AKU MEMAAFKANMU; AYAH

Tidak ada ikatan yang lebih kuat dibandingkan dengan ikatan darah. Ikatan ibu dan anak. Ayah dan anak. Sejauh apapun meninggalkan. Ikatan ini tak akan pernah lenyap. Sekeras apapun melupakan. Ikatan ini akan membawa untuk mengingat. Ini adalah cerita tentang dua perempuan yang ditinggalkan. Ayahnya yang kembali pulang. Dan seorang suami yang menghilang kembali meminang. Memaafkan, adalah harta yang selalu dimiliki oleh perempuan. Kami. Perempuan.


Waktu itu aku masih kelas 6 SD. Setelah 7 tahun akhirnya aku bisa memunculkan rasa sakit itu. Aku menendang satu-satunya karya ayah yang masih tersisa di rumah. 
"Nak, itu punya Bapak," Ibu langsung memungut sebuah patung kuda yang sudah pecah menjadi beberapa keping. 
"Aku tidak punya Bapak Bu. Bapak sudah mati!"
Langsung saja kutinggalkan Ibu sebelum kejadian itu menjadi sebuah drama yang akan membuat Ibu menangis. Ibu selalu menangis. Aku muak. Bukan aku tidak mengerti kesedihan Ibu. Setiap hari aku melihatnya. Hanya saja, kenapa harus Ibu menangisi pria itu. Sudah 7 tahun berlalu. Pria yang tak pernah sekalipun mengingat kami. Apakah ini yang disebut dengan istilah ayah? Tidak! Dia hanya pria yang tak punya hati.

***

Akan kuceritakan tentang ayahku. Dia adalah seorang seniman. Dia membuat ukiran dari kayu. Dia melukis. Dia membuat patung. Ayahku seorang seniman yang berbakat dan tampan. Membuat banyak wanita selalu memasang wajah iri pada ibuku. Gadis dari pelosok Jepara yang dinikahi ayah setelah ayah belajar menjadi pemahat kayu di sana. Gadis polos yang terlalu naif pada cinta seorang pria. 

"Berapa beruntungnya kamu mendapatkan suami seperti dia. Tampan dan sangat penyayang," seloroh ibu-ibu setiap kali melewati depan rumah kami. Bagaimana tidak? melihat pemandangan seorang pria tampan. Berkulit putih, berambut gondrong yang selalu terikat rapi, berbadan tegap, tengah menggendong seorang bayi. Menemani istrinya yang sedang menyirami kebun bunga kecil kesayangannya. Gadis berkulit hitam. Pendek. Sedikit gemuk dan berambut keriting. Namun, senyumannya sangat manis. 

Hah. Omong kosong! Ibuku adalah wanita yang tidak beruntung dinikahi oleh ayah. Lihat saja sekarang. Rumah reot bahkan sudah siap untuk roboh jika hanya untuk disapu angin musim hujan. Dan Ibu? terlihat sangat tua meski usianya belum genap 35 tahun. Dan dimana ayah? Kalian tahu dimana ayah? Aku juga tidak tahu dimana ayah. Hilang. Mungkin sudah mati. Kuharap seperti itu. Biarlah aku menjadi anak durhaka. Aku kesal dengan ayah. Aku ingin membenci ayah. 12 tahun aku mencoba membenci ayah. Apakah aku bisa? Entahlah.

Sekarang usiaku sudah 17 tahun. Aku akan beranjak dewasa. Apakah aku merindukan ayah? Bahkan, aku sudah lupa bagaimana cara merindukannya. Ingin kuceritakan bagaimana dia, lelaki tampan Ibu meninggalkan kami? Jika sudah kuceritakan mungkin semua orang akan paham mengapa aku selalu berusaha untuk membenci ayah. Ini cerita yang tak pernah kudengar dari mulut ibuku. Cerita ini kudengar dari om, tante, nenek, kakek, juga siapapun yang pernah membicarakan kisah tentang ayahku. Kepingan yang kukumpulkan sendiri. Mungkin yang akan kutanyakan pada Ayah jika dia kembali. Kembali? Jangan mimpi! Tidak. Aku hanya percaya Ayah akan kembali. Entah dalam kondisi hidup atau sudah jadi mayat. 

