DIPANGKUAN IBU, AKU PULANG


http://moblog.net/media/c/o/f/coferone/gugur-bunga.jpg

Suara ini semakin akrab denganku. Roda-roda besi bergesekan pada rel. Membentuk irama rindu. Rindu aku kembali pulang, rindu untuk memeluk ibu. Pun malam semakin sunyi di gerbong-gerbong kereta dan irama ini semakin menusuk relung hati yang terlalu sepi. Tak ada riuh manusia yang mengganggu. Semua pasang mata terpejam berharap waktu sekejap berlalu membawa mereka tiba di kota tujuan. Dan keretaku semakin bergerak ke timur.

Ampat penari membikin hatiMenjadi senang, aduh....Itulah dia malam gembiraGambang semarang...............
Nyanyian ini selalu terdengar menyayat hati di telingaku. Subuh. Wajah ibu akan kusapa sebentar lagi. Meski akhir-akhir ini aku memutuskan untuk lebih sering pulang, tetap saja rindu pada ibu selalu menggebu. Entah, aku lebih sering merindukan ibu akhir-akhir ini. Pun, aku semakin takut untuk tak lagi bisa melihat wajah yang meneduhkan itu. Gambaran senyum ibu semakin sering terlihat dimanapun saat aku memilih sejenak lenyap dari dunia. Tenggelam dalam pikiranku. Aku bisa menyapa wajah ibu kapanpun. Hanya saja, tadi malam aku bermimpi aku bertengkar dengan ibu. Lalu, aku memutuskan pulang ke rumah esok harinya. Ibu, aku pulang.
***
"Zas," suara lembut itu membangunkanku yang sedang tertidur. Kepalaku terlalu sakit untuk membuka mata. Hanya saja suara ibu selalu bisa membangunkanku. Meski hanya suara yang selalu lembut mengalun."Kalau masih lelah tidur lagi saja, tapi kamu sarapan dulu. Sudah jam delapan."
Ah, Ibu. Tak akan pernah berubah. Memastikan aku makan dengan baik, makan tepat waktu adalah hal yang paling penting untuknya. Tak ada urusan yang lebih penting bagi ibu di dunia ini selain memastikan anak-anaknya sudah makan. Dan sekarang hanya tinggal aku yang menjadi tanggung jawab ibu untuk itu.
"Zas masih capek Buk. Lima menit lagi ya?" aku semakin beringsut dibalik selimutku dan menenggelamkan wajahku di bawah bantal."Bangun...bangun...bangun...ayo Zas bangun," ibu membuat nyanyian sederhana yang selalu mampu membuatku tertawa geli. "Zas, nanti Zaskia sakit lagi kalau kurang makan. Nanti ibu sedih loh nduk." Bukan nada mengancam. Namun, bayangan kesedihan ibu adalah ancaman untukku. Alhasil, kalau sudah begini aku akan selalu mengalah pada ibu. Duniaku adalah ibu. Bahagiaku adalah melihat senyum ibu. Hidupku, semua milikku, adalah untuk ibu. "Iya ibukkuuu........ Tapi, ada tahu goreng kan?" jawabku dengan memanja."Hahaha, ada."
Aku beranjak dari tempat tidurku secepat kilat. Tempat tidur baru untuk ibu. Berharap ibu akan selalu menyungging senyum dengan melihat aku makan dan bersemangat seperti ini. Meski rasanya mulutku tak ingin memasukkan apapun. Aku tak lagi merasakan lapar. Beberapa bulan ini aku seolah sangat sulit berkompromi dengan tubuhku sendiri. Dia semakin oleng. Aku semakin tak mampu mengendarainya dengan baik. Dia semakin penyakitan. Dan hari ini rasanya aku sudah semakin tak sanggup membawanya lagi.
***Enam bulan yang lalu.....
Christoph, manajerku menemukanku bersandar menahan tubuhku yang semakin limbung di depan toilet lantai enam. Wajahku sangat pucat katanya saat itu pun tubuhku terasa sangat dingin. Dan setelah itu katanya aku jatuh pingsan. Darah mengalir dari mulutku.
