SURAT KEDUA BELAS

Hai sayang,
aku merindukanmu,
kamu dengar? aku sangat merindukanmu
Apakah kamu tahu bagaimana langit menyampaikan rindunya pada bumi?
lewat hujan, 
ya, lewat hujanlah langit memelukkan kerinduannya pada bumi
hanya itu
Dan apakah kamu tahu sayang, hujan memeluk bumi malam ini
apakah mungkin jikalau langit mendengar aku merindukanmu?
dia menyapa rasaku
Jika langitmu juga hujan sayang,
itulah rinduku yang ingin kusampaikan untukmu
dia sudah sampai
Semoga kamu mau menerimanya
sebanyak tetesan itu sayang,
aku merindukanmu malam ini


Hai,
Selamat malam. Bagaimana kabarmu hari ini? aku rindu! Kapan aku bisa mendengarmu bercerita lagi? Ah! Kamu bohong. Katanya kamu ingin berkirim surat padaku. Kamu belum tua lalu menjadi pelupa seperti ini bukan?
Apa kamu ingin aku bercerita tentang langitku hari ini? dia mendung sepanjang hari, lalu hujan. Tetesan hujan ini yang menjadi pengganti bintang. Aku memandanginya dari balkon kamar. Tetesan hujan mengaburkan pantulan cahaya lampu jalanan. Mereka juga menjadi pengganti bintang disini. Langit di kota ini sudah tidak bersih lagi, aku jadi sulit melihat bintang. Padahal aku juga sangat menyukainya. Untung saja kamu tidak pernah berjanji padaku untuk bersama-sama melihat bagaimana bintang menghiasi langit malam dengan cantik. Jadi, aku tidak terlalu merindukanmu saat aku teringat bintang. Seperti aku yang selalu melihatmu saat aku melihat laut, senja, dan dihempas angin. Ah, tidak! Tetap saja aku merindukanmu, kapanpun jika aku sedang ingin merindukanmu.

Hai,
Kamu masih selalu tersenyum bukan? Apakah kamu ingat aku pernah meminta senyum untuk sebuah hadiah? Katanya kamu ingin berterima kasih padaku, lalu aku memintamu untuk tersenyum. Dan kamu bercerita padaku jikalau kamu sudah tersenyum kepada siapapun yang kamu temui. Seandainya saja di hari senyummu itu aku bertemu denganmu. Dan apakah kamu masih ingat jikalau aku pernah memintamu untuk tidak tersenyum kepada banyak gadis? Nanti aku jadi cemburu. Dan kamu bilang aku tidak perlu takut, kamu tidak mau menunggu tua untuk menunggu senyuman para gadis itu. Apakah kamu ingin bilang jikalau senyumku saja sudah cukup untukmu? Ah! Aku mulai berkhayal lagi.

Hai,
Bolehkan kalau aku sedikit mengingatkanmu? Iya, kamu tidak pernah menjanjikan itu padaku. Waktu itu aku sangat rapuh dan kamu adalah yang mampu menenangkanku. Entah, padamu aku selalu merasa tenang. Kamu adalah kesederhanaan yang selalu aku rindukan. Ketenangan yang ingin aku miliki. Bahu, telinga, hati yang aku tak akan malu untuk memintanya pada Tuhan terus menerus seperti saat dulu aku merengek pada ibu untuk dibelikan buku. Lalu, kamu bilang kamu akan tinggal jikalau aku tak lagi cengeng. Dan sejak hari itu aku tidak lagi mau menangis. Kenapa? Karena aku takut kamu akan pergi. Ternyata itu bukan janji. Aku salah ya?

