Lagi, Cerita Tentang "Aku"

Aku tidak menunggu hembusan angin akan kembali. Aku tidak menunggu senyuman itu kembali dipinjamkan. Aku yang memiliki senyumanku sendiri dan tak seorangpun meminjamkan senyuman kepadaku. Murni, ini keputusanku sendiri untuk tersenyum atau tidak tersenyum.

Menyusuri jalanan tanpa ujung, berpindah dari satu mesin bergerak ke mesin bergerak yang lain. Aku tak tahu kemana aku menuju. Hanya ingin menjadi orang terasing dan aku ingin berpikir. Sejenak menyusun skenario kehidupan yang mungkin terjadi, sesekali berdialog dengan kepalaku sendiri dan bermain peran. Menjadi seorang motivator, aktris melankolis, dan sesekali menjadi penceramah agama dengan sejuta ayat berkumandang juga dzikir. Hanya untuk satu tujuan, aku ingin hatiku merasa tenang.

Jalanan yang rasanya begitu panjang, terik, juga peluh, menemani aku berpikir lebih pada realitas kehidupan. Mengapa aku tak kunjung menjadi seorang wanita dewasa? Aku yang mengaduh saat terjatuh, menangis, dan mendramatisasi setiap adegan yang terjadi dalam kehidupanku sendiri. Mengapa aku tak bisa berjalan pelan tanpa harus menatap jauh ke depan? Hanya memperhatikan langkah kakiku agar tak tersandung oleh batu sekecil apapun juga lubang yang tak terlihat. Apakah karena aku seorang pemimpi? Entahlah, aku hanya mengagungkan pemikiranku sendiri. Seperti aku hidup dalam pikiranku sendiri yang sudah kususun setiap adegannya bahkan dialognya bak sebuah rancangan film.

Seharusnya aku memahami, ini hanya proposal kehidupan yang kususun dan masih harus menunggu persetujuan. Bukan menganggapnya sebuah grand design yang sudah pasti akan berjalan berdasarkan aturan itu. Pemilik kehidupan belum memberiku persetujuan, dan rancangan menurut-Nya selamanya akan berada diluar pengetahuanku. Aku hanya akan tahu setelah itu terjadi dan itulah yang direncankan-Nya. Seharusnya aku sudah paham tentang itu. Kemana pula ingatanku setiap jam duduk bersama Pak Guru selama 12 tahun di langgar tua itu? Semua ajaran itu masih dikepalaku tapi aku menganggapnya seolah telah menguap oleh ego dan ambisi pribadiku. Ambisi? Ya, aku sudah kehilangan itu.

Seharusnya aku tak seperti ini. Bersandar di sudut ruangan dan merenung hanya karena sedikit luka kehidupan. Bukankah diluar sana masih banyak orang dengan luka yang jauh lebih banyak dari yang aku miliki? Aku mulai berpikir seperti seorang bijak. Dan sisi lain dari diriku tetap merajuk seperti bocah yang tetap menginginkan mainan yang sama karena ia terlalu menyayanginya. Dan inilah bagian yang selalu tidak aku inginkan, menjadi musuh diri sendiri. Ini adalah bagian paling melelahkan, berperang dengan diriku sendiri. Sepanjang sisa waktu hingga langit beranjak gelap dan sudah sebarapa panjang jalanan kota ini yang aku susuri, aku masih berdebat dengan isi kepalaku sendiri. Hatiku masih merajuk, tak ingin berkompromi.

Sudahlah, aku pulang meski tanpa hasil yang berarti. Aku tak bisa memaksanya terlalu keras atau ia hanya akan berteriak lebih keras lagi dan membuatku semakin kualahan untuk menenangkannya. Aku akan berbicara dengannya lebih banyak lagi dan lagi juga dengan perlahan. Semoga waktu mau bekerja sama denganku dan peperangan ini akan segera berakhir. Aku sudah lelah jikalau hanya berdiam di sudut sunyi, hanya diam. Ini bukan aku. Aku harus berlari dan menari, juga berteriak dan bernyanyi. Aku memiliki senyum yang selalu ingin aku pamerkan kepada siapapun. Aku mendapatkan senyumku sendiri, dengan mimpi dan perjuanganku sendiri. Dan mengapa sekarang aku harus menenggelamkannya dan menjadi pemurung? Jikalau memang aku belum bisa menjadi wanita dewasa setidaknya aku akan tetap menjadi seorang gadis kecil yang selalu tersenyum.

- Aku tidak menunggu hembusan angin akan kembali. Aku tidak menunggu senyuman itu kembali dipinjamkan. Aku yang memiliki senyumanku sendiri dan tak seorangpun meminjamkan senyuman kepadaku. Murni, ini keputusanku sendiri untuk tersenyum atau tidak tersenyum. - 

Komentar