Namanya Iman, Dia Ingin Sebuah Balon


Aku merasa ada perasaan cinta berlebih yang kumiliki dan aku memutuskan untuk mencari kemana aku bisa memberikan perasaan berlebih yang sedang menyiksa akal dan batinku saat itu. Langkah kaki membawaku menuju satu taman yang baru pertama kali aku mengunjunginya. Cukup ramai, hanya saja aku tak mengenali siapapun dan aku tak menemukan orang asing yang tiba-tiba kutelepon dua hari sebelumnya dan memintaku datang ke taman itu. Menunggu satu jam, aku membuang pandanganku pada sekumpulan bocah yang bermain riang. Mungkin mereka tinggal di sekitar sini, aku tak melihat mereka bersama orang-orang dewasa (orang tua) yang menemani.

Awalnya aku bosan menunggu tanpa jawaban orang yang sudah berkali-kali kuhubungi dan gagal, aku memutuskan ingin pulang. Dan ternyata melawan sedikit rasa kesal aku mendapatkan hadiah senyuman yang sangat menawan. Indah namanya, seorang gadis Aceh (teman yang kudapatkan dengan SMS sok kenal) memperkenalkanku dengan teman-teman kecilnya. Iman namanya, si anak lelaki berumur 4 tahun yang mencium tanganku pertama kali. Dia tersenyum riang melihatku, meski baru pertama dia bertemu denganku dan aku merasa dia cukup menerima kedatanganku. Lega rasanya. Aku berharap anak-anak yang lain juga akan menerima kedatanganku seperti Iman.

Achi, gadis kecil yang berfoto di depanku menjadi teman kecil kedua yang berkenalan denganku. Dia tampak malu-malu, hanya saja sepanjang sore itu dialah yang selalu menempel padaku. Aku senang dia menyukaiku. Selanjutnya Damar, Rafi, Arifin, Agus, Waroh, Rama, dan beberapa lagi aku lupa namanya. Maaf teman-teman kecilku, aku sudah mulai pelupa sekarang. Tapi tenang, aku akan tidak akan lupa lagi nama kalian setelah pertemuan kedua kita nanti dan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Dengan senang hati, aku akan menjadi teman kalian. Tapi maaf, aku tidak pandai melucu. Mungkin aku bisa mendongeng sesekali, meski juga tak selucu Kak Wahyu.

Aku tak pernah menyangka, kehadiran kami (aku dan tiga teman baru sok kenalku) menjadi hadiah yang menyenangkan untuk sore hari anak-anak itu. Meski hanya bertutur dongeng sederhana dengan media seadanya juga sedikit biskuit, mereka terlihat tertawa begitu senang. Tapi inilah anak-anak, mereka bahagia lebih banyak dan tersenyum lebih lepas. Dan entah kekuatan apa yang menarikku, aku tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum saat berbicara dengan mereka, saat melihat mereka tertawa. Inilah yang aku inginkan, tertawa bersama mereka dan lebih banyak lagi nanti. Lagi dan lagi. Ini hidup yang selalu ingin aku dapatkan, berbagi senyum. Aku sangat menyukai senyum, seolah semesta menjadi begitu indah saat semua orang tersenyum. Hanya sesederhana itu, melihat orang lain tersenyum.

Ingin aku bercerita panjang, tapi nanti saja. Ini baru awal, aku masih ingin menyimpannya sendiri. Sebagai senyumku sendiri saat aku mengingatnya. Tenang, nanti aku akan berbagi lebih banyak lagi. Mungkin, kali ini aku akan memulai dengan bercerita tentang satu teman kecilku saja yang bernama Iman. Bukan, aku belum banyak mengetahui tentang latar belakang mereka. Aku hanya tahu mereka tinggal di perkampungan ilegal sekitar dan orang tua mereka sebagian berjualan di depan taman.

Ya Iman, namanya Firman hanya saja ia lebih suka di panggil Iman. Dia memilih duduk dipangkuanku sore itu. Tak lama, ia beranjak. Seperti ada yang menarik pandangannya. Dan beberapa menit ia kembali lagi. Iman menunjukkan apa yang ia dapatkan, sebuah balon pink bekas yang sudah meletus. Sepertinya dia tertarik dan berusaha meniup balon itu tapi gagal. Dan aku mencobanya, juga gagal. Bagaimana tidak, itu hanya bekas letusan balon karet. "Iman mau balon?" Ia hanya mengangguk dan tersenyum menatapku. Tetap duduk di pangkuanku menunggu Kak Wahyu yang akan mendongeng sore itu. Aku menatap sekeliling dan aku tak menemukan ada penjual balon. "Iman mau balon?" pertanyaan bodoh yang kuulang dan lagi-lagi Iman mengangguk dan tersenyum. "Minggu depan Kakak kesini lagi dan Kakak bawakan balon ya?" Iman tak banyak bicara, hanya mengangguk sambil tersenyum dan dia bangkit dari pangkuanku. Menoleh padaku, dan berjalan menghampiri teman yang lain.

"Janji Iman, Kakak akan datang lagi dan membawakan balon untuk Iman," aku berjanji dalam hati. Ini janjiku pada teman kecilku yang selalu tersenyum. Iman dengan ringan tangannya meski langkah kakinya masih sangat kecil berlari memanggil teman yang lain untuk mendengar cerita Kak Wahyu. Tak banyak bicara tapi selalu tersenyum, meski aku tahu saat itu tubuhnya sedang sakit. 

Entah, kenapa sore itu berjalan terlalu cepat. Aku hampir saja ingin mengumpat, kenapa langit tiba-tiba menjadi gelap? Menyalami kami satu per satu, teman-teman kecil kembali ke rumah mereka masing-masing. Berlarian, layaknya anak-anak. "Sampai bertemu minggu depan Iman, akan ada balon untukmu." Aku juga melangkahkan kakiku meninggalkan taman yang akan menjadi tempatku bermain setelah ini. Nama teman kecilku Iman dan dia ingin sebuah balon.

Komentar