Hari itu aku masih berusia 5 tahun. Adik laki-lakiku masih berusia 2 tahun. Malam itu aku tidur nyenyak dengan Aldo. Aku tidak mendengar teriakan Ibu yang memanggil-manggil ayah yang melompat dari jendela kamar. Ayah tidak bunuh diri. Tapi ayah kabur. Tanpa membawa apapun ayah melompat dari jendela yang dan mengira Ibu sudah terlelap. Bagaimana Ibu bisa tidur dengan lelap jikalau beberapa hari ini ia lelah mengurusi acara perdamaian dengan wanita yang mengaku sudah berselingkuh dengan ayah dan meminta untuk dinikahi ayah. 

Kata paman (kakak laki-laki Ibu, yang memperkenalkan Ibu dengan Ayah. Dialah yang bertanggung jawab pada semua penderitaan Ibu) Ibu pingsan mendengar pengakuan wanita itu. Dan demi Ibu juga kedua anaknya, ayah lebih memilih memberikan sejumlah uang pada wanita selingkuhannya dan menyelamatkan pernikahannya dengan Ibu. Ibu tak bersedia dimadu. Haha, wanita mana yang dengan gamblang akan bersedia dimadu? Jika ya, kupastikan itu palsu. Perempuan selalu punya ego untuk sepenuhnya dicintai. Menjadi satu-satunya. Menjadi egois. Menjadi yang paling. Paling dicintai. Paling dirindukan. Paling dibutuhkan. Paling bisa diandalkan. Dan paling yang lain untuk suaminya.

Namun, malam itu ayah mengingkari janjinya sekali lagi pada ibu. Janji pernikahan yang sudah diingkari. Dan janji setelah ibu mau memaafkan perselingkuhan ayah. Ayah memilih kabur dan meninggalkan ibu tanpa ampun. Bertelanjang kaki malam itu, ibu juga ikut melompat jendela mengejar ayah yang sudah berlari terlalu jauh. Pun ibu tak pernah mendapat penjelasan mengapa ayah kabur. Hanya dengan hatinya ibu menerka bahwa mungkin ayah menemui perempuan selingkuhannya. Pergi bersamanya.

Keesokan harinya aku bangun dan menanyakan dimana ayah. Ibu hanya bilang kalau ayah sudah berangkat bekerja. Aku percaya. Meski sebenarnya ayahku lebih banyak bekerja di rumah dibandingkan di galeri milik bosnya. Jawaban yang selalu dikarang ibu setiap aku atau Aldo menanyakan dimana ayah. Kenapa ayah tak pulang. Kapan ayah pulang. Apa ayah tidak merindukan kami. Apa ayah sudah lupa pada kami. Hingga akhirnya aku sadar bahwa ayah tak akan pernah pulang. Ayah tidak pergi bekerja. Ayah tidak pernah mengingat kami. Ayah pergi.

***

Bosan. Harusnya aku merasa kasihan dengan ibu yang sudah membanting tulang mencari uang untuk membiayai pendidikan kami. Aku justru bosan berada di kelas dan belajar seperti ini. Bermain ponsel. Lebih banyak dibandingkan menjawab soal atau mencatat apa yang guru jelaskan di depan.

Ibu memutuskan untuk selalu menolak lamaran setiap pria pada ibu. Ibu bilang ibu belum bercerai dengan ayah. Padahal ibu juga sudah paham dalam agama kami ada batasan dimana ikatan pernikahan akan terputus dengan sendirinya. Ketika ayah tidak lagi memberikan nafkah lahir dan batin pada ibu dalam kurun waktu yang disebutkan dalam hukum agama. Ibu memilih menjadi buruh pabrik dengan upah murah tanpa ijazah yang cukup. Dan apa yang aku lakukan? Tidak memperhatikan pelajaran dengan baik. Hanya duduk di kelas. Bercanda dengan teman. Dan yang terpenting bagiku adalah ada uang jajan yang bisa kukumpulkan untuk membeli pulsa. Selama ponsel menyala, aku hidup.

