/PSIS mewakili kami semua. Bu tatik (guru matematika) marah, menunjuk papan yang seharusnya menjadi papan kreatifitas bukan untuk menempel nama klub sepak bola seperti itu. Dan karena aku yang menulisnya, maka aku yang dikambinghitamkan oleh teman-teman. Apa boleh buat, untung aku memiliki reputasi baik di sekolah sehingga hukumanku hanya sebatas mengerjakan soal di depan kelas. Sialan, pikirku pada teman-teman yang lain.

Kerja-mengerjakan soal selesai. Melepas tempelan di papan kreatifitas juga selesai. Tinggal satu jam pelajaran terakhir, bimbingan konseling. Tak ada yang istimewa awalnya, hanya ceramah dari Bu Endang. Namun, tiba-tiba Ndo, Anang, Sigit, Yogi, dan Yudha Eka maju ke depan. Aku tak tahu apa yang ingin mereka lakukan. Ke toilet berjamaah lagi? Tak mungkin, mereka sudah pernah ketahuan kalau ternyata janjian makan di kantin. Bukan benar-benar pergi ke toilet. Aku hanya melihat mereka berjajar di depan papan tulis. Bu Endang pun kaget.

Tak kalah terkejutnya, mereka tiba-tiba bernyanyi layaknya boy band. "Bu, teman kami ada yang ulang tahun hari ini," itu intro dari lagu yang mereka nyanyikan.

Hari ini...hari yang kau tunggu
bertambah satu tahun..
Usiamu...
Bahagialah kamu...

Lagu selamat ulang tahun dari Jamrud ternyata mereka nyanyikan untukku. Hari itu adalah hari ulang tahunku. Kemudian aku ikut maju ke depan bersama mereke dan bernyanyi. Tanpa kue, tanpa tiup lilin, dan tanpa kado yang besar. Hanya saja, ini adalah ulang tahun istimewa yang kedua setelah yang kualami sepuluh tahun sebelumnya. Tak banyak yang bisa kukatakan, hanya bersyukur ketika itu bahwa aku memiliki teman seperti mereka. Meski, tagihan untuk membawakan kue untuk mereka esok hari menjadi ending yang menyebalkan perayaan ulang tahunku hari itu.

Terima kasih teman-teman, itu adalah hari ulang tahun terindah yang masih bisa aku ingat sampai saat ini. 

Komentar