"Bawa rujukan ini ke bagian radiologi. Ada rontgen yang harus dilakukan untuk memastikan diagnosisnya," ucap dokter yang memeriksaku dengan nada dingin yang membuatku merasa tenang. Mungkin tak ada yang terlalu serius pada tubuhku. Ah, bukankah sejak dulu tubuhku selalu penyakitan? Pun nyatanya tak pernah ada penyakit yang serius. Oleh karenanya, aku semakin enggan memeriksakan diri ke dokter saat merasakan sakit dan memaksanya untuk terus bekerja saja agar aku lupa kalau tubuhku sedang memanja. Bukankah katanya sakit itu pikiran kita sendiri yang memunculkannya? aku mulai percaya.
Dua jam. Cukup lama untukku menunggu di tempat yang tidak pernah aku sukai. Tempat yang selalu menyebalkan dimana jarang kutemukan manusia-manusia yang tersenyum di tempat ini. Hanya ada raut wajah sedih, khawatir, putus asa, dan kesakitan. Akhirnya, tiba giliranku bertemu lagi dengan dokter Hendra."Pasien Zaskia!" suara suster jelas memanggil namaku.Aku menyerahkan hasil rontgen pada dokter berambut putih dihadapanku."Zaskia?""Iya dok....."Barisan kalimat yang cukup panjang dari dokter yang membacakan empat foto hasil rontgen yang kubawa. Rontgen paru-paru dan kepala dari beberapa sisi. "Kapan terakhir terasa sakit? Seberapa sering?" tanya dokter Hendra dengan raut muka meneliti. Mungkin takut kalau-kalau aku tak menceritakan yang sebenar-benarnya."Malam kemarin dok. Akhir-akhir ini semakin sering dan semakin tidak tertahankan," aku tak bisa menjawab dengan hitungan angka yang pasti. Rasa sakit yang kadang datang kadang lenyap. Pun kadarnya tak pernah mampu aku prediksi lagi. Aku membiarkannya sambil lalu.
Aku keluar dari ruangan dokter Hendra dengan tersenyum. Katanya sakit di paru-paruku lebih parah dari dua belas tahun yang lalu. Pun penyakit yang menggerogoti tak lagi sebaik dulu. Ada sel yang siap membunuhku. Aku memilih duduk di bangku di taman kecil di halaman rumah sakit tua ini. Mengambil ponsel dan menghubungi seseorang."Katanya sudah terlambat Mbak," aku mengucapkannya dengan sedikit tertawa."Sudah Mbak bilang dan kamu nggak pernah mau denger Mbak kan? Ndak mau nurut kan?" terdengar hentakan putus asa dari wanita yang sedang kuajak berbicara ini."Ini takdir Mbak.........."Aku hanya bisa mendengar kalimat-kalimat panjang penuh keputusasaan dari kakak perempuan yang sangat kusayangi ini. Pun ada sedikit isak di ujung pembicaraan kami."Aku akan menuruti semua kata Mbak. Tapi tolong katakan pada ibuk hanya sakit yang seperti dulu. Aku percaya sama Mbak."
Aku tak ingin menangis. Tuhan, jangan ijinkan aku menangis.
***Dan enam bulan sudah berlalu sejak hari itu.............
Malam selalu bernyayi di desa kecil ini, tempat dimana 25 tahun yang lalu aku dilahirkan. Di bantu mbah yem, kata ibuku. Malam bernyanyi bersama hembusan angin yang bebas menggoyangkan ranting, berbisik dalam hening. Bernyayi bersama sunyi yang mencekam. Berdendang mengiring suara-suara penghuni malam, burung hantu, jangkrik, hingga kodok yang tak mau tinggal diam. Dingin. Aku menggigil. Dingin yang menusuk hingga ke tulang pun rasa takut yang semakin dekat untuk bersemayam. Ibu...... Ibu menidurkan kepalaku dipangkuannya. Membelai lembut rambutku seperti biasanya. Aku ingin mendengar ibu bercerita.