Facebook. Adalah mainanku setiap hari. Seorang gadis remaja desa yang kenyang dengan tanyangan sinetron remaja yang selalu ingin kutiru. Aku tak begitu peduli dengan dunia maya yang palsu. Bagiku mereka nyata. Lebih nyata dari keberadaan ayah yang masih kuterka-terka. Tak lagi sering. Bahkan, nyaris lupa. Hari ini ada beberapa daftar permintaan teman. Foto seorang anak laki-laki berseragam sekolah. Sepertinya usianya tak jauh dari Aldo. Ada pesan yang dia tuliskan. 

Mbak, apakabar? Gimana kabar Mas Reivan?

Aku kaget. Reivan? Reivanaldo. Hanya ada dua manusia yang memanggil Aldo dengan nama Reivan. Ibu dan....Tidak mungkin! 

***

Dua hari berlalu. Aku beberapa kali menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan keganjilan yang aku rasakan dari teman dengan akun facebook bernama Ramayana Bayu. Aku pergi ke rumah Bu Sofi. Tetangga kami yang sering membantu kami. Bahkan, dia pula yang menasihati aku panjang lebar setelah mendengar aku dipukul Om Yan, adik ayah. Bagaimana dia tidak marah. Aku pulang tengah malam diantar seorang anak laki-laki dengan kondisi aku yang meracau. Mabuk. Entah apa yang diminumkan padaku pun aku tak tahu. Ah lupakan. Aku hanya melakukannya satu kali. Aku tak tega melihat ibu menangisi tubuhku yang dipukul Om Yan. Justru tidak ikut memarahiku. Ah, seorang ibu. Selalu begitu.

Entah apa yang membuatku menceritakan obrolanku dengan seorang teman aneh ini pada Bu Sofi. Mungkin, karena selain banyak membantu keluarga kami dia juga adalah sahabat ayah. Mereka berteman sejak kecil. Tak pernah terpisahkan. Semua orang di kampung bahkan berpikir bahwa Bu Sofi dan Ayah akan menikah. Ternyata tidak. Sama halnya seperti bisikan hati kecilku. Bu Sofi bilang itu adalah Ayah. Ayah yang ternyata masih ada. Ayah yang akhirnya mencariku. Ayah yang masih mengingat aku dan Aldo. Hanya saja, mengapa ayah tidak menanyakan soal ibu. Kutunjukan obrolanku dengan Ramayana Bayu pada Bu Sofi, tak ada yang dia tanyakan tentang ibu. Ah, sama saja!

"Mbak, ini ayah kamu. Bulek yakin. Sudah temui saja," Bu Sofi mencoba meyakinkan aku. 

Akun Ramayana Bayu mengajakku bertemu hari minggu nanti. Tidak di kota ini. Di Salatiga. Dari profilnya aku melihat bahwa Ramayana Bayu tinggal di Yogyakarta. Mungkin, ia belum siap melihat kota ini. Ah rasa-rasanya Tidak. Pernah, di suatu hari aku melihat ada seorang pria yang diam-diam memperhatikan aku dan Aldo di sekolah. Saat kami di sekolah dasar. Saat kami SMP. Dan sekarang aku sudah di SMK. Tapi pria itu selalu menutup wajahnya dengan helm. Menghilang secepat kilat saat aku memicingkan mata ingin tahu siapa dia. Pun kata Bu Sofi, tak mungkin ayah tidak pernah mencariku satu kalipun. 

"Apa aku mengajak Aldo juga Bulek?" tanyaku.
"Ajak saja. Kalian berdua sudah besar. Hanya saja jangan bilang sama ibuk dulu. Takut-takut kalau nanti ibuk mau mengantar dan Bapak malah tidak jadi bertemu,"jawab Bu Sofi. "Dimana Bapak minta bertemu Mbak?"
"Di terminal."

Dua hari lagi hari Minggu. Akhirnya aku memutuskan untuk bertemu Ramayana Bayu. Mungkin benar dia ayah. Atau hanya seseorang yang akan menyampaikan pesan ayah. Memberitahu kabar tentang ayah. Atau ingin mengantarkan wasiat ayah? Jangan! Ah, baru kali ini aku sangat berharap itu adalah ayah. Dan aku berharap ayah masih hidup. Bisa memelukku. Aku dan Aldo.

