Secangkir Teh Susu

Entah, sudah berapa kali aku mengatakan aku menyukai malam. Cinta yang juga kurasakan tak pernah berakhir pada malam dan keteduhan. Di depan secangkir teh susu aku duduk memandangi keindahan malam dari sudut kamarku. Gemerlap lampu mobil yang seolah seperti barisan semut berjalan lambat. Juga lampu-lampu gedung pencakar langit yang terlihat angkuh. Disini, di lantai 23 ini aku memandangi malam dan memuja bulan yang bersinar terlalu sempurna.

Hanya duduk, aku membiarkan pikirku berkelana. Bebas. Kemanapun ia ingin melangkah, juga bermuara sejenak. Ternyata pada Ibu. Pikirku menghantarkan kesana. Mungkin aku terlalu sering memikirkan ibu hingga setiap kali ia kubiarkan bebas berkelana, bayangan ibu adalah yang akan menyambut pertama kali. Ibu, aku sedang merindukannya. Aku membiarkannya pikirku memutar film dokumenter aku bersama ibu, hanya dalam kepalaku.

Hari kemarin, juga kemarin lagi, mungkin pada hari-hari sebelumnya juga. Pun sudah sejak lama. Entah, mengapa aku begitu mudah memperlihatkan emosiku pada ibu. Sedih, bahagia, juga marah. Marah? Aku tak mengerti pada perangaiku sendiri mengapa aku bisa sangat marah pada ibu. Seharusnya tidak seperti itu. Entahlah, sangat mudah untukku mengungkapkan rasa marah pada ibu dibandingkan pada orang lain. Tanpa rasa takut, tanpa rasa khawatir. Marah? Mungkin karena aku tau ibu tak akan pernah marah padaku seberapa buruk pun perangaiku padanya. Sebanyak itu aku marah pada ibu, dan sebanyak itu pula aku selalu ingin membuat ibu tersenyum.

Hari kemarin, juga kemarin lagi, mungkin pada hari-hari sebelumnya juga. Belum lama. Aku menangis sambil bertutur kisah yang mungkin tak sebepara penting. Mengisak, seolah dunia memperlakukanku dengan teramat kejam. Bahkan berkata jikalau Tuhan terkadang tidak adil. Bodoh. Seolah aku tidak menggunakan akalku untuk berpikir. Aku sudah dewasa, tangisan ini tidak sama dengan tangisanku 20 tahun lalu saat aku menangis meminta buku gambar baru. Tangisan yang sekarang ini akan membuat ibu ikut terluka juga khawatir. Menangis di depan ibu? Mungkin karena aku tau hanya ibu yang akan selalu mendengarkan dalam diam tanpa harus mengumpat dan memberikan nasihat yang sedang tidak ingin aku dengar.

Hari kemarin, juga kemarin lagi, mungkin pada hari-hari sebelumnya juga. Baru kemarin. Aku tertawa bahagia di hadapan ibu tanpa peduli dia yang sudah terlalu rindu ingin memelukku. Nanti. Seperti ini pun aku masih tak mengerti. Masih mengedepankan keegoisanku sendiri untuk menjadi pusat perhatian ibu. Sedangkan padanya? Aku abai. Tertawa selepas itu di hadapan ibu? Mungkin karena aku tau ibu sudah merasakan pahit dan getir kehidupan lebih banyak. Ibu akan selalu tahu untuk memberiku peringatan tanpa harus membuatku menghentikan tawa itu,  menahan rasa bahagia dan membuatku takut.


Hanya ibu. Dia yang paling tahu jikalau memang emosiku terlalu cepat berubah. Marah, menangis, bahagia, ekspresi yang terlalu cepat aku keluarkan. Dan ibu sebenar-benarnya tahu jikalau ia tak perlu memikirkan tentang emosi itu terlalu dalam. Hanya sementara dan akan berganti secepat semilir angin. Berganti secepat semilir angin? tentu saja bukan untuk cinta. 

Komentar

Posting Komentar