ANGIN

http://baltyra.com/wp-content/uploads/2011/10/angin.jpg

Mentari merangkak naik, menggantikan gemintang berteman sunyi gelap malam. Aku mendengar nyanyian pagi bersama hembusan angin. Tak ada kokok ayam, tanda alam di sebuah kota besar. Kota metropolitan. Hanya bunyi mesin kendaraan yang menderu. Berlomba melaju sebelum ratusan bahkan ribuan kendaraan hanya bisa terparkir di jalanan. Kendaraan parkir di jalan tol. Inikah yang disebut kota metropolitan? Lima tahun sudah aku singgah di kota ini, tetapi tetap saja aku masih mengeluh untuk yang seperti ini. Aku sama saja angkuhnya dengan kota ini.

Sabtu, setidaknya sedikit berkurang laju mesin kendaraan di jalanan. Lengang. Lupakan tentang jalanan, aku melihat laut sekarang. Aku tak terlalu ingat sejak kapan aku menyukai laut. Aku tergila-gila padanya. Pada hamparan air yang luas, biru, menenangkan. Ombak yang angkuh menggulung pun menjadi keindahan tersendiri untukku. Sebuah kekuatan besar dalam ketenangan. Keangkuhan dalam sebuah keanggunan. Bisakah aku menjadi laut?

"Anjing!" dia membanting sebatang rokok yang baru saja dinyalakan. Berhenti dan menatap tajam padaku.
"Pilihanmu tidak efisien. Kita bisa berangkat lebih cepat jika menaiki kapal yang itu," jariku menunjuk pada sebuah kapal kayu tak bernama yang sudah hampir terisi penuh.
"Kita berjalan mencari kapal yang kamu maksud, kapal yang itu sudah berangkat. Toh naik kapal manapun akan sampai di tempat yang sama bukan?" aku mencoba memelankan suaraku yang terlalu mudah meninggi padanya.

Bukankah sudah menjadi pengetahuan umum jikalau wanita akan lebih mudah marah pada seseorang yang dicintainya? seseorang yang ia percaya akan tetap lembut meski ia sedang marah.

"Bukan itu maksudku. Bisakah kali ini kamu hanya menurut padaku? Biarkan aku yang menentukan. Bisakah untuk tidak membantah?" ucapnya dengan raut wajahnya yang keras. Tanda kalau kekasihku sedang menahan amarah.
"Maaf,"aku mengucapkannya masih dengan angkuh dan selanjutnya kami terdiam.
"Hahahaha.......,"dia hanya tertawa sinis sembari menyalakan batang rokok yang lain.

Aku hanya berjalan mengikuti langkah kaki yang bergerak cepat di depanku. Tak ada lagi pertengkaran suara. Hanya saja aku yakin hati kami sedang berseteru. Kapal yang dia cari tak ditemukan. Mungkin sudah berangkat saat kami berdebat tadi. Alhasil, kapal kayu tak bernama yang masih kosong itu menjadi pilihan kami menuju pulau kecil. Masih bagian dari kota ini.

"Aku boleh bersandar?" kupikir dia akan mereda jika aku sedikit memanja.
"Tidak,"jawabnya dan memilih duduk di jendela kapal dengan sebatang rokoknya. Menjauh dariku.

Aku begitu menyukai laut dan ingin melihat bagaimana deburan ombak menggoyangkan kapal kayu ini. Hanya saja pertengkaran itu membuat kepalaku pening. Aku memilih tidur.

Aku tidak mudah dikalahkan dengan kegagalan. Tidak mudah ditakuti dengan ancaman. Tidak akan terpuruk karena uang. Pun tidak akan menangis untuk rasa sakit. Aku sudah bersahabat dengan mereka bertahun-tahun. Hanya satu yang membuatku lemah, hati. Dan Tuhan Mahatahu untuk menguji cintaku pada-Nya. Sekali lagi. Hati.

***

Siang yang begitu terik. Aku tak peduli. Mengayuh sepedaku dengan cepat menyusul dia yang sudah jauh di depan meninggalkanku. Mengelilingi pulau dan menuju sebuah pantai. Airnya masih sangat biru. Aku bersorak. Aku bertemu dengan yang aku mimpikan dalam tidur-tidur malamku. Pantai. Laut. Air. Dia.