***

Hari Minggu yang dijanjikan Ramayana Bayu. Aku dan Aldo pergi pagi-pagi. Aku pamit pada ibu untuk pergi mengantarkan Aldo membeli sepatu. Bagaimanapun caranya aku harus memaksa ayah atau siapaun yang kutemui atas nama kerinduanku pada ayah nanti untuk membelikan sepatu baru untuk Aldo. Kubilang saja Bu Sofi kemarin menitipkan uang padaku untuk membelikan sepatu baru untuk Aldo. Sepatunya sudah bolong.

Perjalanan yang panjang dengan bus. Hanya 40 menit. Tapi, rasanya begitu panjang. Terlalu lama untuk membuat detak jantungku berlari tak beraturan. Menjawab pertanyaan-pertanyaan Aldo yang semakin membuatku kesal. Hampir saja aku menyumpal mulutnya dengan karcis bus. Ah, bagaimana aku bisa menjawab. Kami ditinggalkan ayah ketika kami masih sama-sama terlalu kecil. Aku masih beruntung bisa mengingat memori tentang ayah. Aldo? Tidak selain mengenal ayah dari album foto yang tersimpan rapi di kamar ibu. 

Sampai. Aku dan Aldo turun. Aku menggandeng tangan Aldo. Dan aku terkejut ketika ada pria tinggi dan tambun secara tiba-tiba memelukku dan Aldo.
"Ba...pak," ucapku lirih dan nyaris tak sempurna mengucapkan kata itu.
Pria itu menangis. Aku dan Aldo juga ikut menangis. 
"Mbak....Dek....ini Bapak," pria itu berkata-kata setelah hanya menangis beberapa saat sambil memeluk kami.

Pria yang bernama Bapak ini akhirnya membawa kami. Dengan motornya menbawaku dan Aldo ke sebuah pusat perbelanjaan. Dia membelikan apapun yang kami mau. Membelikan kami makanan yang kami ingin makan. Sebanyak apapun yang kami mau. Aku dan Aldo sibuk mencoba baju, sepatu, tas. Bahkan aku lupa untuk menanyakan dan mengucapkan kata-kata yang sebelumnya sudah kususun. Kata-kata yang ingin kuucapkan pada Ayah. Makian. Pertanyaan. Hingga cerita tentang bagaimana menderitanya ibu selama 12 tahun ini. Ah, benar ternyata. Aku tidak pernah membenci ayah. Aku terlalu merindukannya. Aku terlalu bahagia bertemu dengannya. Meski ayah terlalu gemuk sekarang. Dan sedikit terlihat tua. Apakah hidup ayah sama menderitanya dengan ibu?

Hari minggu yang dijanjikan Ramayana Bayu sudah berakhir. Pria yang menyebut dirinya Bapak meninggalkan kami di terminal yang sama dengan pagi tadi. Kami pulang dengan senyuman bahagia. Akhirnya kami tahu ayah kami masih hidup. Hanya saja, aku dan Aldo harus menyiapkan jawaban-jawaban tentang semua barang yang kami bawa. Juga titipan amplop ini. Mungkin kami harus jujur pada ibu. Ah, ibu. Seharusnya aku mengajak ibu.