"Hahahaha......ibuk  terlalu jual mahal. Ah ibuk tidak rasional. Kenapa ibuk memilih guru SD yang tak seberapa tampan sih?" aku menggoda ibu. Badanku semakin beringsut mendekatkan nafasku pada detak jantung ibu."Namanya juga cinta Zas," ucap ibu menunjukkan kekalahannya."Cinta? iya ibuk sudah cinta mati. Sampai hanya memandang dari kursi roda pun masih cinta ya buk?" aku menggoda lagi."Zaskia, nduk, yang namanya mencintai itu bukan hanya senangnya saja. Apalagi dalam pernikahan. Mungkin, cinta sudah hilang. Tapi nduk, yang namanya tanggung jawab dan janji itu akan dipertanggungjawabkan dengan yang diatas," kalimat yang tak bosan diulang-ulang oleh ibu. 
Dari ibulah aku belajar setia. Dari ibulah aku belajar bertanggung jawab pada janji. Hanya saja, aku belum bisa belajar mengalah dan bersabar seperti ibu. Sendainya saja aku bisa..........
"Oh ya, kalau ndak sama Bapakmu ya ndak ada Zas," seloroh ibu mencubit hidungku yang tak pernah tumbuh."Nggak mau. Aku cuma mau jadi anak ibuk. Kalau disuruh milih juga aku akan memilih menjadi anak ibuk," aku menjawab memanja."Iya. Ibuk juga harus menunggu lama untuk Zas datang. Untuk memberikan kebahagiaan pada ibuk sekarang. Zas yang paling sayang pada ibuk. Zas, yang selalu berusaha menyenangkan ibuk. Memberikan ibuk ini itu meski untuk Zas sendiri juga belum cukup. Zas juga yang membuat Bapak tidak lagi sering mengeluh. Bapak juga tersenyum yang membuat ibuk semakin senang. Zas...." ibu tak mampu lagi mengucapkan kalimatnya. Ia membuang muka ke samping, tidak lagi menatapku. Mungkin ibu takut akan ada setetes air yang akan menyentuh pipiku. Air mata.
"Buk. Zas kan sudah janji. Semua yang Zas ingin capai dan semua yang sudah Zas dapat itu semua untuk ibuk," lalu aku diam.
Ibu membelai rambutku semakin pelan.
"Terima kasih Zas. Ibuk bersyukur punya Zas. Zas sampai sakit seperti ini pasti karena Zas bekerja terlalu keras. Sudah ya nduk. Jangan bekerja keras lagi. Semuanya untuk ibuk. Zas, nduk, ibuk tidak bahagia juga kalau Zas malah sakit seperti ini," keluh ibu sambil memeluk tubuhku."Buk.....Zas bahagia. Zas tidak akan sakit juga kalau Zas bahagia.""Iya, Zas akan sehat. Selalu sehat dan panjang umur," jawab ibu dengan nada keyakinan. Yang seperti inilah yang selalu membuat aku kuat. Keyakinan ibu. Ibu tak pernah ragu dengan apa yang aku mimpikan pun tak pernah khawatir dengan apa yang menjadi pilihanku. Tanggapan ibu hanyalah mendoakan, katanya apa yang membuatku senang adalah yang terbaik. Pun ibu akan selalu yakin padaku.
Lagi, aku memilih diam. Aku masih tidak ingin menangis.