"Aku ingin naik itu, mau?" aku menunjuk ke sebuah perahu plastik yang disewakan.
"Tidak, itu melelahkan," dia berjalan ke tengah, meninggalkan pasir putih dimana kami berdiri beberapa waktu.
"Tidak dalam, kemarilah," dia mengulurkan tangannya padaku dan tersenyum.
"Aaaakkkk, mau!" aku berlari kecil menuju tempatnya berdiri. Kerudung unguku tertiup angin.

Kami berjalan menuju sebuah pulau bakau di tengah lautan pantai perawan. Indah. Aku hanya bisa mendapatkan apa yang aku inginkan dengan usahaku sendiri. Tak ada keberuntungan. Tak ada warisan. Hanya saja aku selalu percaya. Ketulusan.

"Kamu mau menulis disini?" tanyaku padanya yang sudah lelah bersendau-gurau dan larut dengan pena dan kertas yang selalu ia bawa kemana-mana.
"Ya,"jawabnya singkat.
"Aku bermain kesana ya," tunjukku ke tengah lautan. "Panggil saja kalau kamu sudah selesai dan ingin pulang."
"Ya."

Aku tahu dia sudah larut dalam dunianya sendiri. Sudah tidak bersamaku.

Berlari ke tengah laut. Kembali lagi ke tepi. Duduk melamun membiarkan diri terhempas ombak. Aku merasa seperti gadis kecil yang baru pertama kali dibawa sang ayah berlibur ke pantai. Ayah.... Mungkin hanya angan yang terbentuk dari harapanku semasa kecil yang tak pernah tersampaikan.
Ayah aku ke pantai.......

"Sudah cukup waktu untuk diri sendirinya?" aku menghampirinya yang sudah melipat kertasnya kembali.
"Sudah. Sudah puas bermain airnya? Dasar bocah,hahaha," ia pun tertawa.
"Kalau begitu sekarang kita berbicara sebagai seorang yang dewasa. Bagaimana?" tanyaku merajuk dan mengambil posisi duduk disampingnya.
"Baiklah, siapa takut. Mau mulai dari mana?" jawabnya mengikuti permainan dialogku.
"Mulai dari......apakah kamu sudah meminta ijin kepada Mama?" aku bertanya dengan perasaan tegang. Takut mendengar jawaban yang tak ingin aku dengar.
"Sudah," jawabnya datar.
"Lalu?" aku bertanya dengan penasaran.
"Kamu mau tahu bagaimana Papa dan Mama bisa menikah?" aku tahu dia sedang mengalihkan pembicaraan kami.
"Ya," jawabku kecewa.

Dia bercerita panjang lebar sembari membuat bangunan dari pasir. Aku tahu dia bukan anak kecil yang sedang ingin membuat istana pasir. Dia hanya menyembunyikan sesuatu dariku. Aku tahu dia adalah seorang yang paling dewasa yang pernah aku kenal. Pun disaat yang bersamaan dia bisa menjadi seorang anak kecil yang polos dan tidak mampu mengendalikan dirinya. Aku mencintai kekasihku yang seperti ini. Aku menyukai ketidaksempurnaannya. Aku menyayanginya dengan ketidaksempurnaanku pun dengan ketidakmampuanku untuk menyayangi.

"Mama bilang belum saatnya,"kalimatnya mengejutkanku. "Katanya aku belum mampu."
"Jadi......."aku tak mampu melanjutkan kalimatku.
"Bukan tidak. Hanya bukan dalam waktu dekat. Bagaimana kalau dua atau tiga tahun lagi?" dia tersenyum dan berusaha menenangkanku meski tidak.
"Aku sudah terlanjur membuat pengumuman di rumah. Ibu, Bapak, dan yang lainnya sudah terlanjur bahagia mendengarnya. Kamu bilang waktu itu......" aku tak bisa tersenyum ataupun menangis. Hatiku seolah mati detik itu.
"Jangan berpikir negatif dulu, maksudku........" kini dia memilih untuk tidak menatapku dan sibuk dengan istana pasirnya. Bukan. Jembatan pasir.

Aku memilih meninggalkannya menuju semak belukar di tepi pantai. Aku berlari dan berteriak. Aku terisak. Hingga dia berteriak dan memakiku. Menarik tanganku dengan kasar. Kupikir kami sedang bermain sebuah drama roman penuh emosi. Drama. Apakah ini hanya sebuah drama bermain peran?