"Mbak, ini titip buat ibuk," pria yang sudah kupastikan bahwa dia adalah ayah memberiku sebuah amplop.
"Bapak tidak mau pulang dengan kami? bertemu ibuk," tanya Aldo dengan kepolosannya.
"Tidak Aldo," jawab ayah sambil tersenyum.
Apa? dia masih bisa tersenyum menertawakan permintaan Aldo?! Pun dia berkata tidak. Ingin rasanya aku melemparkan bungkusan-bungkusan berisi sepatu dan baju yang diberikan pada kami ke muka pria dihadapanku ini.
"Bapak tidak mau pulang Aldo," balasku sambil menarik tangan Aldo menuju bus yang sudah memanggil-manggil untuk berangkat,
"Bukan begitu Mbak...." jawab ayah mencoba memeluk aku dan Aldo sebelum kami pergi.
"Apa Bapak tahu bagaimana ibuk menunggu Bapak? Apa Bapak tahu ibuk bekerja keras bahkan masuk di malam hari seperti babu? Apa Bapak tahu bagaimana ibuk sangat takut mati saat sedang sakit karena takut kami akan sendirian? Apa Bapak tahu ibuk menangis malam-malam berdoa agar suatu saat bisa melihat Bapak lagi?" akhirnya aku bisa memaki ayah. Aldo hanya diam mematung.
"Mbak....."
"Bapak tidak tahu!" aku menghardik tangan Bapak dan menarik Aldo menuju bus. Aku tidak menoleh untuk melihat pria itu. Meski aku sangat berharap dia mengejarku dan Aldo dan mau ikut pulang bersama kami.

"Mbak, Bapak akan pulang. Tapi tidak sekarang."

Senja menyajikan lukisan langit yang terlalu melankolis. Kami pulang tanpa ayah.


***

Sudah sebulan sejak aku dan Aldo bertemu ayah. Aku menceritakan pertemuanku dengan Ayah pada Bu Sofi. 
"Mbak ndak cerita tentang ibuk?" tanya Bu Sofi.
"Ndak bulek. Mbak lupa. Hanya pas mau pulang Mbak sempat marah pada Bapak dan menyinggung soal ibuk. Bapak menolak untuk ikut pulang," jawabku.
"Tenang saja Mbak. Nanti Bapak pasti pulang. Bulek yakin."
"Mbak cerita ke ibuk ndak setelah ketemu Bapak?"
"Cerita Bulek."
"Apa kata ibuk Mbak?"
"Ibuk kelihatan kaget. Cuma ibuk bilang Alhamdulilah kalau Bapak sudah ingat Mbak dan Aldo. Bapak juga titip uang buat ibuk. Tapi kata ibuk suruh Mbak saja yang simpan. Kalau ada yang mau dibeli dengan Aldo dibuat beli saja. Lalu kata Om Yan suruh buat beli sepeda motor saja untuk pergi ke sekolah Mbak dan Aldo. Bapak......"

"Mbaaaaaaaakkkkk," teriakan Aldo menghentikan ceritaku pada Bu Sofi. Aldo menghampiriku yang duduk di dalam warung kelontong Bu Sofi dengan setangah berlari.
"Mbak, ibuk pingsan," ucap Aldo tersengal.
Tanpa menjawab pun berpamitan pada Bu Sofi, aku berlari ke rumah. Jarak 100 meter terasa sangat panjang. Aldo ikut berlari bersamaku. 

Dari ambang pintu aku melihat disana ada kakek, Om Yan, Paman, dan laki-laki itu. Bapak. Aku tak mempedulikan laki-laki yang tersenyum itu. Aku berlari menuju kamar ibu.

"Pria kejam!" sumpah serapah dalam kepalaku untuk ayah.

Di dalam aku melihat ibu tidur dengan nenek yang memijit-mijit tangan ibu.
"Mbak, Bapak pulang," ucap ibu yang terlihat sangat pucat. 
"Ndak peduli Buk!" Entah mengapa aku tidak senang melihat ayah pulang jika hanya membuat ibu seperti ini.
"Ibuk diapakan sama Bapak?" tanyaku setengah mengintimidasi. Seolah aku bisa melindungi ibu dari kejahatan ayah. 
"Tidak Mbak. Bapak tidak kasar sama ibuk. Ibuk cuma kaget."
"Kenapa? Ibuk tidak ingin Bapak disini? Biar Mbak suruh pulang laki-laki itu. Ini bukan rumahnya lagi. Bapak sudah mati 12 tahun yang lalu!" jawabku setengah berteriak agar Bapak mendengar.
"Mbaaakkk..." panggil ibu. "Tidak. Ibuk senang Bapak pulang."

