Sepucuk Surat Kepada Angin



Ini surat kutuliskan kepada angin. Meski mungkin, hanya menjadi surat yang tak akan pernah sampai. Terabaikan atau terbang tanpa arah. Dialah angin, aku tak pernah tahu kemana ia akan berhembus. Sesekali padaku, dan selanjutnya menghilang. Sepucuk surat yang sejatinya aku lebih ingin untuk berteriak, hanya saja aku takut. Jikalau angin justru menghempaskanku lebih jauh. Biarlah aku duduk dan berhenti sejenak di tempat ini, menulis sepucuk surat dan meninggalkannya pada angin. Kalau-kalau surat ini bisa teralamatkan dengan benar.

Teruntuk kekasihku,
Angin

Kau, aku bukan sebatas memujamu. Meski mencoba aku tidak pernah memujamu.. Hanya saja aku menyayangimu dan aku tak pernah tahu mengapa aku harus menyayangimu. Aku bahkan tak pernah bisa menemukan alasan yang bisa menguatkan akalku untuk aku berkata aku menyayangimu. Hanya saja hatiku selalu meneriakkan kata itu, memaksaku sekeras itu hingga aku tak mampu menahan diri untuk aku berteriak, “Aku menyayangimu”.

Teruntuk kekasihku,
Angin

Aku pikir kenapa aku berhenti disini menunggumu karena aku menemukan alasan untuk aku tersenyum. Aku menemukan alasan untuk aku tertawa tanpa harus memaksa aku harus tertawa dan berpikir untuk bagaimana aku bisa tertawa. Hanya sesederhanan itu. Dan aku juga tak perlu memaksakan diri untuk mencoba merasa nyaman. Rasanya begitu hangat saat aku bisa bersandar. Hanya sesederhana itu. Aku pikir aku sudah menemukan teman yang bisa selalu menenangkanku saat aku takut, bersandar saat aku letih, mendengar, memahami, dan menjaga. Mungkin yang terkahir ini sedikit tidak sederhana. Dan semuanya menjadi semakin rumit.

Teruntuk kekasihku,
Angin

Benar, tidak sesederhana itu. Mungkin karena aku bukan manusia yang sederhana. Ku kemas diriku menjadi sederhana, bertindak sesederhana mungkin, dan selalu ingin menjadi sederhana. Kenyataanya aku tetaplah aku. Manusia dengan pikiran dan hati yang tak pernah sederhana. Sungguh pun aku tak pernah mampu menutupi kekukaranganku ini. Aku tidak memiliki kemampuan untuk berpikir dan bertindak dengan sederhana.

Awalnya hanya duduk manis, menunggumu. Bersendau gurau sesekali dan menagih janji romantisme malam hari. Dalam buaian hembusan angin. Namun, lama-kelamaan semuanya memudar. Mungkin sudah menjadi hambar. Bukan, bukan aku kehilangan rasa sayangku pada angin. Hanya ketidaksederhaan berpikirku membuatku selalu merasa takut. Kalau-kalau angin yang sejenak berhembus pergi tak akan pernah kembali. Aku mulai berteriak, memukul-mukul, menangis, memanja, mencuri perhatian. Apapun, aku mulai bertindak tidak sederhana. Tanpa menurutkan akal hanya rasa takut yang kuagungkan. Kuakui aku bodoh, tapi apa yang bisa kukendalikan  jika ini memang terlalu kuat. Kekasihku angin mulai enggan berhembus.

Ingin kukatakan padamu kalau aku menyimpan ketakutan yang teramat dalam. Mungkin lukaku belum kering benar dan semakin kulukai diriku sendiri. Hingga luka itu belum pernah mengering dan menjadi sebuah ketakutan yang teramat kuat. Aku bisa berteriak, menangis, bahkan lebih dari itu. Menyakiti diriku sendiri. Hanya untuk menutupi rasa sakit saat ketakutan itu menjadi. Dan aku mulai menjadi manusia tidak normal saat itu. Pun aku membuat kau semakin enggan. Hanya saja bagaimana aku bisa menjelaskan dengan diterima akal jikalau aku juga tak bisa menerima dengan akal sehat dengan apa yang sudah kulakukan. Dan jika pikiranku sudah kembali normal aku hanya bisa menyesal.
Kau sudah beranjak satu langkah ke belakang. Rasanya seperti itu.

