Ilalang



Beranjak senja, aku memandangi lukisan langit paling indah dipadang rumput ilalang. Menikmati semilir
angin untuk irama tarian ilalang, juga  nyanyian. Apakah kalian tau aku berbicara pada ilalang?
Ini tiba waktu kunjunganku, kuharap ada cerita kehidupan yang menarik yang bisa kudengar dari
setangkai ilalang.

"Hai, kau datang lagi? Kenapa sudah lama sekali?"
"Lama?Benarkah?"
"Ya, sangat lama. Apa kau tak tahu sudah hampir layu batangku menunggumu untuk aku berbisik
tentang ceritaku."
"Layu? Bukankah kau ilalang? Layu pun kau tak akan mati."
"Baiklah, tapi memang aku sudah menunggumu. Lain kali jangan datang terlalu lama."
"Aku tidak berani berjanji."

Mendengarkan ilalang berbisik tentang ceritanya aku tetap tidak membuang mataku untuk melihat
langit. Dia, ilalang, dia sedang berkeluh kesah jikalau dia lelah.

"Lelah? Kaupikir hanya kau yang merasa lelah? Semua juga merasakannya."
"Ya, aku tahu tapi aku benar-benar lelah dengan seperti apa orang melihatku."
"Bagaimana orang melihatmu?"
"Kuat. Tak bisa mati. Tak perlu dirawat. Yang semacam itu."
"Bukankah justru bagus? Itu berarti kau dianggap bisa diandalkan."
"Tidak. Terkadang aku juga butuh bergantung seperti benalu. Aku lelah menjadi setangkai ilalang."
"Lelah? Serakah."

Biarkan saja ilalang mengeluh akan kelelahannya, sebagai teman yang baik aku hanya ingin
mendengarkannya. Aku tahu ia yang butuh didengarkan meski aku juga paham jikalau bagaimana pun dia tetap seorang perempuan. Kuat, tapi lemah. Apa perempuan? Hei, dia setangkai ilalang.

Komentar