Setangkai Mawar Sore Itu


Hari baru beranjak sore dan matahari masih cukup terik di kota ini. Aku mulai gusar dengan jalanan kota yang sudah terlalu padat. Bukan hari kerja, juga belum beranjak malam. Sudahlah, aku bukan gusar dengan kemacetan yang membuatku tidak nyaman. Sudah biasa. Aku hanya ingin sampai di tempat yang kutuju, secepatnya. Dengar? Secepatnya! Memutuskan berjalan kaki, aku mengambil langkah seribu mengejar waktu. Bukankah ada yang mengajariku untuk tidak tergesa? Aku lupakan sejenak, ini soal hati sekali lagi. Tidak ingin berkompromi sejenak dengan tata krama. Hanya mengejar waktu yang seolah ingin berlari, bukan lagi berjalan menuju malam pun penghujung hari.

Memperlambat langkah kaki sembari mengatur nafas. Menyapa pramusaji sejenak dan menanyakan meja yang ingin kutuju. Menuju kursi di ruangan tersendiri paling ujung. Disana. Dia yang duduk menunggu bersama gadget kesayangannya. Ini bukan kali pertama. Hanya saja setiap kali mengulang yang seperti ini, rasa yang muncul tetap sama. Menggebu, bahagia, dan tidak sabar. Mengambil posisi duduk terbaikku aku mulai menyapa dengan senyum. Senyumku berbalas, juga setangkai mawar yang aku selalu menyukainya. Setangkai mawar kau bawakan untukku. Aku menyukai setangkai mawar seperti aku menyukai malam dengan gemerlap cahaya. Indah dan menenangkan.

Menggenggam setangkai mawar, aku akan selalu memiliki rasa yang sama. Cinta. Bukan karena setangkai mawar. Bukan sekadar untuk senyuman. Bukan juga semata untuk mendapatkan cinta yang sama. Meski aku juga tidak tahu untuk apa. Hanya hati dan akalku selalu membisikkan rasa yang sama tanpa tahu alasannya.

Menggenggam setangkai mawar hingga kita menyusuri malam. Pun getar senar gitar yang tak berirama. Haha, ya, gitar. 

Komentar