 Jika saja kau mengijinkan aku akan sangat berterima kasih. Jika saja kau mau aku akan sangat berhutang budi. Bantulah aku menjadi manusia yang sederhana, aku akan mendengarmu. Meski sulit, aku akan melakukannya. Bukan aku tidak ingin menjadi aku. Hanya ini juga menyulitkan diriku sendiri. Dan aku selalu gagal membuat akhir dari ceritaku hanya karena kekonyolan seperti ini. Tidak benar kalau aku hanya menyalahkan diri sendiri. Hanya saja memang kuakui aku memiliki andil untuk lukaku sendiri. Aku mencipta ketakutanku sendiri. Aku sendiri yang membangun manusia seperti aku sekarang ini.

Teruntuk kekasihku,
Angin

Mungkin sudah saatnya aku menyerah. Aku harus berjalan diatas kakiku sendiri dan menjadi sederhana dengan jalanku sendiri. Jikalau aku hanya menimpakan beban dan memperumit keadaan sudah sepantasanya aku tau diri. Bukankah sudah banyak yang menantikanmu dan mampu menemanimu duduk disini dengan lebih baik. Menjagamu dengan lebih baik. Memujamu dengan lebih baik. Dan memberikan senyuman lebih baik. Bukan aku.

Sedari awal aku hanya seperti berperang. Menarik perhatian yang kupikir aku akan mampu, ternyata tidak. Aku tetaplah aku. Aku tak memiliki apapun yang bisa kuberikan dan lebih banyak meminta. Seharusnya aku menyerah dari awal. Dia, dia, dan dia atau siapa lagi aku tau mereka lebih baik. Putih. Apapun bentukku hatiku teramat hitam dan seberapapun aku mencoba menunjukkan ketulusanku aku akan tetap terlihat hitam. Benarkah masih ada dendam?

Benar bukan?  Surat ini semakin tidak beralur karena ketidaksederhanaan pikiranku itu mulai muncul. Aku mulai merasa takut tersingkirkan, terabaikan, dan akhirnya terbuang. Mungkin aku akan lebih merasa takut untuk terbuang daripada tersakiti. Bahkan aku tak lagi merasa sakit disaat mungkin orang merasa sakit dengan perlakuan semacam ini. Biarlah, bukan karena aku masih menyayangimu. Tapi, aku menyayangimu. Hanya sesederhana itu. Tak kutemukan alasan untuk aku harus membencimu. Meski puluhan kesalahan kukeluhkan, aku tak bisa menaruh benci.

Jika aku menurutkan hatiku, ingin rasanya aku tetap disini menunggumu. Bersabar dan tetap berharap pada hasil akan sebuah ketulusan. Hanya saja itu tidak mungkin. Aku tidak bisa egois memikirkan diriku sendiri hanya karena aku menginginkanmu dan aku membutuhkanmu. Seharusnya apa yang membuatmu tersenyum itulah yang aku pikirkan. Jika aku mau menjadi manusia yang sederhana. Dan aku ingin menjadi seperti itu.

Teruntuk kekasihku,
Angin

Sepucuk surat ini kutinggalkan. Mungkin sudah akan lenyap oleh hujan sebelum kau membacanya, karena mungkin kau tak akan pernah kembali kesini.
Sepucuk surat untuk mengabarkan aku menyerah. Bukan aku sudah tak ingin lagi. Hanya saja menjadi manusia sederhana inilah yang harus aku lakukan. Bukan menimpakan beban dan membuatku semakin sulit. Menggenggammu dan kau akan sulit berhembus.
Aku janji aku akan beranjak perlahan meski aku meminta sedikit waktu. Menarik nafas perlahan dan mengokohkan langkah kakiku. Aku takut jikalau langkah kakiku belum kokoh dan aku akan jatuh. Siapa yang akan membantuku berdiri jika aku harus terjatuh, sebelumnya bukankah kau yang melakukannya untukku?

Sepucuk surat ini kutinggalkan dan aku ingin mengucapkan selamat tinggal. Terima kasih untuk sejenak waktu yang singkat dan maaf jikalau aku terlalu banyak menyusahkan. Tak perlu aku bermelankolis terlalu lama bukan? Kau akan baik-baik saja dan seharusnya aku merasa tenang. Bukan justru tidak ikhlas dan takut semacam ini jikalau akan ada yang menjagamu dengan lebih baik.

Selamat tinggal, aku hanya ingin menyayangimu dengan sederhana dan sepucuk surat ini kualamatkan.
Teruntuk kekasihku

Angin

Komentar

Posting Komentar