Wanita pada dasarnya memang selalu ingin dimengerti. Wanita selalu mudah cemburu dan terganggu dengan pikirannya sendiri yang belum tentu. Ini wajar. Hanya saja ini adalah badai yang mudah menghantam dan merubuhkan sebuah bangunan. Kepercayaan. Cinta. Dan aku kalah dalam peperangan ini. Menenangkan hati. Memenangkan hati.

***

Happy birthday to you....
Happy birthday to you....


Nyanyian angin ini terdengar dari balkon tempat tinggalku. Gedung ini tinggi hanya saja begitu sepi. Tak ada suara manusia. Hanya hembusan angin yang menjadi nyanyian selamat ulang tahun untukku dan kerlip lampu jalanan menjadi lilin penanda usiaku. Bahagiaku larut dalam setetes air mata. Aku merindukan dia. Aku menunggunya. Hingga hempasan angin malam menggigilkan tubuh yang sedang kesakitan. Menerbangkan secarik surat yang tak pernah ingin aku percaya.

Sudah.
Aku ingin sendiri dalam ketidakmampuanku menyayangimu.
Tidak usah mencari. Aku tidak akan ada.
Tidak usah memanggil. Aku tak akan mendengar.
Aku ingin menjadi elang yang terbang seorang diri.
Maafkan jikalau harus tersakiti.
Aku hanya ingin membencimu sekali lagi.
Aku lelah untuk menjadi seperti sekarang, bersamamu.
Selamat tinggal.

Wanita selalu bisa hidup dengan harapan. Aku memilih menunggu. Menunggu membangun apa-apa lagi yang sudah aku hancurkan. Dalam setiap menit aku mengutuk diriku sendiri. Untuk ketidakmampuan. Keangkuhan. Kelemahan. Kecerobohan. Amarah. Aku lebih dari membenci diriku sendiri.

***

Prang! Ponselku terjatuh dari genggaman. Tangan dan kakiku dingin. Badanku menggigil. Berita ini terdengar seperti badai yang meluluhlantakkan seluruh bangunan. Bangunan kepercayaan. Bangunan penantian. Dua bulan sudah aku hanya menunggu dalam diam. Berdoa dalam sujud. Ini kabar yang akhirnya aku dapatkan tentangnya. Sebuah janji yang ingkar.

Dia sudah bersama seseorang sekarang.
Mereka saling menyayangi?
Mereka sangat dekat. Ya, kata sahabat mereka seperti itu.
Mereka sangat cocok bukan?
Ya.
Dan sudah saatnya kamu tahu.

Pesan singkat itu membuatku layu. Aku membuka ponselku sekali lagi. Membuka sebuah alamat email. Aku menemukannya. Surat cinta. Aku membacanya lagi dan lagi. Berulang. Rengkah, remuk, aku merasa rapuh dan terkulai. Aku tak ingat lagi apa yang terjadi setelah itu. Pun sebenarnya aku berharap aku tak akan pernah terbangun. Ibu. Aku layu dipangkuan Ibu.

Ibu, jangan menangis untukku yang sebodoh ini. Biarkan angin menertawakanku.

***

Aku kembali pulang. Di kota kecil ini, kota kelahiran, aku selalu merasa tenang. Jauh dari semua yang membuatku merasa terlalu sesak. Di sini aku menjadi sederhana yang aku ingin. Aku tersenyum. Tertidur. Pun aku bisa berbicara pada angin lebih sering. Dia yang selalu menggoyangkan daun dan ranting. Dari sudut jendela kamarku aku mengintip mereka saling bercumbu. Berbisik tentang masalahku. Mengadu pada angin. 

Hai, ada waktu esok hari?
Untuk?
Kutunggu di kedai kopi. Lama tak bertemu.
Mungkin aku ada waktu.

Pesan singkat kukirimkan pada seorang tuan baik hati. Kukirimkan pada kesederhanaan yang kupertanyakan. Pada diam yang kutertawakan. Pada kearifan yang tak mau kumengerti. Pada senyum yang seringkali kuabaikan begitu saja. Bukan sekadar janji lewat angin. Aku memang ingin bertemu saat ini. Tiba-tiba saja aku teringat padanya. Mungkin dia muara.