Apakah aku boleh mengganti kata "hai" dengan "sayang"?
Kenapa ya aku selalu merasa jikalau hujan itu adalah tangisan langit. Tangisan untuk rindunya pada bumi dan dia tak bisa memeluk kekasih yang dirindukannya itu. Langit dan Bumi memang jauh, itu kenapa mereka menjadi perumpamaan pada jarak yang tak pernah mungkin. Pada perbedaaan yang sama sekali tak akan pernah bersama. Namun, bagiku mereka adalah sepasang kekasih. Itu kenapa ketika langit tak bisa runtuh untuk memeluk bumi, ia berbisik pada awan. Lalu, ia menangis untuk rasa rindu yang terlalu menggebu. Dan lewat tetes hujan itulah ia memelukkan rindu pada kekasihnya, bumi.

Sayang, ah tak pantas aku memanggilmu seperti itu bukan?
Langit di balkon kamarku hujan. Apakah sama dengan kotamu? Jikalau iya, mungkin itu adalah rinduku untukmu. Dia sudah sampai. Hujan berjalan sangat cepat bukan dari sini ke kotamu? Waktu itu, katamu hujan naik kereta. Dan aku merajuk ingin hujan untuk berjalan saja. Karena kamu lebih dari istimewa untuk mendapatkan sebuah perjuangan. Namun, katamu tidak perlu seperti itu. Istimewa itu tentang percaya, bukan dengan bagaimana menunjukkan jikalau itu istimewa. Ah, kamu. Kamu selalu membuatku melihat dunia yang selama ini ingin aku tutup saja. Kamu selalu membawaku pada rasa dimana aku ingin kembali. Pada iman yang kokoh. Kamu mengembalikan laju perahuku yang mulai goyang. Kamu, kamu adalah laut yang kucintai.

Hai,
Pada warna biru dan senyuman malam kemarin kamu terlihat tampan. Kamu seperti laut. Apakah kamu sadar aku juga memakai warna biru. Sama. Sayangnya rasa kita memang tak pernah sama. Aku merindu dan kamu seperti seorang kakek tua yang bahkan mungkin sudah tak ingat lagi siapa aku. Aku mendekat kamu justru seperti pelari marathon yang menjauh secepat mungkin. Apakah kamu masih ingat kataku bahwa aku hanya senang memanggil namamu? Hahaha, bukan karena namamu yang indah. Eh, tidak. Namamu memang indah. Hanya saja dengan memanggil namamu aku merasa aku mampu mengalirkan rasaku padamu. Apakah kamu tidak merasakannya? Bisa saja aku mencarimu hanya untuk mengucapkan namamu berkali-kali lalu sudah. Apakah benar jikalau itu yang membuatmu bosan?

Hai sayang,
Ah, akhirnya tak tahu malu juga aku mengucapkannya. Biarlah. Aku tak percaya jikalau radarku salah. Tapi, aku akan mengalah jikalau kamu bilang radarku memang rusak. Lalu, radarmu mengarahkanmu untuk membawa perahumu menjauh dari rasaku. Apakah aku menakutimu? Apakah kamu tahu jikalau aku adalah bentuk kesetiaan? Hahahaha. Jangan meremahkanku dengan arti kata menunggu. Aku memang tak suka menggunakan kata itu, tapi aku sudah melakukannya lebih dari sepanjang hidupku. Apakah kamu takut aku akan bosan dan marah untuk menunggu? Ah sayang, kamu memang belum benar mengenaliku. Apalagi kamu yang memintanya, begini saja aku sudah tak bosan untuk menunggumu. Meski semu.

Hai sayang,
Sudah. Mungkin suratku sudah terlalu panjang. Aku takut kamu akan bosan. Kapan kita akan berkirim kabar? 

Komentar

  1. Hai, kak.
    Kalau ini surat kedua belas, surat pertama sampai sebelasnya mana, kak? hehe

    BalasHapus
  2. Surat yang lainnya disimpan. Mau dikasih ke pemiliknya nanti.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kenapa nanti kak?
      Kita kan gak pernah tau sebanyak apa waktu kita yg tersisa.
      Maaf kak bukan menakuti. Tapi.. ya kenapa harus nunggu?

      Hapus
  3. Surat yang lainnya disimpan. Mau dikasih ke pemiliknya nanti.

    BalasHapus

Posting Komentar