Aku tahu. Ibu tidak sesenang itu. Ibu hanya ingin melihat aku dan Aldo senang. Ibu tahu Bapak lebih dari mampu untuk membiayai hidupku dan Aldo dengan lebih baik dibandingkan dengan ibu. Aku tahu pikiran itu yang sekarang bersemayam di benak ibu. Tatapan mata ibu tidak sebahagia tatapan mata nenek yang melihat anaknya kembali pulang. 
"Buk.....aku tidak butuh punya  Bapak." 

Aku memeluk dan menahan tangis memeluk ibu. Aku tidak ingin ibu tahu bahwa sesungguhnya ini juga tangisan bahagia. Bahagia ayah sudah kembali. Pun rindu yang memuncak. Seberapa ingin aku memeluk ayah seperti aku memeluk ibu saat ini. Seberapa kuat inginku mengunci pintu. Menutup semua lubang yang ada dirumah untuk memastikan ayah tak akan kabur lagi. Melihat wajahnya setiap hari. Ah, ibu mana yang tak paham. Ibu mana yang tak bisa mengalahkan ego demi buah hatinya. Ibu terlalu mudahnya paham. Aku bahagia. Ayah kembali pulang.

Ayah mendekati kami. Dia menggenggam tangan ibu. Aku merasakan tubuh ibu semakin dingin. Ibu pingsan.

***

Ayah sudah kembali ke rumah reot kami. Rumah yang sudah dia tinggalkannya 12 tahun yang lalu. Ayah kembali. Menjadi ayah untukku dan Aldo. Akhirnya, aku dan Aldo bisa berteriak pada dunia kalau kami punya Ayah. Ayah menikah dengan ibu lagi. Aku melihat ibu tersenyum bahagia mendengarkan sumpah janji pernikahan untuk kedua kalinya. Dengan pria yang sama. Pria yang selalu dicintainya seumur hidupnya. Meski, kebahagiaan itu tak sepenuhnya miliknya kembali. Ayah, bukan hanya milik kami.

Ayah hanya singgah di rumah kami tiga hari dalam seminggu. Kadang kurang. Kadang lebih. Ayah harus berbagi waktu dengan ibuku yang lain. Apa ibu? Tidak. Aku hanya memiliki seorang ibu. Ibu yang melahirkanku dan ibu yang pernah ditinggalkan ayah demi wanita itu. Pun Ayah tak bisa menahan rindu terlalu lama pada ketiga adikku yang lainnya. Ramayana Bayu dan dua lagi aku tak mau mengingat namanya. Bagaimana ayah bisa tidak mampu menahan rindu pada mereka sedang dia bisa melupakanku dan Aldo selama 12 tahun?

Ah, sudah. Aku dan ibu sudah memutuskan untuk memaafkan ayah. Dan ini konsekuansi yang harus kami terima. Upah dari maaf meski tidak sempurna. Ayah yang kembali meski tidak utuh. Memaafkan? sudah fitrah kami sebagai perempuan. Kami punya itu tanpa diminta. Kami akan memberikan itu tanpa mengharap imbalan. Meski hanya sebatas untuk kehadiran yang tak lagi utuh. 

Ibu menjadi sering sakit-sakitan sekarang. Beberapa kali ibu harus di rawat dan sering jatuh pingsan. Seharusnya ibu bahagia bukan? Senyum yang dibawakan ayah justru membuat ibu rapuh. Ibu juga tak mau berhenti bekerja meski ayah sudah meminta. Aku paham jikalau ibu takut kalau-kalau ayah akan kabur lagi. Mungkin, jika ayah melakukan itu lagi, ibu akan mati. Tidak. Aku yang akan membunuh ayah lebih dulu. 

***

Tak ada seorang anak yang akan mampu benar-benar membenci orang tuanya. Meski, mereka ingin membenci. Pun tak ada orang tua yang sanggup meninggalkan anaknya tanpa kembali pulang. Karena cinta mereka tidak pernah palsu untuk buah hatinya. Meski, kepalsuan itu bisa dihadirkan pada cinta yang lain. Gelas kaca sudah terlanjur pecah. Tak lagi bisa disatukan dengan sempurna. Kembali meski tidak untuk utuh.

Komentar