***

Jalanan ini masih terasa panjang. Sama seperti lima tahun yang lalu. Jalanan yang tak bosan kulewati untuk membawaku sampai seperti ini. Menghitung detik waktu yang panjang dalam deru bus yang lebih baik. Tidak seperti dulu. Bus AC tanpa berdesakan. Tanpa harus bergelantung diambang pintu. Demi menimba ilmu. Ilmu? Benarkah ilmu? Mungkin hanya proses untuk menjadi aku yang sekarang. Sudahlah, aku tetap saja merindukan kota itu meski bukan milikku. Dia juga bukan milikku. Tak pernah menjadi milikku. Lalu, kenapa aku memintanya bertemu? Entahlah.

Aku duduk menunggu di kedai kopi. Kota ini sudah banyak berubah. Lebih hangat meski masih dingin. Cukup lama. Mungkin hujan, tapi disini tidak. Kabar terakhir yang kuterima dia bilang dia kehujanan.

"Hai..."
"Hai..." aku membalasnya lalu tersenyum.

Dia mengibaskan jaketnya seolah memberi tanda hujan yang membuatnya terlambat. Seperti mengulang. Aku pernah menemuinya seperti ini. Hanya saja hari ini lebih baik. Dia tersenyum. Tidak sering. Juga tidak disaat mengucapkan kata "hai". Hanya saja senyum itu ada. Lalu aku menanyakan banyak hal padanya. Tentang diriku. Tentang peperanganku. Pertentangan. Pertanyaan. Takdir. Tentang hati. Semua pertanyaanku dijawabnya meski seringkali aku tak paham. Hanya saja dia menjawabnya.

Langit kemerahan. Lukisan yang selalu ingin kupandangi. Sendiri. Sudah terlalu lama kami berbincang. Tenang. Entah kudapatkan dari mana. Aku berterima kasih untuk dia yang tak merasa bosan. Meski aku hanya mencoba mendengar. Mencoba. Bukan ingin. Berbeda. Tak ada kesederhanaan yang kupertanyakan. Tak ada diam yang kutertawakan. Semuanya berubah menjadi mengagumkan. Mungkin dia berubah. Mungkin tidak. Dua tahun berlalu. Mungkin aku yang berubah. Mencoba tidak angkuh. Tidak membangun dinding. Hanya melebur bersama angin. Mengikuti tuntunan angin. Berhembus.

Pertemuan yang terselesaikan. Mungkin akan sama. Pertemuan pertama dan terakhir. Tak ada ucapan sampai jumpa pun selamat tinggal. Memberi teka-teki pada angin. 

***

Malam. Sunyi yang mulai kurindukan lagi. Aku mulai mengambil potongan diriku lagi. Satu per satu. Bersolek. Aku ingin menjadi wanita lagi. Musik. Aku ingin menjadi berirama lagi. Aku tidak tahu mengapa yang sesederhana ini mampu membuatku tersenyum. Pun pada hatiku yang terbelenggu aku ingin selesai.

Ini bukan janji lewat angin. Tak ada janji. Kesederhanaan yang kupertanyakan menjadikannya indah. Menemani. Memahami. Saling menghargai. Cukup. Seperti angin. Berhembus begitu saja. Namun, aku tidak ingin ia menjadi seperti angin. Datang. Berhembus. Hilang. Padanya aku merasa tenang. Padanya aku merasa aku menjadi berharga. Kuharap ini jujur. Bukan tipu daya angin jikalau hujan sesungguhnya tak akan pernah datang.

Malam-malamku menjadi semakin indah. Meski hanya saling bertegur sapa dalam semu. Jika tanpa bertatap muka saja sudah menenangkan seperti ini. Sudah cukup. Aku tidak ingin serakah. Hingga aku paham mengapa angin sekali lagi harus mengecewakan aku saat itu. Ya. Untuk membawaku kembali mengenalmu. Menemukan kesederhanaan yang menenangkan. Melunturkan keangkuhanku. Menuntunku pada jalanku yang sebenarnya. Pada diriku yang sesungguhnya.

1000 tahun
Untuk?
Bermanfaat
Jangan menjadi angin
Apa? Aku tidak mengerti
Tak usah dimengerti. Nanti kamu akan mengerti dengan sendirinya. Radar.
*senyum*
*senyum*

Aku sudah selesai dengan hatiku. 

***

Komentar