"Zas akan sehat. Biar sini sakitnya dipindah ke ibuk saja..."nada suara ibu serak. Aku tak yakin kakak perempuanku tidak memberitahu ibu. Namun, aku yakin ibu tidak akan membiarkan aku tahu kalau ibu sudah tahu apa yang saat ini bersemayam dalam diriku. Menggerogoti tubuhku yang cahayanya semakin redup."Buk....""Ya nduk?""Buk......""Zas...............""Buk, Zas ngantuk...........""Yasudah Zas tidur saja. Dipangkuan ibuk.""Buk, dingin............""Sini peluk ibuk"Aku memeluk tubuh ibu semakin erat. Menenggelamkan nafasku pada tubuh ibu yang selalu hangat."Buk........apa ibuk bahagia?""Ibuk bahagia. Ibuk sangat bahagia ada Zas.""Buk......Zas ingin pulang saja. Selalu sama ibuk.""Ya. Zas tidak usah kembali ke sana lagi.""Buk.....Zas sayang sekali sama ibuk""Ibuk sayang Zas lebih lagi""Buk........ibuk.......""Zaskia anak ibuk, Zas boleh tidur."Entah aku merasakannya. Atau aku melihatnya. Ibu memeluk tubuhku erat seperti orang yang sedang ketakutan. Seperti ibu tidak ingin melepaskan tubuhku layaknya jiwaku yang telah melepaskannya. Hening. Tangisan ibu tak bersuara malam itu.
***Sepucuk Surat Untuk Ibu
Buk, Zaskia bahagia akhir-akhir ini Ibuk sering tertawa. Apa karena Zaskia sudah bisa lebih sering pulang? Ibuk bahagia kan? Buk, semoga ibuk juga sedang tertawa saat membaca surat ini.
Buk, Zas sering lupa untuk bilang terima kasih pada Ibuk. Bahkan, terima kasih untuk apa saja Zas sampai sudah lupa karena saking banyaknya. Pokoknya untuk masakan yang paling enak sedunia, untuk pelukan yang hangat, untuk semangat, untuk doa, bahkan untuk wajah bulat yang ibuk turunkan padaku. Kenapa ibuk harus lebih cantik dari aku? hehe. Buk terima kasih sudah membuat Zaskia ada di dunia ini. Maaf kalau Zas belum bisa membahagiakan ibuk seperti janji Zas kecil pada ibuk dulu.
Buk, ibuk sedang tertawa kan? Jangan menangis ya buk. Coba ibuk buka kotak warna hitam yang Zaskia tinggalkan di lemari kamar Zas. Didalamnya ada gamis merah tua baru untuk Ibuk, buat ganti-ganti dengan gamis yang lama. Ada juga kalung untuk menghias leher ibuk yang indah. Juga cincin Buk, untuk mengganti cincin kawin ibuk yang entah sudah dijual sejak kapan ya Buk? Oh ya, ada juga jilbab abu-abu ibuk yang kuambil tanpa sepengetahuan ibuk. Zas suka memakai jilbab itu kalau sedang kangen sama ibuk. Seperti ibuk yang tidak mau mencuci pakaian Zas yang terakhir Zas pakai sebelum Zas pergi. Memang bau keringatnya bisa awet bertahun-tahun ya Buk? hehe
Buk, Zaskia mau minta maaf. Maaf untuk tidak bisa menenami setiap waktu. Memeluk ibuk. Meski Zas juga tidak bisa membantu banyak pekerjaan ibuk. Hanya bisa menyusahkan. Buk, maaf kalau sekarang Zas pergi lebih jauh lagi. Zas akan menunggu saat Zas bisa bertemu dengan Ibuk lagi. Zas menunggu ibuk, tapi jangan buru-buru. Ibuk tertawa banyak-banyak dulu saja, ibuk bahagia yang lebih sering dulu saja. Bapak pasti semakin mencintai ibuk yang terus tersenyum. Cantik bukan main. Buk, baik-baik sama Bapak ya. Ibuk sehat-sehat biar Bapak juga semakin sehat. Buk, Zas sudah kangen sama ibuk dan Bapak.
Buk, ini surat terakhir Zas. Maaf tidak bisa menulis lebih panjang lagi. Akhir-akhir ini Zas jadi sering capek Buk. Tapi ibuk  jangan khawatir. Didalam kotak hitam Zas sudah menyiapkan 99 surat untuk ibuk, seperti asmaul husna saja ya, Buk? Jangan sering-sering kangen Zas ya buk? Kalau kangen baca suratnya saja. Ada foto-foto Zas juga disana.
Buk, Zas sayang sekali sama Ibuk. 
Goresan pena yang tak beraturan tertinggal di sudut tempat tidur.....
***

Komentar